2-3 KELAHIRAN TUHAN KITA YESUS

KELAHIRAN TUHAN KITA YESUS

6 Juni 1944

Aku masih melihat bagian dalam dari tempat naungan berbatu-batu yang papa, di mana Maria dan Yosef beroleh pengungsian, berbagi tempat dengan beberapa hewan.

Api yang kecil terkantuk-kantuk bersama dengan penjaganya. Maria mengangkat kepala-Nya perlahan dari pembaringan-Nya dan melihat sekeliling. Ia melihat kepala Yosef tertunduk di depan dadanya, seolah ia sedang bermeditasi, dan Ia pikir niat baiknya untuk tetap berjaga telah dikalahkan oleh keletihan. Ia tersenyum penuh kasih dan dengan menimbulkan suara yang lebih pelan dari seekor kupu-kupu hinggap pada sekuntum mawar, Ia duduk tegak dan lalu berlutut. Ia berdoa dengan seulas senyum bahagia di wajah-Nya. Ia berdoa dengan kedua tangan-Nya terentang, nyaris dalam bentuk sebuah salib, dengan telapak tangan-Nya menghadap ke atas dan ke depan, dan tampaknya Ia tiada pernah lelah dalam posisi itu. Lalu Ia prostratio dengan wajah-Nya di atas jerami, dalam doa yang bahkan terlebih khusuk. Suatu doa yang panjang.

Yosef terbangun. Ia melihat bahwa api hampir padam dan kandang nyaris gelap. Ia melemparkan segenggam ranting heath* yang sangat ramping ke dalam perapian dan api menyala kembali, ia lalu menambahkan beberapa ranting yang lebih tebal dan akhirnya beberapa potong kayu, sebab dinginnya sungguh menusuk: dingin dari suatu malam musim dingin yang tenang yang menyerbu masuk ke dalam puing-puing dari segala penjuru. Yosef yang malang pastilah duduk membeku sebab ia berada dekat pintu, jika kita dapat menyebut lubang di mana terdapat mantol Yosef sebagai tirainya itu pintu. Ia menghangatkan tangan-tangannya dekat api, lalu ia menanggalkan sandalnya dan menghangatkan kakinya. Ketika api sudah menyala dengan gembira dan terangnya tetap, ia berbalik. Namun ia tidak melihat apa-apa, bahkan tidak juga kerudung putih Maria yang membentuk sebuah garis jelas di atas jerami yang gelap. Ia bangkit dan dengan perlahan menuju kasur jerami-Nya.

"Apakah Kau tidak tidur, Maria?" tanyanya.

Ia menanyai-Nya hingga tiga kali sebelum akhirnya Ia berbalik dan menjawab: "Aku sedang berdoa."

"Adakah sesuatu yang Kau butuhkan?"

"Tidak, Yosef."

"Berusahalah untuk tidur barang sejenak. Setidaknya berusahalah untuk beristirahat."

"Aku akan berusaha. Tetapi Aku belum lelah berdoa."

"Tuhan bersama-Mu, Maria."

"Dan bersamamu, Yosef."

Maria kembali ke posisi-Nya. Agar jangan sampai ketiduran, Yosef berlutut dekat perapian dan berdoa. Ia berdoa dengan kedua tangannya menutupi wajahnya. Ia melepaskan tangan-tangannya sesekali untuk melemparkan sesuatu ke dalam api dan lalu melanjutkan kembali doa khusuknya. Selain suara batang-batang gemeretak dan suara yang sesekali ditimbulkan si keledai dengan menghentak-hentakkan kakinya ke tanah, tiada suara lain terdengar.

Seberkas tipis cahaya bulan menembus masuk melalui sebuah celah di kolong dan tampaknya sebilah belati perak adikodrati sedang mencari Maria. Belati itu bertambah panjang sementara bulan merayap semakin tinggi di langit dan akhirnya sampai pada Maria. Sekarang ia berada di atas kepala-Nya, di mana ia membentuk sebuah halo [= lingkaran] cahaya yang murni.

