Pengajar Kurang Kompeten
Banyak orang tidak mau mengajar di kebaktian anak. Itu sebabnya
gereja sering kekurangan guru, padahal anggota jemaat banyak
sekali. Dari antara mereka yang mau dan memiliki beban yang besar
untuk pelayanan anak, banyak yang pengetahuan dan keterampilannya
kurang memadai.
Selain itu banyak guru yang menyampaikan firman Tuhan tanpa
persiapan. Pernah ada seorang guru yang keliru menyampaikan firman
Tuhan dengan berkata, "Anak-anak, ketika Yesus di kayu salib, Dia
berteriak, 'Ela, ela, lama sabakhtani."
Memang sangat baik bila seseorang memiliki beban yang besar untuk
pelayanan, apalagi pelayanan anak. Akan tetapi, para guru harus
diperlengkapi atau memperlengkapi diri dengan keterampilan atau
pengetahuan agar dapat menyampaikan berita sukacita kepada anak-
anak lebih baik lagi.
Masih ada banyak hal yang menunjukkan bahwa anak-anak tidak begitu
diperhatikan. Pelayanan anak biasanya diberi prioritas terakhir
dari antara pelayanan-pelayanan yang lain. Inti masalah yang
sebetulnya adalah pada cara memandang anak-anak yang kurang tepat.
Banyak orang dewasa (dalam hal ini pengajar, gembala sidang,
majelis gereja, dll.) yang memandang bahwa anak-anak belum bisa
apa-apa: belum bisa mengerti firman Tuhan, belum bisa memuji Tuhan.
Cara pandang seperti ini termanifestasi pada sikap atau kondisi
guru yang mengajar tanpa persiapan, tidak adanya pemikiran untuk
menambah fasilitas pelayanan anak, atau tidak adanya pemikiran
untuk mengadakan retret khusus untuk anak-anak. Yang diajarkan
kepada anak hanyalah cerita-cerita yang tidak membuat mereka
mengenal Tuhan lebih dalam atau menyadarkan kebutuhan mereka akan
Juru Selamat.
Cara pandang seperti ini perlu diubah, karena masa kanak-kanak
merupakan masa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Apa
yang diberikan atau dialami anak-anak dalam masa kanak-kanak bisa
berdampak sangat serius untuk anak itu kelak bila dewasa. Banyak
orangtua yang mengusahakan pendidikan formal sebaik mungkin untuk
anak-anak: dimasukkan ke sekolah yang baik, dibelikan buku
pelajaran yang lengkap, dll. Akan tetapi, apakah sikap memandang
penting pendidikan ini juga diterapkan dalam hal rohani? Kita harus
ingat bahwa anakanak itu adalah calon-calon pemimpin bangsa, dan
juga masa depan gereja. Kepemimpinan gereja di masa yang akan
datang ada di tangan mereka.
Pandangan umum bahwa pelayanan anak kurang begitu penting juga
mempengaruhi pandangan orang terhadap pelayan anak. Suatu kali,
MEBIG Jepang dan MEBIG Indonesia diminta untuk melayani KKR anak di
suatu kota besar. Seusai acara, semua panitia sepertinya terpaku
pada acara, sehingga melupakan kami yang telah melayani. Setelah
turun dari panggung pun, tidak ada yang menyalami dan mengucapkan
terima kasih. Lalu kami menunggu panitia yang akan mengantar pulang
ke penginapan, tetapi tak seorang pun muncul. Kemudian kami
menunggu di tempat parkir sambil harus mengisap asap knalpot yang
tebal, namun tetap tidak ada seorang pun yang datang. Akhirnya kami
mencoba menghubungi saudara kami yang juga menjadi panitia (pada
seksi lain, bukan transportasi), dan meminta agar seseorang dapat
mengantar kami dengan mobilnya. Sampai kami berangkat ke kota lain
untuk pelayanan berikutnya, tak seorang pun panitia yang datang
untuk mengucapkan terima kasih dan melepas kami dengan ucapan
selamat jalan. Baru saat kami sudah ada di dalam mobil yang kami
sewa sendiri, ada telepon yang masuk ke telepon genggam kami, dari
salah seorang panitia tersebut.
Saat itu, kami sebagai orang Indonesia merasa malu kepada mitra
pelayanan kami yang jauh-jauh datang dari Jepang dengan biaya
sendiri untuk melayani kita orang Indonesia. Kami membayangkan
seandainya kami adalah rombongan pembicara untuk orang dewasa yang
sudah terkenal, mungkin banyak orang akan menemui kami untuk
mengajak makan atau menginap di rumahnya.
Menurut Pendeta Gonbei, hal menomorsekiankan pelayanan anak mungkin
timbul karena gereja memegang konsep praktis yang umum dipegang
oleh kalangan di luar gereja, yaitu tidak membiarkan adanya
pemborosan dan kerugian.
Tidak membiarkan adanya pemborosan secara sadar atau tidak, banyak
gereja beranggapan bahwa mengeluarkan banyak uang untuk pelayanan
anak merupakan pemborosan. Mengeluarkan banyak uang untuk
menyediakan alat musik, ruang kelas yang memadai, dan juga hal lain
untuk pelayanan anak adalah pemborosan. Mengeluarkan banyak uang
untuk menyelenggarakan retret anak-anak adalah pemborosan. Sikap
yang tidak mengizinkan adanya "pemborosan" ini pun kita temukan
pada Markus 14:4, yaitu ketika seorang perempuan mencurahkan minyak
narwastu ke kepala Yesus. Waktu itu ada orang yang gusar dan
berkata, "Untuk apa pemborosan minyak narwastu ini?" Di sini tampak
jelas bahwa masalah ekonomi bisa mengalahkan urusan yang berdampak
pada kekekalan.
Terlalu perhitungan sikap terlalu perhitungan sering menghinggapi
gereja. Segala sesuatu selalu didasarkan pada prinsip untung dan
rugi. Berdasarkan prinsip ini, jelas pelayanan anak adalah
pelayanan yang merugi secara ekonomi. Berapa banyak uang
persembahan anak-anak? Sudah pasti jumlahnya tidak cukup untuk
menyewa ruangan yang baik, membeli gitar, atau membiayai hamba
Tuhan. Karena kontribusi persembahan anak-anak ini sangat kecil
untuk gereja, maka dapatkah gereja disalahkan jika menyediakan
fasilitas sesuai dengan kontribusinya? Tentu tidak salah jika
acuannya adalah berapa banyak keuntungan yang dapat diberikan anak-
anak melalui pelayanan anak. Namun, benarkah demikian seharusnya
kita mengelola pelayanan ini?
Sikap seperti ini memang sering mewarnai gereja yang ditebus oleh
Tuhan Yesus. Jika tidak memberikan kontribusi yang layak, maka
tidak perlulah terlalu diperhatikan. Semua tindakan harus dilakukan
berdasarkan perhitungan untung-rugi. Namun, bagaimana seandainya
Yesus juga melakukan analisis untung-rugi (cost-benefit analysis)
sebelum Dia mau disalibkan, apakah kita akan diselamatkan?
Lihat saja dalam kehidupan sehari-hari. Untuk urusan sekolah,
orang tua mau mengeluarkan banyak uang untuk membeli buku, membayar
guru privat, membeli komputer, dll. Dalam hal ini, apakah orang tua
menggunakan perhitungan untung-rugi secara murni? Tentu tidak.
Mereka melihat masa depan yang akan dijalani oleh anak-anak itu.
Mereka harus diberi bekal agar kelak dapat menghidupi dirinya dan
keluarganya. Bukankah pelayanan untuk anak-anak juga harus
dipandang demikian? Anak-anak harus dipersiapkan untuk menerima
Yesus Kristus, yang akan sangat mempengaruhi masa-masa setelah
hidupnya di dunia ini berakhir. Berapa lamakah kehidupan setelah
kematian bila dibandingkan dengan kehidupan di dunia ini? Bila
untuk kehidupan di dunia yang rentang waktunya tidak panjang
seseorang mau berkorban banyak, bukankah seharusnya kita mau
berkorban untuk kehidupan yang kekal?
Cara pandang yang meremehkan anak-anak atau pelayanan anak ini
perlu diubah. Jika tidak, gereja akan kehilangan berkat Tuhan.
Sikap munafik yaitu lain di mulut lain di hati, atau lain di
tindakan, harus segera dihentikan. Tuhan tidak menyukai sikap
seperti ini dalam gereja-Nya.