Nama Kursus | : | ORANG KRISTEN YANG BERTANGGUNG JAWAB (OKB) |
Nama Pelajaran | : | Bertanggungjawab dalam Hal Keanggotaan Gereja dan |
| | Kehidupan Keluarga |
Kode Pelajaran | : | OKB-R04c |
Referensi OKB-R04c diambil dari:
Judul Buku | : | JALAN GOLGOTA |
Judul Artikel | : | Kebangunan Rohani di dalam Rumah Tangga |
Penulis | : | Roy and Revel Hession |
Penerbit | : | YAKIN, Surabaya, 1981 |
Halaman | : | 49 - 58 |
"KEBANGUNAN ROHANI DI DALAM RUMAH TANGGA"
Beribu-ribu tahun yang lalu di dalam taman yang terindah yang pernah
dikenal oleh dunia, berdiamlah seorang laki-laki dan seorang
perempuan. Mereka dibentuk menurut peta Penciptanya, mereka hidup
hanyalah untuk memuliakan Dia setiap saat sepanjang hari. Dengan
kerendahan hati mereka menerima kedudukannya sebagai makhluk terhadap
Sang Pencinta -- kedudukan yang penuh dengan kepatuhan dan sikap
menurut yang sempurna kepada kehendak-Nya. Karena mereka selalu
menundukkan kemauannya kepada kehendak-Nya, karena mereka hidup bagi
Dia dan bukan bagi dirinya sendiri, maka mereka juga senantiasa tunduk
seorang terhadap yang lain. Jadi di dalam rumah tangga yang pertama,
di dalam taman yang indah itu, terdapatlah keselarasan, damai, kasih
sayang dan persatuan yang sempurna, bukan saja dengan Allah, tetapi
antara seorang dengan yang lain juga.
Kemudian pada suatu hari keselarasan itu remuk, karena si ular beserta
dengan dosa menyelundup ke dalam rumah tangga yang berpusatkan Allah
itu. Maka sekarang, karena mereka telah kehilangan damai dan
persekutuan dengan sesamanya, mereka tidak lagi hidup bagi Allah
melainkan masing-masing hidup untuk dirinya sendiri. Mereka menjadi
allah bagi dirinya sendiri, dan karena mereka tidak lagi hidup bagi
Allah maka mereka tidak lagi hidup untuk sesamanya. Sebagai ganti
damai, kasih dan kesatuan, terjadilah perselisihan dan kebencian atau
dengan kata lain DOSA.
Kebangunan Rohani Dimulai dalam Rumah Tangga
Ke dalam rumah tanggalah pertama-tama dosa itu masuk. Di dalam rumah
tanggalah barangkali kita lebih banyak berdosa daripada di tempat lain
dan kepada rumah tanggalah terutama kebangunan rohani perlu datang.
Kebangunan rohani sungguh-sungguh sangat diperlukan di dalam gereja,
di dalam negara, dan di dunia, tetapi kebangunan rohani di dalam
gereja tanpa kebangunan rohani di dalam rumah tangga-rumah tangga akan
merupakan suatu kemunafikan belaka. Rumah tangga ialah tempat yang
paling sukar, sekaligus menjadi tempat yang paling perlu untuk
memulainya.
Tetapi sebelum kita meneruskan hal ini, marilah kita mengingatkan diri
kita lagi, apakah arti sebenarnya kebangunan rohani itu? Kebangunan
rohani semata-mata berarti hidup baru, di dalam hati orang di mana
kehidupan rohaninya telah surut -- tetapi bukan hidup baru penuh
dengan usaha si "aku" atau kegiatan-kegiatan yang diikhtiarkan oleh si
"aku". Bukanlah hidup manusia, melainkan hidup Allah, hidup Tuhan
Yesus yang memenuhi kita dan mengalir melalui kita. Hidup itu
dinyatakan di dalam persekutuan dan persatuan dengan mereka yang hidup
bersama-sama dengan kita; tak ada apa-apa antara kita dengan Allah,
maka tak ada apa-apa pula antara kita dengan mereka. Rumah tangga
adalah tempat lebih dahulu daripada segala tempat-tempat lain di mana
hidup baru ini harus dialami. Tetapi alangkah berbedanya pengalaman
dari kebanyakan kita yang menyebut dirinya orang-orang Kristen tetapi
di dalam rumah tangga mereka masih ada sakit hati, pertengkaran, sikap
mementingkan diri sendiri dan dendam; atau mereka yang dalam rumah
tangganya tidak ada masalah tetapi tidak ada persatuan dan
persekutuan, yang seharusnya menjadi ciri dari orang-orang Kristen
yang hidup bersama-sama. Segala sesuatu yang menyisip di antara kita
dengan orang lain, akan menyisip juga di antara kita dengan Allah, dan
merusakkan hubungan kita dengan Dia, sehingga hati kita tidak
berlimpah-limpah dengan hidup Ilahi.
Apakah yang Salah di dalam Rumah Tangga Kita?
Sekarang, apakah sebenarnya yang salah di dalam rumah tangga kita?
Bila kita berkata-kata tentang rumah tangga, kita maksudkan hubungan
antara suami isteri, orangtua dengan anak-anak, saudara laki-laki
dengan saudara perempuan, atau antara orang-orang lain siapapun yang
disebabkan oleh macam-macam keadaan terpaksa hidup bersama-sama.
Hal pertama yang keliru dalam banyak keluarga ialah bahwa kita tidak
sungguh-sungguh terbuka dan berterus terang satu dengan yang lain.
Kita banyak hidup di belakang tirai yang tertutup. Orang-orang lain
tidak tahu orang seperti apakah kita ini sebenarnya dan kita tidak mau
mereka mengetahuinya. Bahkan, mereka yang hidup di dalam hubungan yang
amat karib dengan kita, tidak mengetahui apa yang ada dalam hati kita
-- kesukaran-kesukaran, peperangan-peperangan, pergumulan-pergumulan,
kegagalan-kegagalan kita, dan juga tidak tahu dari dosa apakah Tuhan
Yesus harus menyucikan kita berkali-kali. Sikap kurang terus terang
dan kurang terbuka ini senantiasa adalah akibat dari dosa. Akibat
pertama dari dosa pertama menyebabkan Adam dan Hawa bersembunyi dari
hadapan Allah di belakang pohon-pohon di Taman Eden. Mereka yang
dahulu demikian berterus-terang terhadap Allah dan satu terhadap yang
lain, pada waktu itu bersembunyi dari hadapan Allah, karena dosa; dan
jika mereka bersembunyi dari hadapan Allah, Saudara sudah dapat
memastikan bahwa mereka segera mulai tidak berterus-terang seorang
terhadap yang lain. Ada reaksi-reaksi dan pikiran-pikiran di dalam
hati Adam yang tak boleh diketahui oleh Hawa, demikian pula ada hal-
hal serupa yang tersembunyi di dalam hati Hawa. Maka demikianlah
seterusnya sejak saat itu. Karena ada sesuatu yang kita sembunyikan
dari hadapan Allah, kita juga menyembunyikannya dari hadapan sesama
kita. Di belakang dinding sikap menyisih itu, yang berlaku sebagai
topeng, kita menutupi si"aku" kita yang sebenarnya. Kadang-kadang kita
bersembunyi dengan cara yang luar biasa sekali yaitu di belakang
kelakuan pura-pura jenaka. Kita takut bersikap serius karena kita
tidak ingin orang lain terlalu dekat dengan kita dan mengetahui
bagaimana kita ini sebenarnya, lalu dengan jalan itu kita
mempertahankan siasat gertak sambal. Kita tidak bersungguh-sungguh
seorang terhadap yang lain dan tak seorangpun dapat bersekutu dengan
orang yang tidak bersungguh-sungguh, dan demikianlah persatuan dan
persekutuan erat mustahil ada di dalam rumah tangga itu. Inilah yang
dinamakan oleh Kitab Suci "berjalan di dalam kegelapan" -- karena
kegelapan itu ialah segala sesuatu yang menyembunyikan.
Kegagalan Mengasihi
Hal kedua yang salah di dalam rumah tangga kita ialah kegagalan kita
untuk saling mengasihi dengan sungguh-sungguh. "Nah", kata seseorang,
"hal itu tak dapat dikatakan tentang keluargaku, karena tak ada orang
yang dapat mengasihi orang lain lebih daripada suamiku dan kami saling
mencintai". Tetapi tunggu dahulu! Jawaban itu bergantung kepada apakah
yang Saudara maksudkan dengan kasih. Kasih bukanlah berarti suatu
perasaan sentimentil saja, dan bukan suatu hawa nafsu kuat. Bagian
yang terkenal dalam 1Korintus 13 menerangkan kepada kita tentang kasih
yang sejati dan jika kita menguji diri kita menurut ini, maka kita
mungkin mendapatkan, bahwa sesudah ditinjau lagi, kita hampir tidak
saling mencintai sama sekali dan tingkah laku kita semuanya menuju
kepada hal yang berlawanan sekali -- dan lawan kasih ialah benci.
Marilah kita menyelidiki beberapa hal yang dikatakan dalam pasal itu
tentang cinta-kasih.
"Kasih itu panjang sabar dan penyayang".
"Kasih itu tiada dengki".
"Kasih itu tiada memegahkan dirinya, tidak sombong".
"Kasih itu tiada melakukan yang tiada senonoh (tiada kasar)"
"Kasih itu tiada mencari keuntungan bagi dirinya saja, tidak
pemarah, tiada menyimpan kesalahan orang (tidak mempertimbangkan
pikiran-pikiran yang tidak ramah tentang orang lain)."
Apakah kita dapat lulus dalam ujian seperti itu di dalam rumah tangga
kita? Seringkali kita justru bertindak sebaliknya.
Kita berkali-kali kurang sabar satu terhadap yang lain, dan bahkan
tidak ramah di dalam cara kita menjawab kembali atau memberikan
reaksi. Alangkah seringnya iri hati terdapat di dalam suatu rumah
tangga. Seorang suami dan isteri dapat saling iri hati atas pembawaan-
pembawaannya, bahkan mengenai kemajuan rohani mereka. Para orangtua
mungkin iri hati terhadap anak-anaknya, dan betapa seringnya terdapat
iri hati yang pahit antara saudara-saudara laki-laki dengan saudara-
saudara perempuan.
Juga bagaimanakah mengenai "tiada melakukan yang tiada senonoh" yang
berarti budi bahasa? Budi bahasa ialah kasih dalam hal yang kecil-
kecil, tetapi di dalam hal yang kecil-kecil inilah kita tergelincir.
Kita sangka kita dapat "kurang mempertahankan budi-bahasa" di rumah.
Alangkah seringnya kita congkak. Kecongkakan itu kelihatan dalam
segala macam cara. Kita menyangka kitalah yang benar-benar tahu, kita
menghendaki jalan kita sendiri, maka kita menggoda atau bertindak
sebagai tuan besar terhadap orang lain itu dan sifat ini menuju kepada
kecenderungan menghina dia juga. Justru sikap kita bahwa kita lebih
utama daripada orang lain itu menempatkan kita di atasnya. Dalam dasar
hati kita, kita mengejikan seseorang, kita mencelanya atas segala hal
-- namun kita mengira kita memberi kasih sayang.
Lalu bagaimana tentang "tiada mencari keuntungan dirinya saja"? Hal
itu berarti: berpusat kepada diri sendiri saja. Sering dalam
keseharian kita, kita lebih mendahulukan keinginan dan kepentingan
kita daripada keinginan dan kepentingan saudara kita.
Alangkah mudahnya kita ini menjadi "pemarah"! Alangkah cepatnya kita
ini panas hati terhadap sesuatu di dalam saudara kita! Alangkah
seringnya kita membiarkan pikiran yang kurang ramah atau perasaan
sakit hati atas sesuatu yang telah diperbuat atau yang dilalaikan oleh
saudara kita! Namun kita mengatakan bahwa tak ada kegagalan dalam
cinta-kasih di rumah tangga kita. Hal-hal ini terjadi tiap hari,
tetapi kita menganggapnya enteng saja. Kesemuanya ini adalah lawannya
cinta-kasih, dan lawannya kasih ialah kebencian. Ketidak-sabaran itu
kebencian, iri hati itu kebencian, kesombongan itu kebencian, begitu
juga sikap mementingkan diri sendiri, sikap mudah tersinggung dan
mendendam. Dan kebencian adalah DOSA. "Barangsiapa berkata, bahwa ia
berada di dalam terang, tetapi ia membenci saudaranya, ia berada di
dalam kegelapan sampai sekarang" (1Yohanes 2:9). Alangkah banyaknya
ketegangan-ketegangan, rintangan-rintangan, dan perselisihan yang
disebabkan oleh semuanya itu, maka persekutuan baik dengan Allah
maupun dengan manusia lain menjadi mustahil.
Satu-satunya Jalan Keluar
Soalnya sekarang ialah apakah saya mengingini hidup baru, kebangunan
rohani, di dalam rumah tangga saya? Saya harus menantang hati saya
mengenai hal ini. Apakah saya siap meneruskan kehidupan dalam keadaan
sekarang ini atau apakah saya benar-benar lapar akan hidup baru, yaitu
hidup-Nya, di dalam rumahku? Karena tak akan terjadi, kecuali jika
saya sungguh-sungguh lapar, saya bersedia mengambil langkah-langkah
yang sangat diperlukan. Langkah pertama yang harus saya ambil ialah
menyebut dosa sebagai dosa (dosaku, bukan dosa orang lain itu) lalu
membawanya ke kayu salib, dan percaya bahwa Tuhan Yesus pada saat itu
juga menyucikan saya dari dosa.
Pada saat kita menundukkan kepala kita pada kayu salib, maka kasih-
Nya yang begitu besar bagi orang lain, kepanjang-sabaran-Nya, dan
bersabar hati-Nya mengalir ke dalam hati kita. Darah-Nya yang indah
itu menyucikan kita dari kurang cinta kasih dan dendam dan Roh Suci
memenuhi kita dengan pembawaan Tuhan Yesus sendiri. 1Korintus 13 itu
tidak lain dari pembawaan Tuhan Yesus, dan kesemuanya itu merupakan
karunia semata-mata, karena pembawaan-Nya akan menjadi pembawaan kita,
jikalau Dia milik kita. Proses yang penuh dengan berkat ini dapat
terjadi pada tiap kalipun, bila permulaan dosa dan perasaan kurang
cinta kasih itu menyelundup ke dalam hati kita, maka pancuran darah
yang menyucikan itu senantiasa dapat kita pergunakan setiap saat,
sepanjang masa.
Kesemuanya ini akan menetapkan kita supaya sungguh-sungguh berjalan
pada jalan salib di rumah tangga kita. Sebentar-sebentar kita akan
melihat tempat-tempat dimana kita harus menyerahkan hak-hak kita,
sebagaimana Tuhan Yesus menyerahkan hak-hak-Nya bagi kita. Kita akan
harus insyaf bahwa hal di dalam kita yang memberikan reaksi begitu
tajam terhadap sikap egoistis dan kesombongan orang lain itu hanya
semata-mata sikap egoistis dan kesombongan kita sendiri yang enggan
kita korbankan. Kita akan harus menerima cara-cara dan perbuatan-
perbuatan orang lain itu sebagai kehendak Allah bagi kita, lalu dengan
rendah hati menundukkan kepala kita kepada semua keadaan yang diatur
oleh Tuhan. Ini bukan berarti bahwa kita harus menerima sikap egoistis
orang lain itu sebagai kehendak Allah bagi mereka -- jauh dari pada
itu -- tetapi hanya sebagai kehendak Allah bagi kita. Sejauh berkenaan
dengan orang lain itu, Allah mungkin menghendaki memakai kita, jika
kita hancur, maka kita dipakai untuk menolong dia supaya ia insyaf
akan kebutuhannya. Sudah tentu, jika kita seorang bapak atau ibu, kita
akan sering diperlukan untuk mengoreksi anak kita dengan kekukuhan.
Tetapi janganlah hal ini dilakukan oleh karena pendorong yang
egoistis, melainkan hanya karena cinta kasih terhadap orang lain itu
dan karena kerinduan akan kepentingannya saja. Kesenangan, dan hak-hak
kita sendiri harus diserahkan. Hanya dengan demikianlah kasih sayang
Tuhan Yesus akan dapat memenuhi kita dan menyatakan dirinya melalui
kita.
Bilamana kita telah dihancurkan di Golgota kita harus bersedia
mendamaikan hal-hal yang salah dengan orang lain -- kadang-kadang
bahkan dengan anak-anak kita. Ini, seringkali, merupakan ujian atas
kehancuran hati kita. Kehancuran hati adalah kebalikan dari kekerasan
hati. Kekerasan hati mengatakan: "Itu kesalahanmu" tetapi hati yang
hancur mengatakan: "Itu kesalahanku". Alangkah lainnya suasana yang
akan terjadi di dalam rumah tangga kita bila mereka mendengar kita
berkata demikian. Biarlah kita ingat bahwa di kayu salib hanya ada
tempat untuk seorang saja: Kita tak dapat mengatakan: "Saya telah
bersalah tetapi Saudara bersalah juga, Saudara harus datang juga".
Tidak, Saudara harus datang sendiri sambil mengatakan: "Saya yang
bersalah". Di dalam hati orang lain itu Tuhan akan bekerja lebih
melalui kehancuran kita daripada melalui apa saja yang dapat kita
perbuat atau katakan. Tetapi, mungkin kita harus menantikan --
barangkali lama sekali. Tetapi, itu akan hanya menyebabkan kita lebih
sama rasa (bersimpati) dengan Allah karena, seperti telah dikatakan
oleh seseorang "Ia juga harus menunggu lama sekali sejak usaha-Nya
yang mulia untuk membereskan hal-hal dengan manusia walaupun tak ada
salah pada pihak-Nya". Tetapi Allah pasti mau mengabulkan doa kita dan
membawa orang lain itu ke Golgota juga. Di sanalah kita akan menjadi
satu; di sanalah dinding pemisah di antara kita itu akan diruntuhkan
dan di sana kita akan dapat berjalan di dalam terang, di dalam
keterusterangan dengan Tuhan Yesus dan dengan sesama kita, saling
mengasihi dengan hati yang suci murni dan asyik. Dosa memang hampir
satu-satunya hal yang kita miliki bersama dengan tiap orang lain; dan
demikian pada kaki Tuhan Yesus di mana dosa disucikan ialah satu-
satunya tempat di mana kita dapat bersatu. Persatuan yang sungguh-
sungguh dapat kita bayangkan sebagai dua orang atau lebih dari dua
orang yang berdosa, bersama-sama ada di Golgota.
|