Maria mendongakkan kepala-Nya, seolah Ia mendapat suatu panggilan surgawi, dan Ia bangun dan berlutut kembali. Oh! Betapa indahnya di sini sekarang! Ia menengadahkan kepala-Nya, dan wajah-Nya bersinar dalam cahaya bulan yang putih dan ditransfigurasikan oleh seulas senyum adikodrati. Apakah gerangan yang Ia lihat? Apakah gerangan yang Ia dengar? Apakah gerangan yang Ia rasakan? Hanya Ia seorang yang dapat mengatakan apa yang Ia lihat, dengar dan rasakan pada saat cahaya gemilang Keibuan-Nya. Aku hanya dapat melihat bahwa terang sekeliling-Nya semakin bertambah-tambah. Tampaknya terang itu turun dari Surga, muncul dari benda-benda papa sekeliling-Nya, dan di atas segalanya tampaknya berasal dari Diri-Nya sendiri.

Gaun biru tua-Nya sekarang tampak berwana biru myosotis pucat, dan tangan serta wajah-Nya menjadi biru jernih seolah ditempatkan di bawah cahaya kemilau sebuah safir pucat yang besar. Rona ini semakin dan semakin menyebar pada benda-benda sekeliling-Nya, menyelimutinya, memurnikannya dan mencemerlangkan semuanya. Ini mengingatkanku, meski agak sedikit lebih lembut, pada rona yang aku lihat dalam penglihatan mengenai Firdaus suci, dan juga akan warna yang aku lihat dalam kunjungan Para Majus.

Terang itu memancar semakin dan semakin kuat dari tubuh Maria, yang menyerap cahaya bulan. Ia tampak sedang menarik ke dalam Diri-Nya semua terang yang turun dari Surga. Ia sekarang adalah Penyimpan Terang. Ia harus memberikan Terang ini kepada dunia. Dan Terang ilahi yang membahagiakan, yang tak tertampung, yang tak terhingga, yang abadi, yang akan segera diberikan ini, dimaklumkan oleh suatu fajar, sebuah bintang pagi, suatu paduan suara dari atom-atom Terang yang terus-menerus bertambah bagai pasang, dan semakin dan semakin naik bagai dupa, dan turun bagai suatu arus besar dan mengembang bagai selubung…

Kolong itu, yang penuh retak-retak, jaring-jaring laba-laba, puing-puing yang menyembul diimbangi oleh suatu mukjizat fisik, kolong yang gelap, pengap menjijikkan, sekarang tampak bagai langit-langit sebuah aula kerajaan. Tiap-tiap batu besar adalah bongkahan perak, tiap-tiap retakan adalah kilatan batu opal, tiap-tiap jaring laba-laba adalah suatu salutan paling berharga dengan jalinan perak dan intan. Seekor kadal hijau besar, yang sedang berhibernasi [= tidur pada musim dingin] di antara dua batu, tampak bagai sebuah zamrud permata yang terlupakan di sana oleh ratu: dan sekawanan kelelawar [=nyctalus noctula, jenis kelelawar pemakan serangga yang besar berwarna kemerahan] yang sedang berhibernasi bagai sebuah kandelar onyx yang mahal. Jerami di palungan atas bukan lagi helai-helai jerami: melainkan dawai-dawai perak murni yang melambai-lambai di udara bak rambut yang terurai.

Kayu gelap dari palungan bawah adalah balok perak yang kemilau. Tembok-tembok dilapisi sehelai tenunan penuh hiasan di mana sutera putih menghilang di bawah sulaman bak mutiara dari relief, dan tanah … menjadi apakah tanah sekarang? Kristal yang kilau menyala oleh cahaya putih. Batu-batunya yang menyembul adalah bagai bunga-bunga mawar yang dilemparkan sebagai tanda hormat tanah; lubang-lubangnya adalah cawan-cawan berharga darimana parfum dan wangi-wangian menebarkan aroma.

Dan terang semakin dan semakin bertambah. Sekarang tak tertahankan oleh mata. Dan sang Perawan menghilang dalam limpahan cahaya, seolah Ia telah diserap oleh sehelai tirai yang berpijar … dan sang Bunda muncul.

Ya. Ketika terang menjadi sekali lagi dapat terlihat oleh mataku, aku melihat Maria bersama Putra yang baru dilahirkan dalam buaian-Nya. Seorang Bayi kecil, kemerahan dan montok, menggapai-gapai dengan tangan-tangan mungil-Nya yang sebesar kuncup-kuncup mawar dan menendang-nendang dengan kaki-Nya yang amat kecil hingga dapat muat dalam rongga hati sekuntum mawar: dan yang menangis dengan suara lirih yang gemetar, bagai anak domba kecil yang baru dilahirkan, membuka mulut mungil-Nya yang manis serupa strawberry liar, dan mempertontonkan sebuah lidah kecil mungil yang gemetar di bawah langit-langit mulut-Nya yang kemerahan. Dan ia menggerakkan kepala mungil-Nya yang berambut begitu pirang hingga tampak seperti tanpa rambut, sebentuk kepala kecil bulat hingga MamaNya memegangnya dalam cekungan tangan-Nya, sementara Ia memandangi BayiNya dan menyembah-Nya dengan menangis dan sekaligus tersenyum, dan Ia membungkuk untuk mengecup-Nya bukan pada kepala-Nya yang tak berdosa, melainkan di tengah dada-Nya, di bawah mana ada hati-Nya yang mungil yang berdetak bagi kita… di mana satu hari kelak akan ada Luka. Dan BundaNya mengantisipasi memberikan perawatan terhadap luka itu, dengan kecupan-Nya yang tak bernoda.

Si lembu, terbangun oleh terang kemilau, berdiri dengan suara gaduh kaki-kakinya dan melenguh, si keledai memutar kepalanya dan meringkik. Adalah terang itu yang membangunkan mereka namun aku suka berpikir bahwa mereka ingin menyambut Pencipta mereka, baik bagi diri mereka sendiri maupun atas nama segenap binatang.

Juga Yosef, yang nyaris ekstase, yang berdoa dengan begitu khusuk seolah terisolir dari apa yang ada di sekelilingnya, sekarang bangun dan ia melihat suatu terang aneh masuk lewat jari-jemari kedua tangannya yang ditutupkan ke wajahnya. Ia menurunkan tangannya, mengangkat kepala dan memandang berkeliling. Si lembu, yang berdiri di tempatnya, menyembunyikan Maria. Tetapi Ia memanggilnya: "Yosef, kemarilah."

Yosef bergegas. Dan ketika ia melihat, ia berhenti, tertegun oleh rasa hormat, dan ia nyaris jatuh berlutut di tempat di mana ia berdiri. Tetapi Maria mendesak: "Kemarilah, Yosef" dan Ia bersandar pada tumpukan jerami dengan tangan kiri-Nya dan, dan mendekap Kanak-kanak dekat ke hati-Nya dengan tangan kanan-Nya, Ia bangkit berdiri dan bergerak menghampiri Yosef, yang berjalan malu-malu, sebab pertentangan dalam dirinya antara kerinduannya untuk datang dan takut bersikap tidak hormat.

Mereka bertemu di kaki tempat tidur jerami dan mereka saling memandang satu sama lain, menangis bahagia.

"Kemarilah, marilah kita mempersembahkan Yesus kepada Bapa," kata Maria. Dan sementara Yosef berlutut, Ia berdiri di antara dua batang kayu yang menyangga kolong, Ia meninggikan AnakNya dalam buaian-Nya dan berkata: "Ini Aku. Atas nama-Nya, ya Allah, Aku mengucapkan perkataan ini kepada-Mu: ini Aku untuk melakukan kehendak-Mu. Dan Aku, Maria, dan pasangan-Ku, Yosef, bersama-Nya. Ini kami para hamba-Mu, ya Tuhan. Kiranya kehendak-Mu senantiasa terjadi atas kami, di setiap saat, di setiap peristiwa, demi kemuliaan-Mu dan kasih-Mu."

Kemudian Maria membungkuk dan mengatakan: "Ini, Yosef, ambillah Dia," dan menyerahkan Kanak-kanak kepadanya.

"Apa! Aku?... Aku?... Oh, tidak! Aku tidak layak!" Yosef sama sekali tercengang pada gagasan menyentuh Allah.

Namun Maria mendesak dengan tersenyum: "Kamu sangat layak. Tak seorang pun lebih layak dibandingkan engkau, dan itulah sebabnya mengapa Yang Mahatinggi memilihmu. Ambillah Dia, Yosef, dan gendonglah Dia sementara Aku mencari kain-kain lenan."

