MARTIN LUTHER DAN HAK ASASI MANUSIA

Gagasan Hak Asasi Manusia (HAM) terkenal dan memiliki tradisi yang panjang dalam kebudayaan Barat. Terlepas dari pro dan kontra terhadap gagasan HAM, warisannya bagi dunia tidak dapat diabaikan, yaitu penghormatan yang tinggi terhadap martabat manusia. Gagasan ini menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak bawaan (inherent rights) yang dimilikinya sejak dilahirkan dan yang harus dihormati serta diakui oleh semua orang. Hak-hak ini tidak dapat dipisahkan dari kemanusiaannya. Pengaruh gagasan ini sangat besar dalam sejarah seperti: lahirnya negara-negara merdeka, munculnya demokrasi modern, dan terbentuknya pengadilan kriminal internasional (International Criminal Court).

Gambar: Hak Asasi Manusia

Gagasan HAM lahir melalui sejumlah pemikiran besar. Dalam tulisan ini, kita akan melihat sumbangan pemikiran seorang tokoh Reformasi terhadap perkembangan HAM, yaitu Martin Luther. Perlu diketahui bahwa Luther tidak pernah menulis sebuah risalah apa pun mengenai HAM. Hal ini dapat dimengerti dari konteks zamannya karena dia adalah seorang teolog yang menghadapi krisis dalam gereja sehingga tulisan-tulisannya lebih banyak berbicara mengenai isu-isu teologis dalam gereja atau eklesiastikal. Walaupun demikian, pemikiran teologis Luther memberikan pengaruh bagi gagasan HAM di kemudian hari.

Luther dan Kehidupan Masyarakatnya

Luther hidup dalam konteks abad pertengahan. Kehidupan masyarakat pada zaman itu memiliki hierarki sosial di mana para imam menempati posisi elit masyarakat, yang diikuti dengan para bangsawan, sedangkan rakyat jelata yang sebagian besar bekerja sebagai petani dan pedagang menempati kelas yang paling bawah dalam masyarakat. Pada masa Luther, kaum jelata tidak dianggap berarti dalam masyarakat. Mereka diperlakukan lebih cenderung sebagai objek daripada subjek dalam kehidupan sosial. Seorang rakyat jelata sering kali tidak dianggap sebagai pelaku sosial.

Selain itu, pada masa itu, seseorang hanya dapat berhubungan dengan Allah melalui perantaraan gereja sehingga gereja begitu mengikat kehidupan masyarakat. Setiap orang tidak berani melakukan hal-hal yang berlawanan dengan gereja karena akan dianggap melawan Allah. Jika seseorang dikeluarkan dari gereja, dia pun dianggap kehilangan hidup kekalnya. Kepercayaan seperti inilah yang menjadikan gereja memiliki kekuatan sosial, seperti yang dikatakan Will Durant,

"The Church was at her best when, by the consolations of her creed, the magic of her ritual, the nobler of morality of her adherents, the courage, the zeal, and the integrity of her bishops, and the superior justice of her episcopal courts, she took the place ... as the chief source of order and peace in the Dark Ages."

Gambar: Luther

Keadaan rakyat jelata pada zaman Luther semakin diperparah dengan kebangkrutan moral dalam gereja. Para imam saling berebut kekuasaan. Seseorang bisa menyuap untuk menjadi uskup. Bahkan, sebelum zaman Luther, kepausan sempat terpecah dua karena perebutan kekuasaan dua orang untuk menjadi Paus yang sah, yaitu di Avignon dan di Roma. Tidak jarang pula para imam memakai otoritasnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Selain itu, para imam sering bersekongkol dengan para bangsawan untuk memungut pajak yang besar dari rakyat. Rakyat jelata hidup menjadi begitu susah, sedangkan para imam dan bangsawan hidup bermewah-mewahan.

Akan tetapi, rakyat jelata tidak bisa berbuat apa pun karena tidak adanya kaum intelektual dari kalangan bawah. Sebagian besar kaum intelektual adalah para imam, sedangkan rakyat jelata pada umumnya tidak bisa membaca. Seluruh pengetahuan dimonopoli oleh kalangan tertentu, termasuk pengetahuan teologis. Rakyat jelata tidak bisa membaca Alkitab sendiri karena Alkitab yang tersedia hanya berbahasa Latin yang hanya bisa dibaca oleh para imam. Hal ini mengakibatkan teologi hanya bisa dimengerti oleh sebagian orang. Dalam dunia seperti inilah, Reformasi terjadi.

Pemikiran Teologis Luther dan Hak Asasi Manusia

Doktrin "Pembenaran hanya oleh iman" yang dicetuskan oleh Luther telah merombak konsep hierarki dalam masyarakat abad pertengahan. Jika pada zaman itu orang-orang menganggap gereja sebagai satu-satunya pengantara yang sah kepada Allah, dan melalui para imam dengan ritual yang dilayaninya seseorang baru dapat datang kepada Allah, doktrin pembenaran oleh iman menyatakan hal yang sangat berbeda. Luther mengatakan bahwa setiap orang sama di hadapan Allah, baik imam maupun awam, sebab tidak ada seorang pun yang dibenarkan berdasarkan perbuatannya sehingga apa pun yang dikerjakan oleh para imam tidak membuatnya lebih benar daripada orang biasa. Setiap orang terdiri dari manusia batiniah (roh) dan manusia lahiriah (tubuh), dan tidak ada hal-hal yang diperbuat secara lahiriah yang dapat membenarkan manusia batiniah. Satu-satunya yang dapat membenarkan manusia batiniah adalah iman kepada Yesus Kristus atau percaya kepada Injil.

