Hukum Ketiga
Kita sudah menyelesaikan pembahasan hukum kedua. Allah tak mengenal kompromi terhadap penyembahan allah palsu. Allah sejati yang suci, tidak akan membiarkan manusia yang Dia ciptakan seturut peta teladan-Nya, membagi kemuliaan yang seharusnya diberikan kepada-Nya kepada objek lain. Dia memberi hidup kekal di dalam Yesus Kristus kepada orang yang mencintai Dia dengan segenap hati, tetapi menuntut orang yang membenci-Nya sampai tiga atau empat generasi. Maka hukum kedua adalah satu-satunya di Sepuluh Hukum yang mengandung warning dan promise.
Hukum ketiga bukan melarang kita menyerukan nama Tuhan, melainkan menyebut nama Tuhan dengan sembarangan. Sama juga, orang Kristen boleh memiliki ambisi besar asal bukan untuk diri sendiri. Saya memiliki ambisi yang sangat besar. Saya tidak puas jika gedung gereja selesai dibangun. Gedung yang besar hanyalah anugerah Tuhan yang terkecil bagi gereja.
Anugerah Tuhan yang lebih penting adalah iman, firman, cinta kasih, kuasa Roh Kudus, mengerti kehendak Allah, dan berpartisipasi dalam rencana kekal-Nya. Kalau kita semua mengerti hal ini tentu tak akan tertipu oleh hal-hal sekunder lalu melalaikan hal-hal primer. Oleh karena itu, kata "jangan sembarangan" penting untuk mengerti seluruh ayat.
Nama dan Kualitas Realitasnya Rektor Sekolah Theologi saya mengingatkan, jangan bergaul dengan orang yang buka mulut tutup mulut selalu menyebut nama Tuhan. Saya setuju dengan pendapatnya karena orang yang selalu membawa-bawa nama Tuhan jangan-jangan dirinya justru tidak mengenal Tuhan. Demikian pula, banyak pendeta yang berteriak-teriak dan banyak berseru tentang Roh Kudus, sebenarnya malah tidak mengerti doktrin Roh Kudus. Mereka berani mempersamakan Roh Kudus dengan gejala-gejala, baptisan Roh dengan berbahasa lidah. Arti kata "baptis" adalah menguduskan. Namun mereka bukan menekankan pertobatan, pembersihan jiwa, pikiran, dan kelakuan melainkan karunia berbahasa roh — salah tafsir Alkitab yang telah menyesatkan banyak orang. Mengapa Allah melarang kita menyebut nama-Nya dengan sembarangan? Untuk itu, kita perlu pertama-tama mengetahui siapa yang ada di balik nama itu. Filsafat Konfusius mengajarkan zheng ming lun (teori nama yang benar) yang selama 2.500 tahun dijunjung tinggi oleh kebudayaan Tionghoa, yaitu: nama harus sesuai dengan fakta. Pemikiran seperti ini tidak kita temui dalam filsafat Aristoteles maupun Sokrates.
Pada suatu saat, ada seorang murid saya melakukan praktek khotbah. Judul khotbahnya sangat menarik, yaitu "Roh Kudus menggerakkan dan mengarahkan keinginan seseorang yang terdalam". Pada awalnya saya mengira dia sudah memikirkan tema yang sedemikian penting dan besar secara mendalam. Namun, ketika saya mendengarkan khotbahnya, ternyata khotbahnya kacau sekali dan tidak beres. Maka saya menanyakan mengapa dia memberikan judul khotbah yang begitu besar dan luar biasa, tetapi isinya tidak karuan. Dia menjawab bahwa dia menemukan pernyataan yang bagus itu dari sebuah buku, lalu dia pakai menjadi judul khotbah, tetapi kemudian dia mengaitkan berbagai hal dengan menggunakan judul itu. Itu hal yang tidak benar. Ketika kita memakai satu judul maka judul itu harus sesuai dengan isi yang dibahas. Kalau tidak, akan jadi bahan tertawaan orang. Itu sebabnya, Tuhan mengingatkan kita, anak-anak-Nya untuk menyadari makna dari nama Tuhan sehingga kita tak menyebut nama-Nya dengan motivasi yang tidak beres.
Sesuaikah nama Tuhan dengan realitasnya? Mengapa kau membeli arloji Rolex? Karena di balik nama itu terdapat falsafah Wardolf, yang dia kemukakan pada tahun 1905: Kami memproduksi arloji bermutu dengan bahan yang terbaik. Falsafah itu tetap dianut sampai sekarang, arloji Rolex bisa dipakai enam puluh bahkan delapan puluh tahun asal dibersihkan secara berkala. Tahun 1932 atau 1934, seorang perenang wanita mengenakan Rolex, berenang dari Inggris ke Perancis di Strait of Dover yang ombaknya ganas. Ketika dia mendarat, di bawah kaca arloji tak terdapat embun, tak setetes air masuk ke dalamnya. Lalu di tahun 1952, Lord Hillary mengenakan Rolex Explorer One naik ke puncak Gunung Everest yang saat itu ketinggiannya 8.892 m. Arloji Rolex-nya berfungsi dengan baik. Berikutnya, di sebuah kapal yang sudah tenggelam 27 tahun di Aegean Sea, orang menemukan arloji Rolex. Setelah dibersihkan ternyata arloji itu masih berfungsi. Ketiga peristiwa itu membuat nama Rolex melambung. Mengapa orang percaya akan arloji Omega? Karena di tahun 1959, Omega memproduksi Speed Master. Awalnya merek dan tipe ini tidak dikenal orang, sampai NASA secara diam-diam membeli empat puluh jenis arloji yang termahal, diuji dengan delapan belas jenis ujian yang ketat, termasuk di suhu yang dingin sekali, panas sekali, di bawah air, dijatuhkan dengan kecepatan tertentu, bahkan kecepatan roket yang mencapai 50.000 km per jam. Apakah arloji itu masih berfungsi dengan baik? Hasilnya, tiga puluh sembilan jenis tak lulus (termasuk Rolex), satu-satunya yang lolos adalah Omega Speed Master. Mereka memberitahu Pabrik Omega, "Selamat, Speed Master produksimu adalah arloji terbaik. Kami telah melakukan uji yang paling keras dan paling berat terhadap beberapa jenis arloji, dan arloji milikmu adalah satu-satunya yang bisa melewati semua ujian tersebut. Maka arlojimu yang akan kami bawa ke bulan." Sejak itu, di balik Speed Master tertulis: the only watch to wear in the mission of NASA to the moon, dan dijuluki "Moon Watch". Saat Apollo kesekian pulang ke bumi, semua peralatan rusak, hanya kronograf Speed Master yang bisa menghitung kapan mereka tiba di bumi dan tepat.
Sayang, di tahun 70-an, Omega melakukan mass production, memproduksi versi khusus untuk pasaran di China dengan harga terjangkau. Ternyata hal itu merupakan bumerang bagi mereka, sehingga di tahun 1980 Omega rugi seratus juta dollar. Mengapa arloji buatan Swiss begitu mahal, bukankah bahan dasarnya murah? Karena kepercayaan, mutu, sejarah, inovasi manusia yang dicipta menurut peta teladan Allah jauh lebih berharga dari bahan dasar. Ketika kita mendengarkan khotbah, bobot khotbah juga berbeda-beda, tergantung siapa yang berkhotbah, karena substansi realitasnya berada di balik namanya. Tiga bulan terakhir ini, saya sangat sedih karena seorang Kristen membangun sekolah Kristen yang diberi nama John Calvin, kemudian karena kesulitan uang lalu dijual dan dibeli oleh orang non-Kristen, namun tetap menyandang nama tokoh Reformed terbesar yang bisa mengecoh banyak orang. Mengapa bisa begitu? Orang Kristen terlalu sembrono dalam hal menggunakan nama, hanya memikirkan untung tanpa memikirkan akibatnya.
Penyebutan dan Motivasinya Apa motivasi orang ketika menyebut nama Tuhan? Tuhan Yesus berkata "Dengan sesungguhnya Aku berkata kepadamu, bukan semua orang yang menyebut nama-Ku akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, hanya mereka yang melakukan kehendak Allah yang dapat masuk sorga" (Mat.7:21). Karena nama adalah sesuatu yang penting sekali, memancarkan realitas, substansi, mutu yang dia miliki. "Allah" adalah nama dari Pribadi yang paling adil, paling bajik, paling sempurna, paling mutlak, paling suci, paling benar, paling indah, paling tinggi, dan seterusnya. Maka ketika engkau menyebut nama Allah, tidak boleh tanpa memiliki rasa tanggung jawab.
Mengapa ada orang yang berani menyebut nama Allah dengan sembarangan? Karena mereka tidak tahu siapa itu Allah. Di dalam Kitab Suci, ada satu kitab yang sama sekali tak menyinggung nama Allah, Yehovah, Tuhan, sang Pencipta, sang Penebus, yaitu Kitab Ester. Tetapi ketika orang membacanya, langsung menyadari penyertaan Tuhan atas umat-Nya, tangan-Nya menyelamatkan kaum pilihan-Nya, meski saat mereka berada di pembuangan, dikuasai oleh Raja Persia. Maka orang Israel pun tak berani memandangnya sebagai kitab atheis dan menyingkirkannya dari kanon Alkitab. Ketika saya bertemu dengan Bob Pierce, pendiri World Vision, di Switzerland, dia mengatakan, "Sekalipun di dalam kitab Ester tidak satu kali pun disebutkan nama Allah, tetapi di sana ada huruf-huruf yang bisa disusun menjadi JHWH (Jehovah)." Maksudnya, nama Allah tersimpan di sana meski istilah itu tak muncul. Memang ada dua jenis orang Kristen: i) orang yang setiap saat menyebut-nyebut nama Allah, tapi hidupnya tidak karuan; dan ii) orang yang tak sembarangan menyebut nama Allah, tetapi hidupnya mencerminkan penyertaan Tuhan. Nama Allah adalah the subjectivity of truth in person, the subjectivity of the holiness in person, the subjectivity of righteousness in person, the subjectivity of the perfect in person, the subjectivity of the absolute in person. Suatu hari, saya mendengar Zhen Xiu Yi, penginjil wanita lulusan Seminari di Shanghai, mengisahkan di khotbahnya "waktu saya berumur sepuluh tahun, saya melihat gambar-gambar, ada gambar seorang tua, saya serta-merta berkata, ini mirip Allah. Papa langsung menampar saya dan katanya, ‘jangan menyebut nama Allah dengan sembarangan.’ Maka mulai hari itu, saya tahu, nama Tuhan itu suci, tak boleh disebut dengan sembarangan." Akhirnya, dia menjadi seorang penginjil yang sangat cinta Tuhan, rela berkorban bagi-Nya.
Dalam hal apa saja seseorang memakai nama Allah? Sering kali orang memakai nama Tuhan untuk bersumpah. Kita harus berhati-hati dengan orang yang mudah sekali bersumpah dengan nama Tuhan. Kita harus berhati-hati dengan orang yang selalu mengatakan "gampang, nanti saja". Manusia sulit sekali dipercaya. Mempercayai manusia yang tidak bisa dipercaya adalah tindakan bodoh. Tetapi adalah bebal jika kita tidak bisa mempercayai Allah yang patut kita percaya. Dialah obyek iman, pengharapan, dan kasih kita. Orang sering memakai nama Tuhan untuk bersumpah agar orang percaya padanya. Apa sebenarnya yang menjadi tujuan dan motivasi manusia menggunakan atau menyebut suatu nama?
Judul Buletin | : | Pillar, Edisi 99 Oktober/2011 |
Penulis | : | Pdt. Dr. Stephen Tong |
Penerbit | : | Gereja Reformed Injili Indonesia |
Halaman | : | 1 - 4 |