Yosef, yang wajahnya merah padam nyaris ungu, mengulurkan kedua tangannya dan mengambil si Bayi, Yang menjerit-jerit kedinginan dan ketika Ia telah ada dalam pelukannya, ia tak lagi bersikukuh dalam niat menggendong-Nya jauh dari dirinya sendiri, demi rasa hormat, melainkan ia mendekapkan-Nya ke dadanya dan meledak dalam tangis seraya berseru: "Oh! Tuhan! Allah-ku!" Dan ia membungkuk untuk mencium kaki-kaki-Nya yang kecil mungil dan merasakannya dingin. Ia lalu duduk di tanah, dan mendekapkan-Nya erat ke dadanya dan dengan jubah coklatnya dan kedua tangannya ia berusaha membungkus-Nya, dan menghangatkan-Nya, melindungi-Nya dari angin dingin malam yang dingin menusuk. Ia ingin pergi dekat perapian, tetapi ada aliran angin dingin di sana yang masuk melalui pintu. Lebih baik tinggal di tempat di mana ia berada. Tidak, lebih baik pergi ke antara dua hewan yang berguna sebagai perlindungan terhadap udara dan dapat memberikan kehangatan. Dengan demikian, ia pergi menuju antara lembu dan keledai, dengan punggungnya menghadap pintu, membungkuk di atas Bayi yang baru dilahirkan untuk dengan tubuhnya membentuk sebuah naungan, yang di sisi-sisinya adalah sebentuk kepala abu-abu dengan telinga-telinga panjang, dan sebuah moncong putih besar dengan hidung yang beruap dan dua mata sayu yang lembut.

Maria telah membuka peti dan telah menarik keluar kain-kain linen dan kain-kain bedung. Ia berada dekat perapian menghangatkan kain-kain itu. Sekarang ia menuju Yosef dan membungkus Bayi dengan linen yang hangat dan lalu dengan kerudung-Nya untuk melindungi kepala-Nya yang mungil. "Di manakah kita akan menempatkan-Nya sekarang?"

Yosef memandang sekeliling, tengah berpikir... "Tunggu," katanya. "Marilah kita pindahkan hewan-hewan dan jeraminya ke sini, lalu kita akan menurunkan jerami yang di atas sana dan menatanya di sini. Kayu di samping akan melindungi-Nya dari dingin, jerami dapat menjadi bantal dan lembu akan sedikit menghangatkan-Nya dengan napasnya. Lembu itu lebih baik daripada keledai. Ia lebih sabar dan tenang." Dan ia menyibukkan diri, sementara Maria meninabobokan si Bayi, mendekapkan-Nya erat ke hati-Nya, dan menempelkan pipi-Nya pada kepala mungil-Nya untuk menghangatkannya.

Yosef membesarkan perapian, tanpa berhemat-hemat sekarang, demi mendapatkan nyala yang besar, dan ia menghangatkan jerami dan sesudah jerami kering, ia menempelkannya pada dadanya, agar jerami tidak menjadi dingin. Lalu, ketika ia telah mengumpulkan cukup untuk membuat sebuah kasur kecil bagi si Kanak-kanak, ia pergi ke palungan dan menatanya seolah itu adalah sebuah buaian. "Sudah siap," katanya. "Sekarang kita perlu sehelai selimut, sebab jeraminya tajam, dan juga untuk menyelimuti-Nya."

"Ambil saja mantol-Ku," kata Maria.

"Kau akan kedinginan."

"Oh! Tak masalah! Selimut itu terlalu kasar. Mantol-Ku halus dan hangat. Aku sama sekali tak kedinginan. Jangan biarkan Ia menderita lebih lama lagi."

Yosef mengambil mantol wool lebar biru tua yang lembut, ia melipatnya dua kali dan menempatkannya di atas jerami, membiarkan terjuntai keluar palungan. Tempat tidur pertama bagi sang Juruselamat telah siap.

Dan Bunda, dengan langkah lemah gemulai, menuju palungan, membaringkan-Nya di dalamnya, dan menyelimuti-Nya dengan mantol-Nya. Ia menatanya juga sekeliling kepala-Nya yang telanjang, nyaris sepenuhnya dikelilingi jerami, dengan hanya dilindungi oleh kerudung tipis Maria. Hanya wajah mungil-Nya, seukuran kepalan seorang dewasa, dibiarkan terbuka. Maria dan Yosef, membungkuk di atas palungan, sukacita bahagia melihat-Nya tidur dalam tidur pertama-Nya, karena kehangatan kain-kain dan jerami telah menenangkan tangis-Nya, dan membuat-Nya mengantuk.

(sumber: buku "The Poem of the Man-God" - Maria Valtorta)

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA