Menjadi Sahabat Bagi Suami

Pembahasan kali ini terutama diarahkan kepada para ibu atau istri. Ibu-ibu juga dituntut menjadi sahabat buat anak, maka pengertian menjadi sahabat buat suami secara umum perlu dijelaskan terlebih dahulu. Sahabat adalah:

  1. Seseorang yang pertama-tama akan mendampingi.
  2. Seseorang yang akan bisa melengkapi.

Tuhan memberikan peranan khusus kepada istri seperti dalam kitab Kejadian, bahwa istri itu menjadi seorang penolong yang sepadan bagi suaminya. Memang di Alkitab tidak dijabarkan apa maksudnya penolong, tapi melalui realitas sehari-hari kita bisa menimba dan menyimpulkan beberapa hal yang bermanfaat bagi para istri.

Olahraga bersama

Jadi kita akan melihat dua arti sahabat ini dalam kelima hal yang bisa dilakukan seorang istri buat suaminya. Hal utama yang mendasari kelima hal yang akan dibahas lebih lanjut adalah:

Seorang istri harus mengerti suaminya, karena seorang suami pada umumnya memiliki keunikan-keunikan yang membedakan dia dari seorang wanita. Seorang istri perlu mengerti bahwa pria menghormati wanita yang stabil emosinya. Bagi pria ketidakstabilan emosi diidentikkan dengan kelemahan kepribadian. Apalagi kita hidup dalam dunia yang menuntut kestabilan emosi, menuntut rasionalitas, menuntut subjektifitas, yang menuntut seorang pria mengedepankan rasionya dan menempatkan emosinya di belakang. Maka di dunia pria, seorang yang terlalu dikuasai oleh emosi cenderung dijauhi dan tidak ditoleransi oleh sesama pria, bahkan bagi banyak pria seseorang yang menunjukkan emosi yang terlalu kuat menjadi seseorang yang menakutkan. Sehingga reaksi pria pada umumnya adalah tidak mau dekat-dekat dengan sesama pria yang beremosi terlalu kuat. Saya kira persepsi atau standar ini dibawa oleh pria ke dalam rumah tangganya, sehingga pada umumnya pria akan berkeberatan kalau istrinya terlalu beremosi.

Padahal seorang wanita pada pembawaan dasarnya memang emosional. Jadi perlu ada usaha dari kedua belah pihak untuk menyesuaikan diri.

1. Wanita perlu mengupayakan mengontrol emosinya, waktu berbicara. Ini tidak berarti wanita sama sekali tidak boleh menunjukkan perasaan atau emosinya yang kuat. Namun yang lebih penting adalah waktu menunjukkan emosi, istri juga berusaha mengemukakan alasan- alasannya yang seharusnya bersifat logis atau rasional. Jadi ucapan-ucapan seperti, "pokoknya aku merasa begini atau aku melihatnya begini", itu adalah pernyataan yang sukar diterima oleh seorang pria. Maka sewaktu wanita mengemukakan argumennya dia perlu mengemukakannya dengan rasional dan sebisanya mengontrol emosi, sehingga tidak terlalu meledak-ledak atau meluap-luap. Sebab pada umumnya pria akan menjauhi wanita yang beremosi tinggi.

Waktu seorang wanita ingin menyampaikan permintaannya dia harus membahasakannya dengan tepat. Pria peka dengan yang namanya tuntutan. Jadi sebaiknya waktu wanita minta sesuatu, dia memintanya dengan cara yang halus dan sopan karena pria cenderung bereaksi terhadap yang namanya tuntutan. Sampaikan permintaan itu dengan lemah-lembut dan harus konkret, ada hal-hal yang bagi wanita sangat mudah dicerna, contohnya adalah kasih. Wanita bisa meminta kepada pria "tolong kasihi aku", tapi bagi pria kata 'kasihi aku' adalah kata yang sangat abstrak, pria kurang mengerti hal yang seperti itu. Misalnya lagi aku membutuhkan engkau di rumah, bagi seorang pria membutuhkan engkau di rumah artinya diam di rumah. Tapi bisa jadi yang diminta oleh wanita bukan secara fisik berada di situ, tapi yang dibutuhkan oleh istri misalnya membantunya untuk menangani pelajaran anak, membantunya memasak atau bersama-sama berbicara, berbincang-bincang dan sebagainya. Itu yang dimaksud oleh wanita dengan "aku meminta engkau untuk sering di rumah". Jadi hal seperti ini perlu dikonkretkan, pria tidak begitu bisa memahami isi hati wanita yang baginya abstrak, oleh, karena itu penting bagi seorang pria mendapatkan penjelasan-penjelasan yang konkret.

Sering kali pria menjauhi wanita yang beremosi tinggi. Kenyataannya kalau istri itu terlalu emosional, pria sering kali menjauhi, rasanya tidak suka dengan istri yang emosi. Pada masa berpacaran, wanita mungkin berpikir "O, ... pacarku tidak berkeberatan", padahal dalam kenyataannya dia berkeberatan. Namun karena pada masa berpacaran frekuensi pertemuan itu tidak intensif atau tidak bertemu setiap jam, pria tidak terlalu merasa dampaknya. Namun setelah dia serumah dan mulai melihat emosi wanita yang turun-naik, kecenderungannya adalah pria itu akan melarikan diri. Dia tidak sanggup menghadapi emosi yang begitu kuat, jadi daripada menghadapinya dan kewalahan, akhirnya ia menghindar. Ini sering kali menjadi pola dalam masalah-masalah pernikahan, di mana pria akhirnya menghindar dan wanita mengejar. Mengejar agar pria itu menemani dia, sabar menunggu dan menghadapi emosinya, si pria tidak bersedia, dan kebanyakan pria akan melarikan diri.

2. Seorang istri perlu mengerti bahwa pria tidak siap menghadapi dan tidak menyukai kejutan. Yang dimaksud dengan kejutan di sini adalah perubahan mendadak dari sesuatu yang sudah rutin. Memang tidak semua pria seperti ini, namun pada umumnya pria menyukai hal- hal yang sudah bisa diantisipasi, hal-hal yang memang sudah terencana. Waktu wanita misalnya dengan tiba-tiba berkata ada satu hal yang mengganggu saga, saya ingin bicara dengan kamu, bagi seorang pria ungkapan itu sudah mengejutkan dia. Dia pulang ke rumah mengharapkan situasi rumah seperti kemarin, tiba-tiba istri marah atau tiba-tiba istri menangis dengan begitu sedih. Itu adalah perubahan yang tak diantisipasi dan bagi pria hal seperti ini membuat dia sangat tidak nyaman. Dalam kondisi seperti itu, pria cenderung seperti keong yang terkejut dan memasukkan kepalanya ke dalam rumah keong. Dengan kata lain, pria tiba-tiba akan mematikan reaksinya dan tidak memedulikan istri, malahan bisa-bisa dalam kasus-kasus yang lebih ekstrim pria akan bereaksi. Dengan kemarahan, ia memaksa wanita untuk tidak bicara lagi dan memaksanya untuk diam.

Kenapa pria cenderung berbuat seperti itu? Karena dia tidak begitu biasa dan tidak begitu nyaman dengan perubahan mendadak. Pria mempunyai suatu kebutuhan yaitu kebutuhan untuk menguasai keadaan, mengontrol situasi. Sewaktu istri tiba-tiba marah atau karena pelajaran anak tiba-tiba si istri mulai berteriak-teriak, hal itu membuat suasana tidak terkontrol, pria tidak suka dengan yang namanya tidak terkendali. Maka dia berusaha menciptakan suasana yang terkendali. Maka saya menasihati para ibu, jika ada masalah, rencanakanlah waktu untuk bicara dengannya, artinya jangan secara tiba-tiba langsung melontarkan problem itu di hadapan pria. Apalagi memaksa pria untuk langsung menghadapi atau menjawabnya. Saran saya adalah, katakan pada suami, "Ada yang ingin saya bicarakan nanti malam, apakah boleh. Atau kalau misalnya malam ini kurang begitu cocok kapan kita bisa berbicara."

Saya membagikan pengalaman saya sendiri, istri saya mencoba memahami saya dalam hal ini, tapi sekarang pun kalau istri saya berkata ada yang ingin saya bicarakan nanti malam, saya sudah langsung memberikan reaksi menutup diri, jantung saya sudah mulai berdebar-debar dengan lebih cepat dan saya sudah membayangkan bahwa nanti malam akan ada pembicaraan yang serius, dan saya sudah takut. Karena pembicaraan yang serius berarti kemungkinan emosi akan keluar, kemungkinan ada pertengkaran atau perselisihan. Jadi meskipun istri saya sudah mencoba menghaluskan bahasanya dengan berkata ada yang ingin saya bicarakan dan dia tidak langsung mengutarakannya, tetap saya sudah bereaksi. Saya masih ingat, dulu waktu istri saya langsung mengeluarkan unek-uneknya tanpa saya siap untuk menghadapinya, kecenderungan saya adalah saya mendiamkan dia, saya tidak menanggapi dia. Itu membuat dia tambah panas, tambah marah, akhirnya menjadi bertengkar. Akhirnya kami menemukan cara yang lebih cocok untuk kami dan mudah-mudahan ini juga bisa diterima oleh para pembaca.

Mungkin juga ada kekhawatiran dari kaum pria atau suami yaitu kalau diperhadapkan masalah secara tiba-tiba dan ia tidak siap dengan jawabannya maka itu cukup memalukan. Padahal setiap kita tentu menghindari untuk dipermalukan dengan cara seperti itu. Pria ingin dilihat mampu atau sanggup, jadi sewaktu diperhadapkan dengan suatu yang tak bisa dikuasainya dia menjadi sangat kewalahan. Dan dalam kewalahan itu ia kurang bisa rasional, sehingga memaksa wanita untuk diam. Atau semakin menegaskan posisinya sebagai seorang suami. Jadi istri harus tunduk kepadanya.

Memang kenyataannya seorang laki-laki itu demikian keras. Bagaimana sikap seorang istri jika suaminya menghadapi suatu masalah itu dengan marah? Apakah istri itu bijaksana kalau masalah diatasi sendiri ...?

Kalau ada hal-hal yang bisa diatasi sendiri dan memang tidak berkaitan langsung dengan si suami, saya kira tidak apa-apa. Jadi suami memang mempunyai batas-batas sampai berapa jauh dia bisa mengatasi stres, kalau seorang istri menyadari bahwa inilah batas sang suami maka ia bisa bersikap dan bertindak dengan tepat. Malam itu jika waktu suami pulang wajahnya sangat tegang, dia sangat letih, dan si istri tahu topik ini bisa langsung memicu kemarahan si suami maka kalau si istri berhikmat, akhirnya ia memutuskan lebih baik tidak saya sampaikan dulu sekarang. Mungkin nanti setelah beberapa hari situasi sudah reda dan waktunya sudah cocok baru saya sampaikan. Itu hal yang baik, itu adalah hikmat. Karena satu hal yang juga perlu kita sadari adalah suami tidak merasa berkewajiban mengetahui semua hal. Kadang kala ada satu kesalahpahaman di pihak kita yaitu saya harus memberitahukan semuanya padahal tidak demikian. Sebab cukup umum pria berpikiran bahwa hal-hal rumah tangga adalah wewenang istri, hal-hal di luar yang berkaitan dengan pekerjaan dan sebagainya adalah wewenang saya atau tanggung jawab saya. Jadi kalau misalnya istri memutuskan, biarlah untuk urusan ini atau urusan anak atau apa tidak perlu langsung diberitahukan kepada suami, saya kira itu tidak apa-apa, bisa ditoleransi asalkan memang bukan dengan motivasi menutupi atau membohongi. Maka dalam pengertian mencari waktu yang lebih tepat dan memutuskan bahwa ini memang bukan waktunya, saya kira itu bijaksana. Kalau masalah itu sudah selesai baru diceritakan dan kebanyakan tidak akan berkeberatan. Kecuali saat itu, setelah istri menceritakan, suami berkata, "Saya keberatan, lain kali saya lebih mau diberitahukan dari awalnya". Tapi wanita bisa berkata, "Saya ini takut kalau saya bicarakan langsung reaksimu akan begitu keras, jadi bagaimana jalan keluarnya?" Mintalah masukan dari suami supaya istri bisa menyampaikan kepadanya tanpa membuat dia lepas kendali, sehingga bisa dibicarakan. Kalau dia berkata, "Ya tidak apa-apa, engkau beritahukan aku setelah semuanya ini selesai." ini berarti tidak apa-apa untuk lain kali pun kita bisa menggunakan metode yang sama.

Jadi memang erat kaitannya bagaimana istri menjadi sahabat suami ini dalam pemecahan masalah dalam keluarga. Dan penting sekali istri menjadi bagian dari pemecahan masalahnya.

3. Wanita perlu mengerti bahwa pria tidak menyukai problem dalam rumah. Saya menggarisbawahi kata "dalam rumah", sebab biasanya pria tidak berkeberatan dengan problem di luar rumah, di tempat pekerjaan, tempat di mana dia harus menghadapi problem dan masuk ke dalam lingkungan di mana dia tidak menghadapi problem. Tapi waktu di rumah kecenderungannya adalah dia tidak begitu siap menghadapinya. Sekurang-kurangnya ada 2 alasan:

Pertama, pria cenderung menganggap atau mengharapkan rumah sebagai tempat berteduh. Rumah adalah tempat dia bisa ke luar dari tempat pekerjaan (tempat di mana dia harus menghadapi problem) dan masuk ke dalam tempat di mana dia tidak menghadapi problem. Jadi waktu harus menghadapi problem di rumah, pria cenderung kurang begitu mahir untuk memecahkannya.

Kedua, adakalanya pria kurang begitu mahir menghadapi problem di rumah karena problem membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya. Waktu si istri memunculkan masalah dengan dia, mengkritiknya, meminta dia bahwa dia kurang berlaku ini, dia kurang berbuat ini, suami akan merasa bahwa ada yang kurang pada dirinya, ada yang perlu diperbaiki. Pria tidak suka dengan hal itu, pria cenderung menginginkan dirinya dilihat sanggup, mampu mengatur dan mengatasi semuanya. Sewaktu mendengar komentar-komentar seperti ini, cenderungnya adalah dia bersifat defensif atau membela diri. Tatkala problem itu memang betul-betul ada, secara konkret wanita atau istri harus bersikap terhadap suaminya seperti berikut ini:

  1. Dia bisa mengungkapkan masalah atau ketidakpuasannya dalam kemasan positif. Daripada berkata dalam kemasan negatif: kamu perlu begini, kamu memang begini, gara-gara inilah kamu begini; lebih baik berkata dalam kemasan positif seperti: saya kira ini perlu kita perbaiki agar hubungan kita bisa makin baik, jadi kita kemas dalam nada yang positif.
  2. Hindarilah kata-kata tuduhan yang tertulis di atas yang mengatakan bahwa suami begini, suami begitu, kamu memang begini, kamu seharusnya begitu, karena kata-kata tuduhan cenderung memancing reaksi membela diri.
  3. Fokuskan dampak persoalan itu pada diri sendiri, bukan pada apa yang keliru atau salah dilakukannya. Maksudnya, daripada berkata engkau tidak melakukan ini, engkau begini-begini, lebih baik istri berkata waktu engkau begini aku merasa begini. Contohnya waktu engkau pulang malam tidak meneleponku, bukankah aku sudah memintamu untuk meneleponku? Aku takut ada apa-apa denganmu dan itu membuatku khawatir, aku tidak bisa konsentrasi, aku tidak bisa mengajar anak-anak, aku tidak bisa memberi diriku pada anak-anak, karena terus tegang memikirkan kamu, jadi tolong bantu aku dengan menelepon aku. Dengan kata lain dia mencoba untuk tidak memfokuskan atau menyerang si suami, tetapi memfokuskan pada dampak perlakuan si suami terhadap dirinya.

Kalau memang suaminya yang menjadi sumber problem, saya kira yang akan kita bicarakan adalah dalam pengertian ada niat baik dari kedua belah pihak. Dan ada rasa kepedulian dan cinta kasih yang tinggi antara dua belah pihak. Kalau suaminya sudah menjadi problem misalnya disengaja ada perempuan lain, dia berjudi dan sebagainya, dia tidak bertanggung-jawab main dengan teman-temannya, malam pulang dengan semaunya, saya kira dalam konteks seperti itu yang dibicarakan akan efektif. Memang di dalam persahabatan harus ada timbal balik, baru terjalin persahabatan.

5. Wanita perlu mengerti bahwa pria mengharapkan istrinya menjadi sahabat dan sahabat berarti dia tidak meragukan pertimbangannya. Maksudnya adalah:

  1. Waktu berbeda pendapat jangan menyerangnya secara frontal. Karena kalau kita menyerangnya dengan frontal seolah-olah kita tidak lagi percaya pada pertimbangannya. Kalau misalnya tidak setuju, saya anjurkan istri mengajukan beberapa pilihan untuk dipertimbangkan, bagaimana kalau begini, bagaimana menurutmu kalau begini. Jadi berikan 2 atau 3 pilihan sehingga suami bisa memikirkannya.
  2. Sahabat berarti istri membantunya untuk berhasil dalam usahanya, pria berharap istri menolong dia dan tidak menghambat dia dalam kariernya. Untuk urusan pekerjaan jika tidak setuju, saya sarankan istri untuk meminta izin, boleh tidak saya memberikan pendapat saya. Dan tekankan bahwa ini untuk kepentingan dia, bukan untuk kepentingan istri. Jadi para suami memang cenderung tidak suka kalau istri seolah-olah mencampuri urusan pekerjaannya dan mengatur dia di tempat pekerjaan. Jadi ditanya boleh tidak saya memberikan pendapat dan tekankan ini untuk kebaikan engkau untuk kebaikan usahamu, setelah itu diam. Jangan memaksa suami untuk menuruti pandangan Anda. Sekali, dua kali mungkin suami tidak akan menghiraukan karena dia percaya pandangannya lebih baik. Tapi setelah satu, dua kali ternyata istri yang betul, maka kemungkinan besar untuk lain kalinya waktu istri memberikan pandangan, suami lebih bersedia untuk menerimanya. Pria cenderung berpikir dunia pekerjaan adalah dunianya jadi dialah yang mengerti.
  3. Suami mengharapkan istri menghormatinya di hadapan orang. Ini penting, ingatlah bahwa pria peka dipermalukan apalagi di depan orang lain. Saya menghimbau kepada para istri, jangan berselisih pendapat dengan suami di muka umum, itu amat memalukan suami. Sebab suami merasa dia kepala, waktu si istri berselisih dengannya di depan orang lain, tidak setuju, dan mengatakan dia salah, itu memalukan dia sekali. Dan itu akan menghancurkan harga dirinya dan sering kali akhirnya membuahkan pembalasan dalam bentuk lain. Juga sebaliknya, suami jangan berbuat hal yang sama kepada istri.

6. Wanita harus mengerti bahwa pria menikmati seks sebagai kepuasan fisiknya dan menggunakan seks sebagai wadah penyataan kemesraannya. Jadi biarkan suami menikmati tubuh saudara dan ini tidak identik dengan memanfaatkan diri Saudara. Karena pria sangat bahagia kalau si istri bisa berpartisipasi dalam hubungan seksual dengannya. Terimalah kemesraan seksualnya sebagai kemesraan romantis. Ada istri yang salah sangka dengan berpikir, engkau hanya memakaiku sebab kalau tidak berhubungan, engkau tidak begitu mesra. Pria kurang mampu menunjukkan kemesraan dan sering kali hanya bisa menunjukkan kemesraan dalam hubungan seksual, jadi terimalah itu sebagai kemesraan romantisnya. Sedapatnya jangan menolak kebutuhan seksualnya, sebab penolakan atau ketidaksenangan ditafsirkan sebagai penghinaan bagi seorang pria. Jadi kalau memang sungguh- sungguh tidak bisa, katakan apa adanya namun sebisanya coba layani dia, karena itulah yang membuat dia senang.

Ada yang bertanya, dalam hal ini perlukah si istri itu menawarkan diri terlebih dahulu?

Saya kira kalau memang misalkan sudah ada jadwal tertentu beberapa minggu sekali, istri bisa bertanya apakah ini yang perlu dilakukan malam nanti. Saya kira jika hal itu membuat suami merasa bahwa istri juga membutuhkan dan menyenanginya, sehingga bukan hanya dia sendiri yang meminta, itu akan membuat suami merasa jauh lebih baik dan jauh lebih senang.

Semua itu jelas merupakan suatu pengorbanan dari si istri untuk menjadi sahabat bagi suami. Firman Tuhan dalam Efesus 5:22 menasihatkan: "Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat."

Jadi pada intinya kalau mau menjadi sahabat buat seorang suami, yang terpenting adalah benar-benar mencoba menghormati dia, pikirannya, permintaannya, keinginannya. Dan sewaktu istri mulai mengedepankan keinginan si suami, biasanya itu akan direspons secara positif oleh suami. Jadi mulailah mengedepankan dan menundukkan diri di hadapan suami.

Itulah pesan firman Tuhan yang tentunya sangat berguna bagi kita sekalian.

Diambil dari:
Judul Buletin : TELAGA
Judul Artikel : Menjadi Sahabat Bagi Suami
Pengarang : Pdt. Dr. Paul Gunadi, Ph.D.
Penerbit : Literatur SAAT, Malang, 2004
Halaman : 5 -- 18
Kategori: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA