Nama Kursus : PENGANTAR PERJANJIAN BARU
Nama Pelajaran : Kitab-kitab Injil dan Kehidupan Tuhan Yesus
Kode Pelajaran : PPB-R04c
Referensi PPB-04c diambil dari:
Judul Buku : Memahami Injil-injil dan Kisah Para Rasul
Pengarang : Joel B. Green
Penerbit : Persekutuan Pembaca Alkitab, Jakarta, 2005
Halaman : 19 - 25
REFERENSI 04c - KITAB-KITAB INJIL DAN KEHIDUPAN TUHAN YESUS
SATU BERITA INJIL - EMPAT INJIL
Seorang rekan saya yang menjadi penginjil telah menghabiskan waktu
berbulan-bulan untuk membangun persahabatan yang sungguh-sungguh akrab
dengan sepasang suami istri berkebangsaan Jepang. Pasangan suami istri
itu tinggal tidak jauh dari rumahnya. Dalam percakapan mereka pada
suatu hari, rekan saya itu mendorong mereka agar memberi perhatian
lebih saksama pada akar-akar historis dari iman Kristen dengan cara
membaca Perjanjian Baru. Setelah beberapa hari membaca keempat Injil,
si istri kemudian membuat rekan saya itu terkejut karena mengajukan
pertanyaan berikut, "Mengapa Yesus harus mati empat kali?"
Bagi orang-orang yang besar di dalam lingkungan gereja ataupun mereka
yang cukup akrab dengan Alkitab, pertanyaan ini terdengar agak konyol.
Akan tetapi, pertanyaan ini segera membangkitkan suatu isu yang
genting bagi para pembaca Injil-Injil. Mengapa harus ada empat
catatan? Kenapa ada empat versi yang berbeda? Mengapa ada empat
perspektif yang masing-masing memiliki kekhasan? Mengapa tidak
dibuatkan satu saja catatan yang berotoritas? Ini tentu saja adalah
salah satu isu paling genting yang harus dihadapi para pembaca empat
kitab pertama dari Perjanjian Baru ini: Ada empat Injil-Injil, dan
masing-masing tidak selalu sepakat dengan yang lain dalam berbagai
hal.
MENGAPA EMPAT INJIL?
Mengapa empat Injil? Segera muncul dua jawaban yang saling kait-
mengait. Di satu pihak, tidak seorang pun mampu menangkap keseluruhan
signifikansi dari orang lain, dan prinsip ini berlaku terutama bagi
sosok dengan bobot dan orisinalitas seperti Yesus. Walaupun potret
Yesus yang disediakan Lukas dapat menolong para pembacanya, ia tentu
saja tidak mampu menangkap seluruh hal-hal yang penting. Karena alasan
inilah kita dapat bersyukur karena kita tidak hanya memiliki satu
melainkan empat potret Yesus.
Di pihak lain, bahkan sejak zaman para rasul masing-masing komunitas
Kristen membutuhkan catatan tentang pelayanan Yesus serta
signifikansinya yang dikisahkan dalam cara yang secara khusus memenuhi
kebutuhan mereka. Injil-injil adalah dokumen-dokumen yang memiliki
tujuan tertentu. Dengan kata lain, kita dapat menyimpulkan bahwa
Injil-injil, seperti surat-surat Paulus, adalah "tulisan-tulisan untuk
menangani suatu keadaan tertentu." Maksudnya, sebagaimana Paulus
menuliskan surat pertamanya kepada orang-orang Kristen di Korintus
untuk menghadapi masalah-masalah spesifik yang terjadi di sana
(misalnya, lihat 1Kor. 1:11; 5:1; 7:1), demikian juga para penulis
Injil menuliskan Injilnya untuk menghadapi kebutuhan-kebutuhan
tertentu. Karena itu, wajar bila Injil Yohanes menampilkan rasa yang
berbeda bila dibandingkan dengan Injil Matius; Yohanes hendak menyapa
suatu khalayak pembaca yang berbeda pula.
Sebenarnya, ada banyak "injil" yang ditulis pada abad-abad pertama
keberadaaan gereja. Lukas sendiri menyadari adanya beberapa upaya
untuk menyampaikan kisah Yesus yang telah dilakukan sebelum upayanya
ini (Luk. 1:1). Karena itu, tidak perlu kita ragukan lagi kalau ada
(semacam) injil-injil yang telah beredar pada dekade-dekade awal dari
sejarah Kekristenan. Kita juga menyadari bahwa selama beberapa abad
orang-orang terus terdorong untuk menuliskan injil-injil. Sebagian
dari hasil upaya-upaya tersebut telah dikenal oleh para sarjana
biblika dalam bentuk yang utuh sejak dulu; karya-karya lainnya yang
dikutip oleh penulis-penulis masa lalu kini hanya dikenal namanya
saja; namun, masih ada beberapa karya lain yang baru-baru ini
ditemukan di antara penemuan-penemuan arkeologis di Nag Hammadi.
Kemungkinan besar injil-injil dalam kelompok yang disebut terakhir
tadi (kadang-kadang disebut sebagai "injil-injil apokrifa") dituliskan
lama setelah Injil-Injil Perjanjian Baru ditulis. Isi dari injil-injil
ini kadang menyajikan bahan-bahan yang sangat menghibur dan
mengikutsertakan kisah-kisah fantastis tentang Yesus serta perkataan-
perkataan penuh teka-teki dan esoteris yang dianggap berasal dari
Yesus. Seperti yang telah kita ketahui, hanya empat Injil - Matius,
Markus, Lukas, dan Yohanes - yang kemudian memiliki status otoritas
yang diterima secara luas. Munculnya injil-injil lain yang kurang
didasari oleh sejarah dan memiliki kecenderungan untuk melakukan
penafsiran yang spekulatif ini bisa saja menjadi pendorong bagi
pengakuan akan Injil-Injil dalam Perjanjian Baru sebagai catatan-
catatan yang berotoritas.
Walaupun demikian, beberapa orang masih merasa tidak nyaman karena
harus menghadapi kesaksian berganda tentang kisah Yesus yang seperti
ini, bahkan pada masa-masa awal tersebut. Terasa adanya suatu
ketegangan tertentu bila catatan-catatan yang berbeda itu ditempatkan
berdampingan. Untuk memecahkan masalah ini, maka disusunlah edisi
"harmonisasi Injil-injil" yang pertama. Penyusun buku ini, Tatianus,
berusaha untuk menyuling narasi-narasi yang bervariasi dalam Injil-
injil itu ke dalam satu catatan yang berotoritas. Pada akhirnya, buah
dari usaha ini pun dirasakan tidak memuaskan oleh gereja purba waktu
itu.
Kelihatannya judul-judul yang dibubuhkan kepada Injil-Injil tersebut
memberikan sudut pandang terbaik bagi kita untuk memahami solusi purba
bagi masalah empat Injil ini. Pada awalnya, Injil-Injil ini diedarkan
tanpa dibubuhi baris judul. Judul-judul baru dibutuhkan setelah
keempat Injil ini dikumpulkan bersama. Bila diterjemahkan secara
harfiah, tulisan-tulisan ini diberi judul "Menurut Matius", "Menurut
Markus", dst. Kata-kata ini tidak sekadar mengandung makna bahwa
Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes adalah penulis kitab-kitab itu.
Sebaliknya, kata "menurut" di sini menyiratkan suatu konformitas yang
sangat mendasar kepada satu kisah - maksudnya, kepada satu berita
injil - yang disampaikan oleh keempat penulis Injil. Hanya ada satu
berita injil, tetapi berita injil itu telah disampaikan melalui empat
penulis. 3 Karena itu, dengan memberikan judul demikian kepada keempat
kitab tersebut, gereja purba sedang memberi kesaksian tentang kesatuan
dari fokus dan bahasan keempat Injil itu. Pada saat yang sama mereka
sekaligus memberi ruang bagi hadirnya keragaman dalam penyampaian
kisah Injil.
EMPAT INJIL: OTORITAS YANG DIPIKUL BERSAMA
Apakah implikasi hal ini bagi pemahaman kita atas Injil-injil pada
saat ini? Ada dua hal. Pertama, kita harus menyadari bahwa ketika
gereja mula-mula memilih keempat Injil tersebut dan menempatkan mereka
berdampingan, gereja mula-mula sedang menyatakan bahwa di antara
keempat Injil-injil tidak ada Injil yang "paling baik" atau "lebih
benar" daripada tiga Injil yang lain. Tentu saja, ketika kita mengakui
peran aktif dari gereja purba di dalam proses kanonisasi Injil-injil,
kita tidak menganggap hal ini sebagai suatu upaya manusiawi semata.
Sebaliknya, kita percaya bahwa Roh Kudus menuntun keseluruhan proses
ini.
Lalu apa anti dari kesimpulan bahwa keempat Injil-injil itu memiliki
status yang sama? Pada intinya, itu berarti keempat Injil-injil
merupakan saksi-saksi yang sama-sama valid atas berita injil yang
tunggal itu, walaupun masing-masing memang memberikan kesaksian
tentang berita injil itu dalam caranya yang khas. Masing-masing harus
dibiarkan untuk bertumpu pada kakinya sendiri. Karena itu, Injil
Yohanes tidak boleh kita anggap sebagai kunci untuk memahami berita
dari Injil Markus. Sebagai karya-karya sastra, Injil-injil tetap
memiliki integritasnya masing-masing. Akan tetapi, implikasi lain yang
juga muncul adalah: tidak satu pun dari keempat Injil itu yang layak
untuk menjadi saksi berotoritas atas berita injil bila hadir sendirian
tanpa Injil yang lain. Karena Injil-injil disampaikan dari perspektif-
perspektif yang berbeda, maka keempat Injil itu saling melengkapi satu
dengan yang lain; keempatnya saling menyeimbangkan; masing-masing
menyajikan aspek yang berbeda dari hakikat berita injil yang tunggal
itu, yaitu signifikansi dari kehidupan, kematian, dan kebangkitan
Yesus. Kita membutuhkan keempat-empatnya dan tidak satu pun dari empat
Injil itu dapat kita perlakukan sebagai saksi tunggal tentang
signifikansi Yesus.
Kita dapat mengilustrasikan poin terakhir ini sambil mengacu kepada
salah satu bagian dari Ucapan Berbahagia yang disampaikan dalam dua
bentuk yang berbeda oleh Matius dan Lukas:
"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah
yang punya Kerajaan Surga." (Mat. 5:3).
"Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang punya
Kerajaan Allah." (Luk. 6:20).
Yang menjadi pusat perhatian kita bukanlah perbedaan antara bentuk
orang ketiga ("merekalah") yang digunakan Matius dan bentuk orang
kedua ("kamulah") yang digunakan Lukas. Juga bukan tentang perbedaan
antara istilah Kerajaan Surga yang digunakan Matius dengan Kerajaan
Allah yang digunakan Lukas (sebenarnya, "Kerajaan Surga" dan "Kerajaan
Allah" merupakan sinonim). Lima masalah yang lebih mendasar dalam
ayat- ayat paralel ini terpusat pada kontras antara sapaan yang dalam
Injil Matius kelihatannya ditujukan kepada "orang yang miskin secara
rohani" dengan sapaan kepada "orang yang miskin secara materiil" di
dalam Injil Lukas. Bila kita mengakui kedua Injil ini sebagai saksi-
saksi yang sama-sama berotoritas atas satu berita injil yang sama,
maka kita harus melawan semua upaya yang hendak menonjolkan versi yang
satu melebihi versi lainnya. Kita perlu mendengarkan kedua-duanya.
Bila kita menonjolkan yang satu melawan yang lain, maka hasilnya
justru akan merugikan kita.
Karena itu, sementara kita menghargai serta memberi salut atas
bangkitnya kembali kesadaran di antara banyak orang Injili mengenai
kebenaran alkitabiah tentang sikap Allah bagi orang yang tertindas dan
juga tanggung jawab kita demi kepentingan mereka, kita harus berusaha
untuk mengapresiasi keseluruhan kisah itu. Dengan alasan yang kuat,
kalangan Injili yang mulai mengembangkan kesadaran sosial telah
memalingkan perhatian mereka kepada Injil Lukas. Sikap ini mereka
lakukan dalam upaya mendasarkan segala keprihatinan yang mereka
rasakan pada inti dari berita injil.6 Dari berbagai sisi, tampak bahwa
Injil Lukas memang sangat cocok untuk upaya ini. Injil ini memang
memberi penekanan pada Yesus sebagai Juruselamat bagi semua orang,
bahkan (dan terutama) bagi mereka yang tertindas. Walaupun demikian,
Lukas hanyalah salah satu dari empat Injil yang ada. Bila kita
mengesampingkan Injil Matius, Markus, ataupun Injil Yohanes dalam
upaya untuk menjangkau inti dari pemberitaan Yesus, maka kita sama
saja sedang menolak fakta bahwa yang hadir di hadapan kita adalah
Injil yang memiliki empat wajah! Karena itu, tidak satu pun dari
keempat Injil itu yang dapat kita perlakukan sebagai saksi berita
injil yang komplit, sehingga tidak perlu dilengkapi oleh tiga Injil
lainnya.
Selain itu, bila kita memperhatikan signifikansi dari istilah miskin
pada masa-masa sebelum dan sesudah pelayanan Yesus di bumi, kita akan
melihat tidak adanya kontradiksi antara ucapan berbahagia versi Matius
dengan versi Lukas tersebut. Oleh karena kondisi-kondisi sosial dan
politis yang timbul akibat pendudukan asing pada masa tersebut (yang
akan kita perhatikan pada pasal berikut), kesetiaan kepada Allah dapat
berdampak pada kemiskinan materiil, dan bahkan inilah yang kerap
terjadi! Karena itu, kedua istilah ini, "miskin" (kemiskinan yang
bersifat sosioekonomis) serta "miskin dalam roh" (kerendahan hati yang
penuh kesalehan) sama-sama mencakup dimensi-dimensi kehidupan yang
bersifat religius serta sosial. Ketika Matius dan Lukas menyampaikan
perkataan Yesus ini, keduanya sedang menunjuk kepada satu realitas
yang sama sambil memberi penekanan pada aspek-aspeknya yang berbeda.
|