Pada waktu seseorang percaya kepada Yesus Kristus, maka dia dibenarkan di hadapan Allah. Dia dinyatakan sebagai orang kudus bagi Allah, tetapi sekaligus masih orang berdosa (simul iustus et peccator). Pada zaman Luther hidup, sebutan orang kudus diberikan kepada orang-orang tertentu yang diberi gelar santo dan santa. Akan tetapi, dengan doktrin "Pembenaran hanya oleh iman", Luther menghapuskan perbedaan tersebut karena semua orang percaya adalah orang kudus bagi Allah. Pembenaran oleh iman memberikan dasar kesetaraan bagi manusia (equality) karena setiap orang memiliki akses yang sama kepada Allah melalui iman yang sejati dalam Kristus, sehingga tidak boleh ada sekelompok elit di dalam gereja yang menyatakan dirinya memiliki akses yang lebih dekat dengan Allah.

Selain memberikan dasar bagi kesetaraan, Luther juga memberikan dasar bagi kebebasan individu. Bagi Luther, setiap orang percaya adalah individu yang bebas yang tidak boleh dibelenggu oleh lembaga atau tradisi seperti gereja ataupun negara. Setiap orang percaya bertanggung jawab kepada Tuhan dan hati nuraninya terikat kepada firman Tuhan. Setiap orang harus dibebaskan untuk menjadi dirinya sendiri. Walaupun demikian, Luther tidak hanya berhenti pada kebebasan orang percaya, tetapi juga orang percaya harus menjadi hamba bagi semua. Luther menuangkan hal ini dalam kalimatnya yang terkenal, "A Christian man is the most free lord of all, and subject to none; A Christian man is the most dutiful servant of all, and subject to everyone." Dalam hal ini, Luther menolak bentuk individualisme yang ekstrem, tetapi juga melawan segala bentuk tiranisme atas individu.

Gambar: Gereja

Bagi Luther, setiap orang percaya diberi kebebasan bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk melayani orang lain. Hukum diberikan dalam rangka orang percaya dapat melayani sesamanya. Dengan menaati hukum, orang Kristen dapat melayani sebagai warga negara yang baik. Luther menyatakan bahwa setiap orang percaya memiliki dua jabatan di dalam dunia ini, dan kedua jabatan ini diperolehnya bersama dengan Kristus, yaitu sebagai raja dan imam. Sebagai raja, orang Kristen tidak berada di bawah apa pun, tetapi sebagai imam, orang Kristen harus melayani sesamanya. Bagi Luther, orang Kristen tetap harus melakukan perbuatan baik bukan untuk dibenarkan, melainkan karena dia adalah seorang imam bagi Allah.

Konsep inilah yang kemudian melahirkan gagasan "Keimaman semua orang percaya" (priesthood of all believers), yaitu setiap orang percaya dalam kehidupannya adalah imam di hadapan Allah. Luther menolak pemakaian jabatan imam hanya bagi pekerjaan eklesiastikal atau gerejawi. Bagi Luther, pengkhususan jabatan imam hanya kepada golongan tertentu adalah sebuah tirani karena menjadikan orang awam berbeda dengan orang Kristen lainnya. Dengan konsep keimaman orang percaya, maka Luther menjadikan setiap pekerjaan sebagai pelayanan di hadapan Allah. Dia menaikkan martabat para pekerja nongereja dan menjadikannya setara dengan pekerjaan di dalam gereja. Dalam hal ini, Luther telah menghapuskan tembok pemisah sekuler dan sakral dalam kehidupan orang percaya. Jon Witte mengatakan,

"Luther also made clear that clergy and laity are fundamentally equal in dignity and responsibility before God ... Luther's doctrine of priesthood of all believers at one 'laicized' the clergy and 'clerized' the laity. He treated the traditional 'clerical' office of preaching and teaching as other godly vocation alongside many others that a conscientious Christian could properly and freely pursue. He treated traditional 'lay' offices as forms of divine calling and priestly vocation, each providing unique oppurtunities for service one's peers."

Penutup

Dilihat dari konteks zamannya, maka reformasi teologis Luther ternyata memberikan dampak sosial. Pemikiran teologisnya telah membuka jalan bagi terciptanya kesetaraan dan juga kebebasan individu. Luther telah menaikkan derajat orang awam dan rakyat jelata di dalam gereja dan dia pun telah menjadikan individu sebagai sesuatu yang penting. Seseorang tidak boleh dilihat statusnya sebagai awam ataupun imam di hadapan Allah, melainkan sebagai seorang individu yang berdosa, tetapi dibenarkan oleh iman kepada Yesus Kristus. Demikianlah sekalipun pemikiran Luther tidak langsung membahas tentang HAM, tetapi dampak yang ditimbulkannya bagi gereja di Jerman telah membuat atmosfer yang baik bagi terciptanya konsep HAM sampai hari ini.

Audio Martin Luther dan Hak Asasi Manusia

Diambil dari:
Nama situs : Pillar (Buletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia)
Alamat situs : http://www.buletinpillar.org/artikel/martin-luther-dan-hak-asasi-manusia#hal-1
Judul asli artikel : Martin Luther dan Hak Asasi Manusia
Penulis artikel : Calvin Bangun
Tanggal akses : 29 Oktober 2018

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA