DIK-Referensi 04a

Pelajaran 04 | Pertanyaan 04 | Referensi 04b | Referensi 04c

Nama Kursus : DASAR-DASAR IMAN KRISTEN
Nama Pelajaran : Kejatuhan Manusia
Kode Pelajaran : DIK-R04a

Referensi DIK-R04a diambil dari:

Judul Buku : Teologi Sistematika; Doktrin Manusia
Penulis : Louis Berkhof
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia
Tahun : 1994
Halaman : 81-97; 107-112

Garis Besar:

Bab 1. Asal Mula Dosa

  1. Pandangan Historis berkenaan dengan asal mula dosa
  2. Data Alkitab berkenaan dengan asal mula dosa
    1. Allah tidak boleh dianggap sebagai penyebab dosa
    2. Dosa berasal dari dunia malaikat
    3. Asal mula dosa dalam umat manusia
  3. Natur dosa yang pertama atau kejatuhan manusia
    1. Karakter formalnya
    2. Karakteer esensial dan materialnya
  4. Dosa pertama atau kejatuhan yang disebabkan oleh pencobaan
    1. Cara si penggoda
    2. Interpretasi pencobaan itu
    3. Kejatuhan karena pencobaan dan kemungkinan manusia diselamatkan
  5. Penjelasan evolusionis tentang asal mula dosa
  6. Akibat dari dosa yang pertama

REFERENSI PELAJARAN 04a - KEJATUHAN MANUSIA

MANUSIA DALAM KEADAAN DOSA

Bab 1 Asal Mula Dosa

Permasalahan mengenai asal mula kejahatan yang ada di dalam dunia telah dianggap sebagai salah satu masalah yang paling sulit baik dalam filsafat maupun teologi. Masalah ini menyebabkan manusia sangat tertarik memperhatikannya, sebab kuasa jahat sangatlah besar dan universal, sebagai suatu pengaruh yang senantiasa ada dalam hidup dan seluruh penampakkannya. Juga merupakan pengalaman sehari-hari dalam hidup setiap manusia. Para ahli filsafat masih terhalang untuk menghadapi persoalan ini. Mereka mencari jawab atas pertanyaan mengenai asal mula kejahatan dan terutama mengenai kejahatan moral yang ada di dalam dunia. Bagi sebagian orang tampaknya kesulitan ini merupakan bagian dari hidup itu sendiri sehingga mereka mencari jalan keluarnya dalam berbagai peraturan yang umum. Akan tetapi sebagian orang lain merasa pasti bahwa kejahatan itu mempunyai asal mula yaitu bahwa kejahatan ini bermula dalam pilihan bebas manusia, baik dalam eksistensi sekarang atau eksistensi sebelumnya. Pandangan-pandangan ini lebih dekat pada kebenaran yang diungkapkan Firman Tuhan.

A. Pandangan Historis Berkenaan dengan Asal Mula Dosa

Bapak Gereja yang paling awal tidaklah membicarakan secara tertentu mengenai asal mula dosa, walaupun ide bahwa dosa berasal dari pelanggaran dan kejatuhan Adam di Taman Eden dapat kita temukan dalam tulisan Irenius. Pandangan ini segera diterima di kalangan gereja, terutama dalam menentang ajaran Gnostik yang menganggap bahwa kejahatan melekat pada materi dan pengertian seperti ini adalah akibat dari Demiurgos. Pertemuan antara jiwa manusia dan materi segera dianggap sebagai dosa. Pengertian seperti ini akan menyingkirkan dosa dari karakter etisnya. Origen berusaha menjelaskan pengertiannya dengan menggunakan teori pra-eksistensinya. Menurut Origen jiwa-jiwa manusia sudah berdosa dalam masa pra-eksistensi dan ketika jiwa itu masuk ke dalam dunia, maka jiwa itu sudah berdosa. Pandangan Platonis ini mempunyai banyak sekali kesulitan untuk dapat diterima secara luas. Sepanjang abad 18 dan 19 pendapat ini diterima oleh Mueller dan Rueckert dan oleh para ahli filsafat seperti Lessing, Schelling, dan J.H.Fichte. Pada umumnya Bapak-bapak Gereja dari Yunani pada abad ketiga dan ke empat cenderung untuk mengurangi hubungan antara dosa Adam dan dosa keturunannya, sedangkan Bapak-bapak Gereja Latin mengajar dengan jelas sekali bahwa keadaan dosa yang sekarang adalah berasal dari dosa Adam di Firdaus. Ajaran Bapak-bapak Gereja Timur akhirnya mencapai puncak dalam ajaran Pelagianisme yang menyangkal adanya hubungan yang vital antara dosa Adam dan dosa manusia, sedangkan ajaran dari Gereja Barat mencapai puncak pada Agustinus yang menekankan kenyataan bahwa kita berdosa dan mengalami kenajisan karena Adam. Semi-Pelagianisme mengatakan adanya hubungan dosa manusia dengan dosa Adam, tetapi hubungan itu hanyalah berupa kekotoran yang akhirnya mengakibatkan dosa. Sepanjang abad pertengahan hubungan antara dosa Adam dan dosa manusia ini, sering disebut-sebut, tetapi hubungan ini kadang-kadang ditafsirkan menurut pandangan Agustinus, namun lebih sering menurut pendapat Semi-Pelagian. Para Reformator menerima pandangan Agustinus dan kelompok Socinian menerima pandangan Pelagius, sedangkan Arminian menerima pandangan Semi-Pelagian. Di bawah pengaruh filsafat Rasionalisme dan Evolusionisme doktrin kejatuhan manusia dan akibatnya yang fatal pada umat manusia perlahan-lahan disingkirkan.

Pengertian tentang dosa kemudian digantikan dengan pengertian tentang kejahatan, dan kejahatan ini diterangkan dengan berbagai macam cara. Kant menganggap kejahatan berada pada keadaan di atas kesadaran yang tak dapat diterangkannya. Bagi Leibniz kejahatan berkenaan dengan keterbatasan alam semesta. Schleiermacher berpendapat bahwa dosa asal berada di dalam natur manusia yang berindera, dan Ritschl mengatakan bahwa kejahatan berkenaan dengan ketidaktahuan manusia, sedangkan para ahli evolusi menganggap kejahatan sebagai pertentangan dari sifat- sifat yang masih rendah terhadap kesadaran moral yang sudah lebih berkembang. Bart mengatakan bahwa asal mula dosa sebagai suatu misteri dari predestinasi. Dosa berasal dari kejatuhan manusia tetapi kejatuhan itu sendiri bukanlah suatu peristiwa sejarah; kejatuhan itu ada dalam supra-sejarah (Urgeschichte). Adam memang orang yang pertama kali berdosa, akan tetapi ketidaktaatan Adam tidak boleh dianggap sebagai penyebab dosa di dalam dunia. Dosa manusia dalam beberapa hal berkaitan dengan keadaannya sebagai makhluk. Kisah di Firdaus semata- mata hanyalah memberikan kepada manusia informasi yang baik bahwa manusia tidak boleh berdosa.

B. Data Alkitab Berkenaan dengan Asal Mula Dosa

Dalam Alkitab disebutkan bahwa kejahatan moral yang ada dalam dunia jelas adalah dosa, yaitu pelanggaran terhadap hukum Allah. Manusia dalam naturnya melakukan pelanggaran, dan kemudian timbul pertanyaan, yaitu: bagaimana manusia memperoleh natur ini? Apa yang dikatakan Alkitab tentang hal ini?

  1. Allah tidak boleh dianggap sebagai penyebab dosa.

    Ketetapan Allah yang kekal memang memberi peluang kemungkinan masuknya dosa ke dalam dunia, tetapi kenyataan ini tidak boleh ditafsirkan bahwa Allah adalah penyebab dosa dalam arti bahwa Allah adalah pembuat yang bertanggung jawab atas terjadinya dosa itu. Pengertian bahwa Allah adalah pencipta yang bertanggung jawab atas dosa dalam dunia tidak pernah disebutkan dalam Alkitab. "Jauhlah dari pada Allah untuk melakukan kefasikan, dan dari pada Yang Mahakuasa untuk berbuat curang." (Ayb 34:10). Ia adalah Allah yang kudus (Yes 6:3) dan sama sekali tidak ada ketidakbenaran dalam Dia (Ul 32:4 Mzm 92:16). "Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun." (Yak 1:13). Ketika Allah menciptakan manusia maka Ia menciptakannya dengan baik dan menurut gambar dan rupaNya sendiri. Allah sangat membenci dosa, Ul 25:16; Mzm 5:4; Zakh 8:17, Luk. 16:15, dan di dalam Kristus Ia memberikan jaminan kebebasan manusia dari dosa. Berkenaan dengan semua ini maka jelas merupakan suatu penghujatan jika kita mengatakan bahwa Allah adalah pembuat dosa. Dan atas alasan itulah semua pandangan deterministik yang menganggap bahwa dosa merupakan natur yang harus ada dalam diri manusia harus ditolak. Pandangan deterministik ini pada penerapannya menjadikan Allah sebagai pembuat dosa, dan dengan demikian bertentangan dengan suara hati yang mengakui tanggung jawab manusia.

  2. Dosa berasal dari dunia malaikat.

    Alkitab mengajarkan kepada kita dalam usaha untuk melacak asal mula dosa, kita harus kembali lagi pada kejatuhan manusia yang disebutkan dalam Kej 3, dan sesuai dengan perhatian pada sesuatu yang terjadi dalam dunia malaikat. Allah menciptakan suatu bala tentara malaikat dan mereka semua sangat baik sebab mereka keluar dari tangan Sang Pencipta, Kej 1:31. Akan tetapi suatu kejatuhan terjadi dalam dunia malaikat di mana bannyak legiun malaikat jatuh tersingkir dari Allah. Waktu kejatuhan ini secara pasti tidak disebutkan, tetapi dalam Yoh 8:44 Yesus menyebut iblis sebagai pembunuh manusia sejak semula (kat' arches) dan Yohanes mengatakan dalam 1 Yoh 3:8, bahwa iblis berdosa dari mulanya. Pendapat yang masih dipegang sampai saat ini adalah bahwa kat' arches ini berarti sejak awal permulaan sejarah manusia. Hanya sedikit sekali yang dikatakan tentang dosa yang menyebabkan kejatuhan para malaikat. Mungkin dari peringatan Paulus kepada Timotius dalam 1 Tim 3:6 bahwa seorang yang baru bertobat jangan dipilih menjadi penilik jemaat supaya ia tidak menjadi sombong dan kena hukuman iblis, dapat disimpulkan bahwa dosa dari malaikat yang jatuh itu adalah dosa kesombongan, ingin menjadi seperti Allah dalam kuasa dan otoritas. Dan pengertian seperti ini tampaknya mendapat dukungan juga dari Yud 6, dimana dikatakan bahwa malaikat yang jatuh dalam dosa "tidak taat pada batas-batas kekuasaan mereka, tetapi meninggalkan tempat kediaman mereka." Mereka tidak merasa puas dengan apa yang telah menjadi bagian mereka, dengan pemerintahan dan kuasa yang diberikan kepada mereka. Apabila keinginan untuk menjadi seperti Allah adalah pencobaan yang jelas mereka alami, dan ini juga akan menjelaskan mengapa iblis mencobai manusia dalam hal yang serupa.

  3. Asal mula dosa dalam umat manusia.

    Berkenaan dengan asal mula dosa dalam sejarah manusia, Alkitab mengajarkan bahwa dosa itu dimulai dengan pelanggaran Adam di Firdaus. Dengan demikian dimulai juga dengan tindakan yang dilakukan oleh manusia dengan kesadaran penuh. Si penggoda datang dari dunia roh dengan suatu dorongan kepada manusia bahwa dengan menempatkan dirinya sendiri dalam pertentangan dengan Allah maka ia dapat menjadi seperti Allah. Adam kalah dalam menghadapi pencobaan ini dan melakukan dosa yang pertama dengan cara makan buah yang dilarang itu. Akan tetapi kemudian persoalannya tidak berhenti sampai di situ saja, sebab oleh dosa yang pertama itu Adam menjadi budak dosa yang tidak bebas. Dosa itu membawa kekotoran yang permanen dan karenanya persatuan dalam seluruh keturunannya. Sebagai akibat dari kejatuhan ini maka bapak seluruh umat manusia ini hanya dapat menurunkan natur manusia yang telah rusak kepada keturunannya. Dari sumber yang tidak kudus kemudian dosa mengalir seperti suatu mata air yang kotor kepada seluruh generasi umat manusia, mengotori semua orang dan segala sesuatu yang berhubungan denganya. Keadaan seperti inilah yang sebenarnya menjadikan pertanyaan Ayub sedemikian penting, Siapa yang mendatangkan yang tahir dari yang najis? Seorangpun tidak!" (Ayb. 14:4). Akan tetapi hal ini saja belum mencakup semuanya. Adam berdosa bukan saja sebagai bapak dari seluruh umat manusia tetapi juga sebagai kepala yang mewakili semua keturunannya; dan karena itu kesalahan oleh karena dosanya layak untuk menerima hukuman mati. Pertama-tama dalam pengertian seperti inilah dosa Adam menjadi dosa semua orang. Ini juga yang diajarkan Paulus kepada kita dalam Rom 5:12, "Sebab itu sama seperti dosa sudah masuk ke dalam dunia oleh ssatu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa." Kalimat terakhir itu berarti bahwa mereka semua telah berdosa di dalam Adam dan berdosa dengan cara sedemikian sehingga menjadikan mereka layak untuk dihukum mati. Dosa itu bukan semata-mata dianggap sebagai kekotoran, tetapi juga sebagai kesalahan yang membawa penghukuman. Allah memutuskan bahwa seluruh manusia adalah orang berdosa di dalam Adam, sama halnya dengan Ia memutuskan bahwa semua orang percaya menjadi benar dalam Yesus Kristus. Inilah yang dimaksudkan oleh Paulus ketika ia berkata: "Sebab itu sama seperti oleh satu pelanggaran satu orang beroleh penghukuman demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup. Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar." (Rom. 5:18, 19).

C. Natur Dosa yang Pertama atau Kejatuhan Manusia

  1. Karakter formalnya. Dapat dikatakan bahwa melalui suatu sudut pandang yang sepenuhnya formal dosa manusia yang pertama terkait dengan dimakannya buah pengetahuan yang baik dan jahat. Kita tidak tahu pohon apakah ini sebenarnya. Mungkin saja pohon itu pohon kurma atau pohon ara, atau pohon buah yang lain. Tidak ada satupun yang membawa bahaya dalam pohon itu. Memakan buat itu saja per se tidaklah berdosa sebab tidak merupakan pelanggaran terhadap hukum moral. Hal ini berarti bahwa makan buah ini tidaklah beerdosa jika seandainya Allah tidak pernah berkata: "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kamu makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya pastilah engkau akan mati," Tidak ada pendapat yang seragam tentang mengapa pohon ini disebut sebagai pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Suatu pandangan yang agak umum adalah bahwa pohon itu dissebut demikian sebab siapa yang memakan buahnya akan memperoleh pengathuan praktis tentang yang baik dan jahat; akan tetapi agaknya tidaklah sesuai benar dengan Alkitab bahwa manusia dengan cara makan buah itu akan menjadi seperti Allah dalam mengetahui yang baik dan jahat, sebab Allah tidak pernah melakukan kejahatan, jadi tidak pernah memiliki pengatahuan praktis tentang kejahatan. Jauh lebih mungkin bahwa pohon itu disebut demikian sebab dimaksudkan untuk menyatakan:

    1. apakah masa depan manusia akan baik atau jahat; dan
    2. apakah manusia akan memperkenankan Allah menentukan baginya apa yang baik dan yang jahat atau akan menentukan sendiri bagi dirinya. Akan tetapi penjelasan apapun yang diberikan tentang nama pohon ini, perintah yang diberikan oleh Allah agar buah pohon itu tidak dimakan dimaksudkan untuk menguji ketaatan manusia. Ujian ini adalah ujian ketaatan yang murni, sebab bagaimanapun Allah tidak berusaha membenarkan atau menjelaskan larangan itu. Adam harus menunjukkan kemauannya untuk meletakkan kehendaknya di bawah kehendak Allah dalam seluruh ketaatan.
  2. Karakter esensial dan materialnya. Dosa pertama manusia adalah suatu dosa tipikal, yaitu dosa di mana esensi sesungguhnya dari dosa itu dengan jelas menyatakan dirinya sendiri. Esensi dari dosa itu terletak pada kenyataan bahwa Adam meletakkan dirinya dalam keadaan yang bertentangan dengan Allah, dan ia menolak untuk meletakkan kehendaknya di bawah kehendak Allah, dan ia menolak membiarkan Allah menentukan seluruh jalan hidupnya. Ia secara aktif berusaha mengambilnya dari tangan Allah dan menentukan masa depannya sendiri. Manusia jelas tidak mempunyai hak untuk mengklaim dengan cara menggenapi syarat-syarat dalam perjanjian kerja. Tetapi manusia telah memisahkan diri dari Allah dan bertindak seolah-olah ia memiliki hak- hak tertentu terhadap Allah. Pengertian bahwa perintah Allah adalah suatu pemutusan hak-hak manusia tampaknya sudah ada dalam pikiran Hawa ketika ia menjawab pertanyaan Iblis, ia menambahkan kata-kata "Jangan kaamu makan ataupun raba buah itu (Kej. 3:3). Jelas Hawa ingin menekankan kenyataan bahwa perintah itu agak tidak masuk akal. Bermula dari presuposisi bahwa ia memiliki hak-hak tertentu terhadap Allah, manusia mengambil pusat yang baru, yang ditemukannya dalam dirinya sendiri untuk bertindak menentang pencipta-Nya. Ini menjelaskan keinginannya untuk menjadi seperti Allah dan keraguannya berbagi elemen dapat dibedakan dari dalam dosa pertama tersebut. Dalam intelek, dosa itu adalah ketidakpercayaan dan kesombongan, dalam kehendak, dosa ingin seperti Allah dan dalam perasaan, sebagai suatu kepuasan yang tidak kudus dengan memakan buah yang terlarang.

D. Dosa Pertama atau Kejatuhan yang Disebabkan oleh Pencobaan.

  1. Cara si Penggoda. Kejatuhan manusia disebabkan oleh pencobaan dari si ular yang menaburkan dalam pikiran manusia benih-benih ketidak taatan dan ketidakpercayaan. Walaupun jelas maksud si penggoda untuk menjadikan Adam si kepala perjanjian jatuh dalam dosa, tetapi si penggoda mengarah kepada Hawa karena:

    1. Hawa bukanlah kepala perjanjian itu maka tidak memiliki rasa tanggung jawab yang sama;
    2. ia tidak menerima perintah dari Tuhan secara langsung, tetapi tidak secara langsung dan karena itu bisa merasa lebih ragu-ragu; dan
    3. mungkin ia bisa menjadi pelaku yang lebih efektif untuk mencapai hati Adam. Alur pemikiran si penggoda ini jelas. Pertama-tama ia menebarkan benih keragu-raguan dengan cara mempertanyakan maksud baik Allah dan mengatakan bahwa perintahNya membatasi kebebasan dan hak manusia. Ketika ia memperhatikan jawaban Hawa bahwa benih itu telah berakar, iblis menambahkan benih ketidakpercayaan dan kesombongan, dan menyangkal bahwa pelanggaran akan mengakibatkan kematian dan kemudian mengatakan bahwa perintah itu diberikan karena Allah mementingkan diri sendiri dan ingin agar manusia selalu berada di bawah-Nya. Iblis menekankan bahwa dengan cara makan buah pohon itu manusia akan menjadi seperti Allah. Pengharapan-pengharapan yang sedemikian tinggi menjadikan Hawa terpengaruh dan ia terus memandang kepada buah pohon itu, dan makin ia memandang semakin indah nampaknya buah itu baginya. Akhirnya Hawa mengambil dan memakan buah itu dan memberikannya kepada suaminya, lalu dimakannya juga.
  2. Interpretasi pencobaan. Beberapa usaha telah dilakukan dan masih dibuat untuk menjelaskan sifat historis kejatuhan manusia. Sebagian orang menganggap seluruh kisah kejatuhan manusia dalam Kej 3 adalah sebuah alegori yang menunjukkan bagaimana manusia mengalami kerusakan dan perubahan secara perlahan-lahan secara figuratif. Barth dan Brunner menganggap tentang keadaan manusia semula dan kejatuhan manusia adalah mitos saja. Penciptaan dan kejatuhan bukanlah peristiwa historis tetapi supra-sejarah dan karena itu kedua kisah ini tidak dapat dipahami sepenuhnya. Kisah dalam Kitab Kejadian semata-mata hanya mengajarkan kepada kita bahwa meskipun manusia sekarang tidak mampu melakukan kebaikan apapun dan takluk dibawah hukum kematian, sebenarnya tidak perlu demikian. Mungkin bagi manusia untuk dibebaskan dari dosa dan kematian oleh hidup dalam persekutuan dengan Allah. Hidup seperti itulah yang digambarkan dalam kisah di Firdaus. Dan hidup seperti itu juga memberikan gambaran tentang hidup yang akan diberikan kepada kita di dalam Dia, dan yang olehnya Adam merupakan tipe-nya, yaitu Kristus. Akan tetapi bukan keadaan manusia sekarang atau yang pernah dijalani manusia dalam sepanjang sejarah tidaklah demikian.

    Firdaus bukanlah sebuah tempat yang dapat kita tunjuk, akan tetapi di sanalah tempat dimana Allah adalah Tuhan dan manusia serta segala makhluk harus taat pada kehendak-Nya. Firdaus masa lalu terletak dalam kesuraman sejarah manusia. Barth berkata: "Ketika sejarah manusia mulai; ketika waktu manusia mulia; ketika waktu dan sejarah bersamaan di mana manusia memiliki kata pertama dan kata terakhir, Firdaus sudah lenyap." Brunner berpendapat sama ketika ia mengatakan: "Sebagaimana kita menghargai penciptaan, ketika kita bertanya tentang Bagaimana, kapan dan di mana semua itu telah terjadi, demikian juga dengan kejatuhan manusia. Penciptaan dan kejatuhan sama-sama terletak di balik kenyataan historis yang nampak."

    Mereka yang tidak menyangkali sifat historis dari kisah dalam kitab Kejadian mengatakan bahwa paling tidak ular yang disebutkan itu bukanlah sebagai hewan secara harfiah akan tetapi hanyalah lambang dari keinginan, nafsu seksual, alasan-alasan untuk melakukan kesalahan, atau iblis. Ada orang lain lagi berpendapat bahwa paling tidak si ular itu harus dipandang secara kiasan. Akan tetapi semua pendapat ini serta penafsiran yang sejenis tidaklah sesuai dengan Alkitab. Bagian Alkitab yang mendahului atau dan mengikuti Kej 3:1-7 jelas berbicara sebagai kisah historis. Bahwa kisah itu memang dimaksudkan demikian oleh para penulis Alkitab dapat dibuktikan dari ayat-ayat lain seperti Ayb 31:33; Pengk 7:29; Yes 43:27; Hos 6:7; Roma 5:12,18,19; 1 Kor 5:21; 2 Korintus 11:3; 1 Tim 2:14.

    Dengan demikian kita tidak berhak untuk mengatakan bahwa ayat-ayat yang membentuk bagian integral dari seluruh kisah ini harus ditafsir secara kiasan. Lebih jauh lagi, Kej 3:1 jelas menyebutkan bahwa ular itu benar-benar binatang, dan tidak akan memberikan makna yang baik jika kata "ular" di sini diganti dengan kata "iblis". Hukuman yang diberikan dalam Kej 3:14,15 mempunyai presuposisi bahwa ular itu adalah ular secara harfiah, dan Paulus menyebutkan tentang ular itu bukan dengan cara lain dalam 2 Kor 11:3. Dan kendatipun mungkin kita bisa mengatakan bahwa ular itu mengatakan sesuatu dalam arti kiasan dengan memakai cara yang licik, tampaknya tidak mungkin jika kita menganggapnya tidak melakukan percakapan sebagaimana yang dicatat dalam Kej 3 itu.

    Keseluruhan transaksi, termasuk di dalamnya perkataan si ular memang harus diterangkan melalui pemakaian kuasa supra-manusiawi yang tidak disebutkan dalam Kej 3. Alkitab menyaksikan bahwa sebenarnya ular ini adalah alat yang dipakai iblis, dan bahwa iblis adalah si penggoda yang sesungguhnya, yang bekerja di dalam dan melalui ular, sebagaimana kemudian ia bekerja di dalam manusia, Yoh 8:44; Rom 16:20; 2 Kor 11:3; Why 12:9. Ular adalah alat yang sesuai bagi iblis, sebab sesungguhnya ular adalah personifikasi dari dosa, dan ular melambangkan dosa

    1. dalam naturnya yang licik dan selalu berusaha menjatuhkan, dan
    2. pada sengatnya yang berbisa yang dapat mematikan manusia.
  3. Kejatuhan karena pencobaan dan kemungkinan manusia diselamatkan. Telah dikatakan bahwa fakta kejatuhan manusia dalam dosa disebabkan karena pencobaan dari luar, kemungkinan menjadi salah satu alasan mengapa manusia dapat diselamatkan, yang berbeda dengan malaikat yang jatuh dalam dosa yang tidak disebabkan karena pencobaan dari luar tetapi jatuh karena dorongan dari natur di dalam diri mereka sendiri. Tidak ada sesuatu yang pasti dapat kita katakan tentang hal ini. Tetapi apapun arti penting dari pencobaan dalam kaitan tersebut, jelas tidaklah memadai untuk hanya menjelaskan bagaimana Adam yang kudus dapat jatuh ke dalam dosa. Tidak mungkin bagi kita untuk mengatakan bagaimana pencobaan dapat memperoleh titik temu dalam diri seseorang yang kudus. Dan lebih sulit lagi menjelaskan asal mula dosa dalam dunia malaikat.

E. Penjelasan Evolusionis tentang Asal Mula Dosa.

Wajar jika teori evolusi yang konsisten tidak dapat menerima doktrin tentang kejatuhan manusia dalam dosa, dan sejumlah teolog liberal telah menolak doktrin ini, karena doktrin ini dianggap bertentangan dengan teori evolusi. Memang benar ada beberapa teolog yang dapat dikatakan konservaif seperti Denney, Gore, dan Orr yang menerima, sekalipun dengan hati-hati pandangan evolusi tentang asal mula manusia dan merasakan bahwa penjelasan itu dalam beberapa pengertian memberikan ruang bagi doktrin kejatuhan manusia. Akan tetapi penting kita perhatikan bahwa mereka itu menerima kisah kejatuhan manusia dalam dosa sebagai penjelasan mistis atau alegoris dari suatu pengalaman etis atau sebagai suatu peristiwa moral yang mendadak terjadi pada permulaan sejarah yang akhirnya membawa penderitaan dan kematian. Ini berarti bahwa mereka tidak menerima kisah tentang kejatuhan manusia dalam dosa sebagai suatu penjelasan historis yang sesungguhnya dari apa yang pernah terjadi di taman Eden.

Tennant dalam kuliah-kuliahnya tentang The Origin and Propagation of Sin memberikan penjelasan yang agak terperinci dan menarik tentang asal mula dosa dari sudut pandang evolusi. Ia menyadari bahwa tidak mungkin manusia memperoleh dosa dari nenek moyangnya yang berupa binatang, sebab binatang tidak berdosa. Ini berarti bahwa semua dorongan, keinginan, nafsu dan sifat-sifat yang diwarisi manusia dari binatang tidak dapat disebut sebagai dosa. Dalam perkiraan Tennant semua sifat tadi hanyalah membentuk materi dosa, dan tidaklah menjadi dosa-dosa yang sesungguhnya sampai kesadaran moral bangkit dalam diri manusia dan semua itu kemudian diatur dalam menentukan tindakan manusia, bertentangan dengan suara hati nurani dan sanksi-sanksi etis. Tennant berpendapat bahwa dalam lintasan perkembangan dirinya manusia perlahan-lahan menjadi suatu keberadaan etis dengan suatu kehendak yang tidak pernah berhenti, tanpa menjelaskan bagaimana kehendak yang sedemikian mungkin terjadi di mana hukum evolusi tetap berpendapat dan menganggap bahwa kehendak sebagai satu-satunya penyebab dosa. Tennant mendefinisikan dosa sebagai "suatu tindakan dari kehendak yang dinyatakan dalam pikiran, perkataan atau tindakan yang bertentangan dengan suara hati seseorang, bertentangan dengan pemahamannya tentang apa yang benar dan baik, bertentangan dengan pengetahuannya tentang hukum moral dan kehendak Allah."

Sejalan dengan perkembangan umat manusia standar etis menjadi semakin pasti dan keburukan dosa semakin meningkat. Suatu lingkungan yang penuh dosa menambah kesulitan untuk menjauhkan diri dari dosa. Pandangan Tennant ini tidak memberikan ruang bagi kejatuhan manusia dalam pengertian yang biasa diterima. Kenyataannya Tennant secara eksplisit menolak doktrin kejatuhan manusia dalam dosa, yang diterima oleh seluruh pengakuan gereja sepanjang sejarah. W.H. Johnson mengatakan: "Kritik Tennant disetujui bahwa teorinya tidak memberikan ruang bagi teriakan semua hati yang berseru, yang bukan saja mengakui tindakan tindakan terpisah dari dosa, tetapi mengakui: 'Aku dibentuk dalam kesalahan; ada hukum kematian dalam diriku'."

F. Akibat dari Dosa yang Pertama.

Dosa manusia yang pertama membawa akibat sebagai berikut:

  1. Segera mengikuti dosa yang pertama, adalah kerusakan total dalam natur manusia. Dosa manusia segera merambat pada seluruh manusia dan seluruhnaturnya tidak ada yang tidak tersentuh dosa; seluruh tubuh dan jiwanya menjadi dicemari dosa. Kerusakan manusia telah dikatakan dalam Alkitab, misalnya dalam Kej 6:5; Mzm 14:3; Rom 7:18. Kerusakan total di sini bukanlah berarti bahwa natur manusia telah rusak serusak rusaknya. Dalam kehendak kerusakan ini menyatakan dirinya sebagai ketidakmampuan spiritual.

  2. Segera terkait dengan kerusakan total adalah hilangnya persekutuan dengan Allah melalui Roh Kudus. Keadaan ini adalah sisi balik dari kerusakan total itu sendiri. Keduanya dapat disatukan dalam suatu pernyataan bahwa manusia telah kehilangan gambar dan rupa Allah yaitu kebenaran yang hakiki. Manusia memutuskan hubungan dari sumber hidup dan berkat, dan hasilnya adalah suatu keadaan kematian rohani, Efe 2:1,5,12; 4:18.

  3. Perubahan keadaan manusia yang sesungguhnya juga tercermin dalam kesadaran dirinya. Mula-mula ada suatu kesadaran dalam kekotoran, yang kemudian terungkap dalam rasa malu, dan juga terlihat dalam hal bagaimana Adam menutupi ketelanjangannya. Dan kemudian ada kesadaran tentang rasa bersalah yang terlihat dalam rasa takut kepada Allah.

  4. Bukan saja kematian rohani, tetapi kematian jasmani juga disebabkan oleh dosa manusia yang pertama ini. Dari suatu keadaan posse non mori manusia turun menjadi non posse non mori. Setelah berdosa maka manusia harus kembali kepada debu dari mana ia diambil (Kej 3:19). Paulus mengatakan bahwa oleh karena satu orang maka dosa masuk ke dalam dunia dan terus diturunkan pada semua manusia (Rom 5:12) dan upah dosa adalah maut (Rom 6:33).

  5. Perubahan ini juga menghasilkan perubahan tempat tinggal yang penting. Manusia diusir dari Taman Eden sebab taman itu melambangkan persekutuan yang dekat dengan Allah dan juga lambang dari hidup yang penuh dan berkat yang sedemikian besar yang disediakan bagi manusia, jika ia tetap teguh berpegang pada Allah. Ia diusir dari pohon kehidupan karena pohon itu adalah lambang dari hidup yang dijanjikan dalam perjanjian kerja.

Taxonomy upgrade extras: 

DIK-Referensi 04b

Pelajaran 04 | Pertanyaan 04 | Referensi 04a | Referensi 04c

Nama Kursus : DASAR-DASAR IMAN KRISTEN
Nama Pelajaran : Kejatuhan Manusia
Kode Pelajaran : DIK-R04b

Referensi DIK-R04b diambil dari:

Judul : Mengenali Kebenaran
Penulis : Bruce Milne
Penerbit : PT BPK Gunung Mulia
Tahun : 1993
Halaman : 144-155
Elektronik : Program SABDA(c)

Garis Besar:

Bab 12: ==MENGENALI KEBENARAN==

Bab 12 Manusia Berdosa

  1. Kejatuhan Manusia
  2. Sifat Serta Jangkauan Dosa
    1. Sifat Dosa
    2. Jangkauan Dosa
    3. Penyebaran Dosa: Dosa Warisan
  3. Pengaruh dosa
    1. Dalam Hubungan dengan Allah
    2. Dalam Hubungan dengan Sesama
    3. Dalam Hubungan dengan Dirinya
    4. Dalam Hubungan dengan Alam Semesta
    5. Dalam Hubungan dengan Waktu
  4. Soal-soal Lain
    1. Dosa yang Tak Terampuni
    2. Kebebasan Manusia

    Ringkasan
    Bahan Alkitab
    Bahan Diskusi/penelitian
    Kepustakaan

REFERENSI PELAJARAN 04b - KEJATUHAN MANUSIA

MANUSIA BERDOSA

Pasal 11 di atas memberi gambaran mengenai apa yang mungkin terjadi seandainya Adam tetap setia. Tetapi kenyataannya ia jatuh, jadi kita harus menilik umat manusia dalam dosa.

1. Kejatuhan manusia

Kejadian 3:1-7 mengisahkan tentang dosa pertama umat manusia, dan ada juga banyak lagi bahan Alkitab yang mengacu pada kejatuhan manusia ini (lihat akhir pasal ini). Lagi pula, terlepas dari acuan-acuan eksplisit itu, kejatuhan merupakan bagian integral dari seluruh berita Alkitab. Ada berapa tafsiran kisah kejatuhan yang perlu kita pertimbangkan. Pertama, pandangan harfiah melihat kisah dalam Kitab Kejadian sebagai tulisan sejarah. Inilah pandangan yang diterima secara umum di gereja selama berabad-abad dan masih terus dibela oleh banyak pendukung. Namun akhir-akhir ini timbullah pendapat-pendapat yang lain. Kedua, pandangan mitologis menolak adanya sedikit pun unsur sejarah. Pandangan ini menganggap cerita dalam Kitab Kejadian sebagai suatu gambaran religius yang menyampaikan kebenaran-kebenaran penting tentang manusia dan kondisi moralnya. Dengan demikian cerita Kejadian bukan mengenai asal dosa melainkan mengenai hakikatnya. Memang ada unsur kebenaran dalam pandangan ini dan dalam Roma 1:1-32 Paulus sedikit banyak menggunakannya ketika ia menggambarkan dosa dan pemberontakan di dunia bukan Yahudi pada zamannya. Namun pandangan ini bukanlah arti utama dari Kejadian 3:1-24 karena menolak adanya unsur sejarah dan ini jelas tidak sejalan dengan penulis-penulis Alkitab kemudian. Ketiga, pandangan "historis" menegaskan bahwa -- walaupun Kejadian 2:1-3:24: tidak selalu dapat ditafsirkan secara harfiah -- namun jelas peristiwa-peristiwa diceritakan di dalamnya yang dibatasi oleh waktu dan ruang. Alkitab berbicara tentang kejatuhan sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi (Rom 5:12-13), memberi lokasi taman Eden secara cukup jelas (Kej 2:10-14) dan menempatkan Adam pada garis sejarah yang berlanjut sampai pada Abraham dan Israel (Kej 4:1; 5:4; Kej 11:27; Luk 3:38). Jadi kejatuhan merupakan peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi dalam sejarah moral umat manusia. Untuk menafsirkan perikop yang sangat penting ini dengan tepat, ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan. (1) Ada kesulitan dalam memakai bahasa sehari-hari kita dengan keadaan sebelum kejatuhan, karena semua bahasa dibentuk oleh pengalaman sejak kejatuhan. Begitu pula, tentang waktu pengaruh-pengaruh kejatuhan itu ditiadakan oleh kedatangan kembali Kristus, Alkitab sekali lagi menggunakan semacam simbolisme untuk menggambarkan situasi masa mendatang (Wahy 21:1-22:21). (2) Berkouwer mengemukakan bahwa kejatuhan tidak mungkin dipahami sepenuhnya kalau kita tidak mengakui keterlibatan pribadi kita dalam peristiwa menyedihkan itu. Sekalipun prinsip ini tidak perlu menghambat segala pembahasan tentang sifat kejatuhan, namun sebaiknya kita hindari pendekatan yang terlalu teoretis. (3) Para evolusionis sering menolak gagasan tentang dosa dan argumen-argumen Kristen lain yang terkait. Akan tetapi orang percaya sekurang-kurangnya dapat melihat bahwa sekali kegagalan moral manusia diakui (dan bukti empiris bagi kegagalan itu cukup besar!) maka kecenderungan dalam manusia itu harus ada titik pangkal dalam waktu. Telah terjadi suatu tindakan pemberontakan pertama yang melawan norma- norma moral yang diketahui, dalam hal ini kehendak Allah. Oleh sebab itu asal dosa dapat ditempatkan dalam waktu dan dihubungkan dengan keseluruhan rangkaian peristiwa manusia. (4) Dalam Roma 5:12 (bnd. 1Kor 15:22), Paulus menggunakan kejatuhan sebagai tema pengiring penjelasan rinci mengenai karya penyelamatan Kristus. Pengaruh "satu" (yaitu "yang pertama") dosa Adam (Rom 5:16,18) ditiadakan oleh "satu perbuatan kebenaran" (Rom 5:18) Kristus dengan kematian-Nya bagi orang berdosa (bnd. Rom 3:25; 4:25; 5:8). Tidak mungkin mempertahankan analogi antara perbuatan Adam dan perbuatan Kristus jika kejatuhan tidak diterima sebagai peristiwa dalam waktu dan ruang.

2. Sifat serta jangkauan dosa

  1. Sifat dosa

    Alkitab menggunakan beraneka macam istilah untuk dosa. Hal ini tidak mengherankan karena tema utama Alkitab adalah pemberontakan manusia terhadap Allah dan jawaban-Nya yang penuh anugerah. Istilah-istilah alkitabiah serta berbagai corak artinya dapat dicari dalam ensiklopedi Alkitab. Di sini kita cukup mencatat kata-kata utama dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang diterjemahkan sebagai "dosa". Istilah paling lazim dalam Perjanjian Lama adalah khattat (misalnya Kel 32:30) serta istilah seasal kh‚t (Mazm 51:11). Kata ini muncul ratusan kali dalam Perjanjian Lama dan mengungkapkan tentang pikiran yang tidak mengenai sasaran atau membuat salah. P‚sya (Ams 28:13) mempunyai arti pemberontakan aktif, dosa atau pelanggaran terhadap kehendak Allah. Syaga (Im 4:12) mengungkapkan tentang pikiran yang memilih jalan sesat. Awon (1Raj 17:18) berkaitan dengan bentuk yang berarti memutar, dan mengacu pada rasa bersalah yang dihasilkan dosa. Kata utama untuk dosa dalam Perjanjian Baru hamartia (Mat 1:21). Kata ini juga mempunyai makna tidak kena sasaran dan meliputi gagasan kegagalan, salah dan perbuatan jahat. Adikia (1Kor 6:8) berarti ketidakjujuran atau ketidakadilan. Parabasis (Rom 4:15) mengenai pelanggaran hukum. Anomia (1Yoh 3:4) juga berarti tidak mempunyai hukum. Asebeia (Tit 2:12) mengandung arti kuat mengenai tidak mengenal Allah, sedangkan ptai" lebih berarti tergelincir secara moral (Yak 2:10). Aspek yang paling khas dari dosa adalah bahwa dosa bertujuan melawan Allah (bnd. Mazm 51:6; Rom 8:7; Yak 4:4). Setiap usaha untuk mengurangi ini, misalnya dengan mengartikan dosa sebagai sifat mementingkan diri, sangat meremehkan kegawatannya. Ungkapan dosa yang paling jelas ialah saran Iblis bahwa manusia dapat merampas tempat penciptanya, "kamu akan menjadi seperti Allah . . . " (Kej 3:5). Dalam peristiwa kejatuhan, manusia berusaha meraih persamaan dengan Allah (bnd. Fili 2:6), mencoba memberlakukan kemerdekaan dari Allah serta mempertanyakan integritas sang Pencipta dan pemeliharaan-Nya dalam kasih. Dengan sikap menghujat ia menahan dirinya dari ibadah dan kasih yang memuja, yang merupakan tanggapan manusia yang wajar terhadap Allah. Ia memberi penghormatan kepada musuh Allah dan juga memperhatikan ambisi-ambisinya sendiri.

  2. Jangkauan dosa

    Dosa itu universal. "Tidak ada yang benar, seorang pun tidak" (Rom 3:10; bnd. Rom 3:1-10,23; Mazm 14:1). Hanya Yesus Kristus yang hidup sebagai orang "tidak berdosa" (Ibr 4:15). Penilaian alkitabiah ini cukup banyak dibenarkan oleh antropologi sosial dan pengalaman umum.

    Dosa itu menyeluruh bukan hanya secara geografis, tetapi mempengaruhi setiap manusia secara keseluruhan:

    • kehendak (Yoh 8:34; Rom 7:14-24; Ef 2:1-3; 2Pet 2:19);
    • pikiran dan pengertian (Kej 6:5; 1Kor 1:2; Ef 4:17);
    • perasaan (Rom 1:24-27; 1Tim 6:10; 2Tim 3:4); dan
    • ucapan dan perilaku (Mr 7:21-22; Gal 5:19-21; Yak 3:5-9).

    Keadaan ini menurut tradisi disebut "kerusakan total" (total depravity). Ini tidak berarti bahwa taraf kejahatan setiap manusia sudah maksimal, yang akan membuatnya setaraf dengan setan, tetapi bahwa tak satu pun dari segi watak yang luput dari pengaruh dosa. Tidak ada satu segi dari kepribadian manusia yang dapat dikemukakan untuk menyatakan diri benar. Kenyataan bahwa orang sewaktu-waktu berpikir, berbicara atau bertindak dengan cara yang relatif "baik" (Luk 11:13; Rom 2:14-15) tidak membantah kerusakan total, karena "baik" ini bukanlah kebajikan sepenuhnya sepanjang hidup yang memungkinkan kita menghadap kepada Tuhan. Tidak ada "suaka alam" di dalam pribadi manusia, tempat "keadaan asli" manusia tetap terpelihara. Kita jatuh secara total dan sebab itu memerlukan penebusan secara total. Alkitab juga mengajarkan mengenai kerusakan total dengan mengatakan bahwa dosa telah mempengaruhi inti manusia. Hati (Ibr. l‚v) adalah hakikat seseorang, yang telah disesatkan oleh dosa. Kita ingat pernyataan Yesus, "dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan . . . Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang" (Mr 7:21-23; bnd. Kej 6:5; Yer 17:9; Rom 3:10-18; 7:23). Justru karena "kerusakan total" dalam arti alkitabiah ini, manusia tidak dapat menyelamatkan diri sendiri. Kerusakan total berarti "ketidak mampuan total".

  3. Penyebaran dosa: dosa warisan

    Hubungan antara ketidaktaatan Adam dan dosa manusia selanjutnya adalah persoalan dosa warisan. Alkitab mengajarkan bahwa dosa Adam melibatkan seluruh umat manusia. Dalam Roma 5:12 Paulus menegaskan bahwa melalui ketidaktaatan Adam, dosa dan kematian menjadi kenyataan bagi semua orang "karena semua orang telah berbuat dosa" artinya karena mereka semua berdosa di dalam dosa Adam (Rom 5:14-19; 1Kor 15:22). Ada dua penjelasan tradisional mengenai hal ini. Realisme menafsirkan kata- kata Paulus dalam Roma 5:12 secara harfiah. "Semua orang telah berbuat dosa dalam Adam" berarti bahwa semua hadir dan terlibat ketika Adam berbuat dosa. Sifat manusia umum yang universal, yang meliputi sifat pribadi semua orang, dengan satu atau lain cara hadir "dalam Adam" sehingga ketika ia berbuat dosa setiap orang berdosa dengan dia (bnd. Rom 7:4-10; Lewi ada "dalam tubuh" bapa leluhurnya, Abraham). Tafsiran ini adalah usaha menghindari kesewenangan dalam penafsiran dosa warisan. Namun, terlepas dari kesulitan dalam mengerti apa yang dimaksud dengan gagasan sifat manusia umum, maka kita masih diperhadapkan dengan kesulitan yang disebabkan oleh dampaknya bagi kemanusiaan Kristus. Jika kemanusiaan Kristus bukan bagian dari umat manusia secara umum dan universal di dalam Adam, maka kesatuannya yang hakiki dengan manusia terancam. Sebaliknya kalau Ia termasuk di dalamnya, itu berarti bahwa Ia juga turut dalam kejatuhan. Federalisme mengingat perbandingan yang diadakan antara Adam dengan Kristus (Rom 5:12-19; 1Kor 15:22,45-49), dan menerangkan bahwa solidaritas universal kita dengan Adam adalah sejenis dengan solidaritas Kristus dengan mereka yang Ia tebus, yaitu sebagai wakil, atau kepala federal. Zaman sekarang istilah federal biasanya berarti suatu sistem politik tertentu. Secara teologis istilah ini, yang artinya diturunkan dari kata Latin foedus 'perjanjian', berarti "sesuai perjanjian". Perjanjian Allah dengan Adam, yang sering disebut "perjanjian perbuatan", dilanggar oleh Adam dengan dosanya dan membawa akibat yang mengerikan bagi mereka yang ia wakili atau kepalai. Dalam Kristus, perjanjian ini diperbarui dan di bawahnya kebajikan-Nya yang sempurna menjadi jalan berkat dan penyelamatan bagi mereka yang Ia wakili atau kepalai (Kej 2:15-17; Yer 31:31; Rom 3:21-31; 5:12-12; 1Kor 11:25). Prinsip yang berlaku dalam kedua hal itu sama:

    1. oleh persatuan dengan Adam sebagai kepala perwakilan manusia, kita menjadi orang berdosa; dan
    2. oleh persatuan dengan Kristus melalui iman, kita menjadi benar.

    Prinsip ini jangan dianggap sewenang-wenang, seolah-olah manusia dihukum untuk dosa yang tidak diperbuatnya. Allah yang adil menyatakan seluruh dunia bersalah di hadapan-Nya (Rom 3:19) dan hal itu cukup nyata dalam dosa-dosa yang diperbuat baik oleh orang Yahudi maupun oleh yang bukan Yahudi (Rom 1:18-3:8). Tentu ada kaitan dengan dosa warisan "dalam Adam" (Rom 5:12), namun Alkitab umumnya mengaitkan penghakiman terakhir manusia dengan perbuatan-perbuatannya yang tidak memenuhi syarat Allah dan bukan terutama dengan persatuannya dengan Adam (misalnya Mat 7:21-27; 13:41; 25:31-46; Luk 3:9; Rom 2:5-10; Wahy 20:11-14).

3. Pengaruh dosa

Kejatuhan ke dalam dosa mempunyai pengaruh luas sekali bagi masing- masing bagian manusia yang diuraikan dalam pasal terdahulu.

  1. Dalam hubungan dengan Allah

    Inilah inti dari segala dampak dosa yang diuraikan secara rinci di bawah. Dalam hubungannya dengan Allah, dosa berarti beberapa hal.

    Pertama, kita tidak layak untuk menghadap kepada Allah. Pengusiran Adam dari Taman Eden adalah ungkapan secara geografis dari pemisahan spiritual manusia dari Allah, serta ketidaklayakan untuk menghadap Dia dan menikmati keakraban dengan Dia (Kej 3:23). Tempat kehadiran-Nya menjadi tempat yang menakutkan; pedang yang bernyala-nyala yang menutup jalan kembali ke Eden melambangkan kebenaran mengerikan bahwa dalam dosanya, manusia menghadapi pertentangan dan perlawanan Allah, yaitu murka Allah yang kudus (Kej 3:24; Mat 3:7; Rom 1:18; 1Tes 1:10). Dibandingkan dengan murka Allah, semua ketakutan dan kekuatiran manusia hanya seperti mimpi buruk saja; segala kebutuhan yang lain, betapa pentingnya atau besarnya pun memudar sampai terasa tidak penting lagi. Kedua, kita tidak sanggup melakukan kehendak Allah. Walaupun Allah memanggil dan memerintah manusia dan menawarkan kepada kita jalan kehidupan dan kebebasan, kita tidak sanggup lagi menjawab panggilan-Nya sepenuhnya. Manusia tidak bebas lagi untuk menyesuaikan diri dengan rencana Allah dan telah menjadi budak dosa (Yoh 8:34; Rom 7:21-22). Ketiga, kita tidak benar di hadapan Allah. Kegagalan untuk mematuhi kehendak atau hukum Allah mempunyai dampak lanjut yang serius bahwa manusia sudah di bawah kutukan hukum, rasa bersalah dan penghukuman yang makin bertambah bagi pelanggar hukum (Ul 27:26,28; Rom 3:19; 5:16; Gal 3:10). Keempat, kita tidak peka lagi terhadap firman Allah. Allah berbicara melalui ciptaan, melalui hukum moral, melalui bangsa Israel dalam Perjanjian Lama dan gereja dalam Perjanjian Baru, dan di atas segala-galanya melalui Firman-Nya baik yang menjelma maupun yang tertulis. Dalam keadaan berdosa manusia hanya mendengar secukupnya sehingga tidak beralasan untuk tidak percaya, namun tidak cukup untuk benar-benar mengerti jalan dan kehendak Allah. Pada akhirnya, dosa membawa manusia pada keadaan tidak mengenal Allah dan tidak sanggup mengerti hal-hal mengenai Roh. Pengaruh-pengaruh dosa ini nyata dalam keangkuhan manusia. Manusia menentang pemerintahan Allah dan menentukan diri sebagai penguasa, membuat diri sebagai patokan realitas, dan akal serta pengalaman adalah patokan kebenaran. Manusia menyatakan kekuasaan atas dunia dan memikul tanggung jawab atas masa depan ras. Keangkuhan yang paling parah berbentuk perasaan seperti raksasa yang serba bisa, yang membuat manusia seperti di Babel memanjat ke arah surga dengan maksud merendahkan Allah (bnd. Kej 11:1-9; 2Tes 2:4). Dalam lingkungan keagamaan, keangkuhan ini diungkapkan sebagai pembenaran diri. Manusia menentukan norma-norma bagi dirinya dan membenarkan diri menurut norma-norma tersebut. Ia mencari-cari alasan bagi dosa dan merasa yakin di hadapan Allah karena prestasi-prestasi moral dan religiusnya. Namun manusia tidak luput dari Allah. Hubungan yang terputus nyata sebagai ketakutan kepada Allah; bukan sikap rendah hati dari orang yang beriman (bnd. Ul 10:12) tetapi sikap ketakutan seorang buronan yang lari dari Allah yang tidak ditaatinya. Rasa takut ini dapat mendorong orang untuk mencari ilah pengganti yang tidak menyingkapkan kesalahannya. Ada yang menolak eksistensi Allah secara teori (ateisme), ada lagi yang menganut suatu paham alternatif seperti Marxisme dan melibatkan diri dalam aktivitas yang tak ada henti- hentinya. Tetapi sebenarnya semua itu hanya untuk bersembunyi dari Allah (seperti Adam dan Hawa di Eden) dan menghindari keseraman apabila harus berdiri di hadapan Allah dengan kesalahannya terpampang di depannya.

  2. Dalam hubungan dengan sesamanya

    Putusnya hubungan dengan Allah langsung mempengaruhi hubungan manusia dengan sesamanya. Adam menuduh Hawa dan mempersalahkannya mengenai kelakuannya sendiri (Kej 3:12) dan kisah kejatuhan segera disusul dengan laporan pembunuhan Habel (Kej 4:1-16). Manusia yang melawan Allah juga adalah manusia yang melawan sesamanya sebagai orang asing dan musuh, sebagai ancaman bukan teman. Dosa membawa konflik dan menghasilkan perpecahan-perpecahan besar di antara bangsa-bangsa. Dosa menyebabkan prasangka rasial dan antagonisme, dan membentuk blok-blok kekuasaan internasional yang besar. Dosa menciptakan perpecahan sosial dan dengan begitu membawa kepada konflik antar kelompok atau kelas. Dosa memisahkan orang-orang kaya dengan orang-orang miskin dan menyebabkan konflik dalam semua kelompok manusia, baik kelompok pendidikan, masyarakat, sosial, waktu senggang maupun agama. Lagi pula dosa membawa perpecahan dalam keluarga dan gereja. Secara paradoks, ancaman dari sesama membuat manusia mencari keamanan dengan membentuk berbagai persekutuan yang kadang-kadang tidak masuk akal. Dosa juga menyebabkan eksploitasi sehingga kita "memakai" sesama kita. Kita mengeksploitasi dia untuk menjaga harga diri, untuk membenarkan rencana-rencana jahat dan untuk menopang kelemahan-kelemahan diri kita. Kita membuat dia menjadi korban dari frustrasi dan perasaan bersalah kita. Eksploitasi ini bahkan dinyatakan sebagai kekerasan fisik atau psikologis, seperti dalam hubungan pria/wanita yang sepanjang sejarah bercirikan dominasi pria, penggunaan wanita untuk kepentingan egois pria dan penolakan memberinya persamaan hak dan martabat yang hakiki. Bahkan dalam mengasihi sesama kita mencoba mendapat manfaat dari tanggapan terhadap kasih itu: pemberian kita tidak lain dari penerimaan belaka. Putusnya hubungan dengan sesama sering dinyatakan sebagai ketakutan bahwa orang lain akan menjadi sadar akan pribadi kita sebenarnya dengan segala kelemahan, rasa bersalah dan rasa jijiknya. Oleh sebab itu kita mencoba bersembunyi dari dia, di satu pihak dengan memproyeksikan gambaran palsu dari diri kita dan di pihak lain dengan usaha memadamkan ancaman dari dia dengan mengotak-ngotakkannya, melihatnya sebagai anggota suatu kelompok: "kasus", "mahasiswa", "guru", "direktur", "pekerja". Salah satu hasil paling getir dari pemisahan diri dari sesama adalah pengalaman yang berulang kali terjadi ialah salah paham bahkan juga walaupun ada keinginan yang sungguh-sungguh untuk mengenal dan dikenal orang.

  3. Dalam hubungan dengan dirinya

    Dosa mengadudombakan manusia melawan dirinya; ia hidup dengan konflik batin dan perpecahan sambil berseru, "Aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku. Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku?" (Rom 7:23). Orang kehilangan arah batin dan menjadi tidak jelas bagi dirinya sendiri, sejuta dorongan yang saling bertentangan. Pengaruh dosa dinyatakan dalam penipuan diri sendiri. Kehilangan pengetahuan diri yang sebenarnya akan mengakibatkan semacam pemujaan diri atau penghakiman diri yang neurotik berdasarkan patokan yang tidak realistis. Orang tidak mampu menilai diri dengan tepat, namun juga tidak sanggup untuk menyerahkan segala hal kepada Allah dan membiarkan Dia menjadi hakim (1Kor 4:3). Konflik batin ini juga terungkap sebagai rasa malu, perasaan tidak enak dengan diri sendiri (bnd. Kej 3:7-8). Dosa telah menyita kepercayaan diri dan kesanggupan melihat diri sebagai makhluk Allah; orang malu akan dirinya. Segala ungkapan konflik batin manusia ini mengakibatkan keresahan yang tak terobati dalam dirinya. "Orang-orang fasik adalah seperti laut yang berombak-ombak sebab tidak dapat tenang, . . . 'Tiada damai bagi orang-orang fasik itu' firman Allahku" (Yes 57:20-21).

  4. Dalam hubungan dengan alam semesta

    Umat manusia kehilangan keharmonisan dengan alam. Penatalayanan lingkungan sesuai dengan kehendak Allah tergeser oleh perampasan oleh manusia yang berdosa. Ini diwujudkan sebagai eksploitasi dan perusakan dunia, tanpa memikirkan keindahannya yang tercipta ataupun nilai hakikinya. Ini juga terungkap sebagai polusi, penggunaan bahan baku yang mengotorkan samudera dan suasana secara serakah, hanya untuk kepentingan diri dengan keuntungan ekonomi belaka, kehidupan mewah dan pemuasan hati.

  5. Dalam hubungan dengan waktu

    Manusia yang jatuh ke dalam dosa hidup dalam waktu yang dibatasi karena dosa itu. Karena dosa, manusia kehilangan kekekalan (Kej 2:17; 3:19), hari-harinya terbatas. Penghakiman melalui kematian adalah pertanda penghakiman Allah nanti. Oleh Allah, manusia diberi waktu, tetapi waktu itu berjalan terus mendekati akhirnya ketika semua rencana, tujuan dan mimpi akhirnya dihentikan oleh kematian. Pengaruh dosa ini terungkap dalam materialisme manusia serta hedonisme praktis yang sebenarnya hanyalah penerapan materialisme. Kita berpegang pada dunia yang nyata bagi pancaindera sebagai usaha untuk mempunyai pegangan dalam dunia yang terus bergolak. Usaha ini juga nyata dalam keinginan untuk menciptakan tanda-tanda peringatan, bentuk-bentuk materi yang dapat memperpanjang kenangan kepada orang setelah ia tiada. Pembatasan waktu ini juga mengkibatkan kegelisahan. Kematian tak ada bandingnya untuk menyadarkan orang akan keadaannya yang tak berarti dan kelemahannya, dan menunjukkan kebodohan orang yang berlagak mulia. Bahkan kalaupun seorang mencoba menghadapi kematian dengan hati teduh, ia tidak berhasil sepenuhnya mengatasi kegelisahan ini. Takut akan kematian menguasai manusia sampai akhirnya ia juga pergi menerima hasil dosanya.

4. Soal-soal lain

  1. Dosa yang tak terampuni

    Beberapa perikop Perjanjian Baru berbicara tentang dosa yang tidak dapat diampuni, yakni dosa atau penghujatan terhadap Roh Kudus. Yesus menyinggung hal ini (Mat 12:31-32; bnd. Ibr 6:4-6; 10:26-29; 1Yoh 5:16). Ada yang menganggapnya sebagai perbuatan langsung untuk menghujat Roh Kudus, biasanya dalam hubungan dengan kesaksian-Nya mengenai Kristus. Penafsiran akhir-akhir ini melihat hakikat dosa itu lebih bersifat kristologis. Yesus membedakan antara dosa terhadap Roh Kudus dan dosa "menentang Anak Manusia" (Mat 12:32) sebelum kematian dan kebangkitan-Nya dan turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta. Sebelum Paskah pertama "Anak Manusia" merupakan penyataan Allah yang terselubung dan penuh teka-teki. Kegagalan mengenal Yesus selama misi- Nya di dunia (misalnya keluarga-Nya sendiri, Mr 3:21) tidak begitu serius dibandingkan dengan sikap percaya bahwa seluruh misi-Nya, khususnya karya-karya baik-Nya, adalah pekerjaan Iblis seperti yang dituduhkan orang Farisi kepada-Nya. Dengan adanya peristiwa Pentakosta, perbedaan itu hilang. Yesus diperlihatkan sebagai Anak Allah dan Injil salib diberitakan dengan kuasa Roh Kudus. Penolakan terhadap pesan ini serta terhadap Kristus yang diabadikan oleh pesan ini, berarti menolak Roh Kudus yang menyaksikan akan kebenaran-Nya (Ibr 10:29). Dosa ini tidak diampuni jika dilanjutkan, karena olehnya orang menolak harapan satu-satunya akan penebusan. Yohanes menyebutnya "dosa yang mendatangkan maut" (1Yoh 5:16).

  2. Kebebasan manusia

    Masalah arti dan batas kebebasan manusia sejak kejatuhan telah diperdebatkan dengan gigih berabad-abad. Sering perdebatan ini lebih banyak menghangatkan situasi daripada memberi kejelasan. Ini cukup sering disebabkan oleh kecenderungan mengacau permasalahan teologis dengan masalah yang jelas-jelas bersifat filsafat, yakni determinisme dan indeter-minisme. Ada paling sedikit tiga arti istilah "kebebasan". Pertama, orang mengalami kebebasan secara psikologis sehari-hari ketika dia menghadapi beberapa alternatif dan membuat pilihan. Ini meliputi hal-hal sepele, seperti "Koran mana yang akan saya beli pagi ini?" sampai pada yang serius seperti "Maukah engkau menikah dengan saya?" Inilah kebebasan yang mendasari tanggung jawab moral. Alkitab menganggap bahwa kuasa untuk memilih secara bertanggungjawab dan atas kemauan sendiri adalah milik semua orang, baik orang Kristen maupun yang bukan Kristen. Tingkat pengertian yang kedua timbul dari pertanyaan apakah perbuatan-perbuatan kita pada masa mendatang akan ditentukan oleh faktor-faktor pada masa kini dan oleh sebab itu dapat diramalkan. Agaknya Alkitab tidak membenarkan atau menolak kebebasan dalam arti ini. Yang pasti adalah bahwa watak dipengaruhi oleh perbuatan orang: keputusan dan perbuatan masa lampau membentuk tipe manusia yang ada sekarang. "Apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya" (Gal 6:7). Di lain pihak, Alkitab tidak membenarkan adanya pengurangan tanggung jawab manusia. Ketiga, segi teologis dari kebebasan muncul dengan persoalan apakah orang bukan Kristen bebas untuk menggenapi kehendak Allah, khususnya apakah mereka bebas untuk menyesali dosanya dan percaya kepada Kristus sebagai Penebus dan Tuhan. Perbudakan kemauan manusia karena kejatuhan kelihatannya tidak memungkinkan orang benar-benar secara bebas menaati Allah. Ketidaksanggupan untuk berpaling kepada Allah tanpa bantuan-Nya tercermin dalam kenyataan bahwa orang hanya dapat masuk ke dalam kerajaan surga melalui kelahiran kembali (tentang ini lihat ps 23.2.c).

Bahan Alkitab

==Kejatuhan:==

Kejadian 3:1-7; Ulangan 32:8; Ayub 31:33; Pengkhotbah 7:29; Yesaya 43:27; Hosea 6:7; Lukas 3:38; Roma 5:12 dst.; 1Korintus 15:22-23; 2Korintus 11:3; 1Tesalonika 2:13-14; 1Timotius 2:13-14; Yudas 1:14.

==Sifat dan jangkauan dosa:==

Kejadian 3:6; Mazmur 14:1-3; 51:6; Yesaya 64:6; Yeremia 17:9; Markus 7:21-22; Yohanes 8:34-35; Roma 3:9-20; 5:10; 7:14-24; Galatia 5:19-21; Efesus 4:17-18; Yakobus 3:5-9; 2Petrus 2:19.

==Pengaruh dosa:==

Kejadian 3:17-24; 4:14; 19:1-12; 1Samuel 31:1-6; Mazmur 90:5-10; Pengkhotbah 1:1-2:26; Yesaya 5:8-23; Roma 1:18-32; Efesus 2:1-3; Yakobus 5:1-6; 2Petrus 3:5-10.

Taxonomy upgrade extras: 

DIK-Referensi 04c

Pelajaran 04 | Pertanyaan 04 | Referensi 04a | Referensi 04b

Nama Kursus : DASAR-DASAR IMAN KRISTEN
Nama Pelajaran : Kejatuhan Manusia
Kode Pelajaran : DIK-R04c

Referensi DIK-R04c diambil dari:

Judul Buku : Menaklukkan Segala Pikiran Kepada Kristus
Penulis : Richard L. Pratt Jr.
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang
Tahun : 1995
Halaman : 39 - 46

Garis Besar:

Pelajaran 4 Karakter Manusia yang berdoa

  1. Kejatuhan Umat Manusia
  2. Akibat Kejatuhan Manusia dalam Dosa

REFERENSI PELAJARAN 04c - KEJATUHAN MANUSIA

KARAKTER MANUSIA YANG BERDOSA

Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani (1 Kor. 2:14)

Pada pelajaran yang terdahulu kita telah mendiskusikan karakter manusia sebelum kejatuhan ke dalam dosa namun pengertian kita akan manusia tidaklah lengkap apabila kita tidak mempelajari akibat-akibat dari kejatuhan atas diri manusia. "Pengetahuan tentang diri kita sendiri pertama adalah berdasarkan apa yang telah diberikan pada waktu penciptaan..., kedua kita perlu mengingat akan keadaan kita yang menyedihkan dan tidak menyenangkan setelah kejatuhan Adam."

Karakter dari manusia telah berubah di bawah kutuk dosa. Manusia tidak lagi merupakan gambar Allah yang sempurna; manusia tidak lagi hidup dan berpikir sebagaimana halnya dengan Adam dan Hawa sebelum jatuh dalam dosa. Di dalam pelajaran berikut ini dengan lebih jelas akan kita lihat bagaimana dosa telah sangat mempengaruhi manusia, sebagai akibatnya manusia telah menyangkali kebergantungannya secara mutlak kepada Allah. Untuk dapat mengerti akan kondisi manusia yang seperti ini, pertama pelajaran ini akan mendiskusikan awal mula dari kejatuhan manusia dan kemudian tahap-tahap selanjutnya setelah kejatuhan itu.

A. Kejatuhan Umat Manusia

Allah telah membuat laki-laki dan perempuan menurut gambar-Nya dan telah menempatkan mereka di taman Eden. Pada waktu Adam dan hawa menyadari akan keberadaan mereka sebagai mahluk ciptaan Allah. mereka dengan senang hati telah mendedikasikan diri mereka untuk melayani Allah. Waktupun berlalu dan kesetiaan manusia kepada Allah pun diuji. Allah telah menempatkan pohon pengetahuan baik dan jahat di tengah- tengah taman dan berkata:

tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya pastilah engkau mati (Kej. 2:17).

Dalam hal ini banyak hal yang perlu dipertaruhkan oleh manusia daripada hanya sekedar suatu penahanan diri untuk tidak makan buah tertentu. "Pada mulanya Adam telah menyangkali pohon pengetahuan baik dan jahat untuk menguji ketaatannya dan membuktikan bahwa ia dengan sukarela berada di bawah perintah Allah." Allah telah berkata dan mewahyukan kehendak-Nya dalam hubungan dengan pohon yang terlarang itu. Adam dan Hawa ditempatkan pada posisi pengujian kesadaran mereka untuk mengakui atau menyangkali otoritas Allah dan kebergantungan mereka akan Dia.

Pasal ketiga dari kitab Kejadian berpusat pada kejatuhan manusia. Ular, yang dijelaskan dalam bagian lain dari Alkitab adalah di Iblis (lihat Kej. 3:15; Rm. 16:20), menghampiri Hawa dan mencobai dia untuk mengabaikan perintah Allah. Dengan memperhadapkan Hawa kepada pilihan yang paling penting dalam hidupnya, Iblis berkata:

Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat (Kej. 3:4-5).

Perkataan Iblis jelas bertolak belakang dengan wahyu Allah. Hawa diperhadapkan pada suatu pilihan: siapakah yang dapat dipercaya? Allah mengatakan "kamu akan mati" dan ular mengatakan, "kamu tidak akan mati." Perempuan itu harus percaya pada salah satu dari dua pernyataan yang berlawanan itu. Kemudian ular yang licik itu tidak puas hanya dengan mengatakan bahwa Allah membuat kesalahan. Dia bahkan menyarankan Hawa bahwa apabila ia memakan buah itu maka perbedaan akan Pencipta dengan ciptaan akan hilang. "Kamu akan menjadi seperti Allah." (Kej. 3:5) Iblis mengatakan dengan penuh kesombongan.

Hawa telah tertipu oleh tipuan dari ular yang licik. Kita dapat mengatakan bahwa tindakan Hawa ini merupakan tindakan yang sangat bodoh, tetapi rupanya pencobaan untuk menjadi seperti Allah terlalu besar untuk dihindari. Setelah semua penghormatan Hawa kepada Penciptaannya digoncangkan, Hawa memutuskan bahwa dia tidak perlu lagi untuk bergantung kepada Allah untuk mengetahui pengetahuan yang benar demikian juga untuk petunjuk yang berkenaan dengan moralitas.

Ular telah mempertanyakan akan keabsahan dan kemampuan Allah dalam
Hal-hal ini dan Hawa telah termakan oleh saran-sarannya. Sebelumnya, Hawa telah menerima wahyu Allah dengan pengakuan akan ketergantungannya secara mutlak kepada Allah namun sekarang dia telah memutuskan bahwa kebergantungan kepada Allah merupakan suatu pilihan. Pembacaan yang teliti dari Kejadian 3:6 memperlihatkan inti dari kesalahan Hawa.

Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang berssma-sama dengan dia dan suaminya pun memakannya.

Hawa tidak secara langsung menolak Firman Allah dan juga tidak secara langsung menerima perkataan dari si ular. Melainkan dia mengamati pohon itu sendiri dan kemudian memutuskan karakter dari pohon itu berdasarkan pengertiannya sendiri. Dia berkata kepada dirinya sendiri "Mengapa mendengarkan kepada orang lain? Saya akan membuat hukum bagi diri sendiri: Saya akan memutuskan sendiri!" Dengan melakukan ini, maka Hawa menolak perbedaan antara Pencipta dan ciptaan. Dia menyamaratakan wahyu dari Allah yang berdiri sendiri dengan perkataan si ular dan menempatkan dirinya diatas mereka berdua sebagai hakim.

Hawa lalu memberikan buah itu kepada Adam. Adam memakannya dan umat manusia jatuh di bawah kuasa dosa. Ini kemudian merupakan inti dari dosa; manusia memberontak melawan kebergantungannya kepada Allah dalam segala sesuatu dan manusia berasumsi bahwa dia mampu untuk berdiri sendiri tanpa Allah.

Sangat penting untuk diingat bahwa perbedaan Pencipta dan ciptaan tetap berlangsung meskipun manusia memilih untuk mengakuinya atau tidak. Adam dan Hawa tidak menjadi lebih kurang dalam kebergantungannya mereka kepada Allah setelah kejatuhannya, dibandingkan dengan keberadaan mereka sebelum jatuh dalam dosa. Mereka hanya menolak untuk mengakui kebergantungan mereka. Seorang anak balita dapat menipu dirinya sendiri untuk berpikir bahwa dia tidak memerlukan orang tuanya tetapi penyangkalannya itu tidak membedakan dia dengan seorang anak yang bergantung kepada orang tuanya.

Sama juga halnya dengan Adam dan Hawa yang berpikir mereka berdiri sendiri terlepas dari Allah, tetapi kenyataannya mereka tetap membutuhkan Allah dalam segala sesuatu, bahkan untuk kemampuan menolak Allah. Persyaratan Allah bagi Adam dan Hawa adalah supaya mereka mengakui kebergantungan mereka dan hidup sesuai dengan keberadaan ini. Mereka telah gagal untuk memenuhi tuntutan Allah dan jatuh ke dalam dosa. Mereka berpikir dirinya cukup bijak, mereka telah menjadi bodoh, sebab Firman Allah ternyata benar; dan mereka mati.

B. Akibat Kejatuhan Manusia dalam Dosa

Kejatuhan manusia ke dalam dosa di taman Eden bukan merupakan kejadian masa lalu yang terpisah dari masa kini dalam arti hanya mempunyai akibat yang sedikit bagi manusia yang hidup pada masa kini; peristiwa kejatuhan telah membuat semua manusia berada di bawah keterikatan dosa.

Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa (Rm. 5:12).

Sejak kelahiran semua manusia telah dicemarkan oleh dosa (lihat Maz. 51:5; Ef. 2:3). Sebagaimana Adam dan Hawa yang telah menolak perbedaan antara Pencipta dengan ciptaan, semua manusia pun telah menyangkal wahyu Allah baik melalui semua ciptaan maupun melalui wahyu khusus (Firman Tuhan).

Paulus menjelaskan mengenai penolakan manusia akan wahyu melalui penciptaan dalam Rom. 1:18-32. Dimana Paulus mengatakan bahwa meskipun ciptaan dengan jelas menyatakan karakter Allah dan kehendak-Nya, namun manusia yang tidak percaya telah menindas "kebenaran dengan kelaliman" (ay. 18). Mereka menolak untuk mengakui Allah yang telah mewahyukan diriNya melalui ciptaan, sebab "pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap" (ay. 21). ""Mereka berbuat seolah olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh" (ay. 22) sebab mereka memilih untuk menyembah "mahluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya, amin" (ay. 25). Oleh karena "mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah, maka Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk..." (ay. 28). Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa menolak untuk mengakui penyataan Allah dalam semua aspek ciptaan.

Orang-orang tidak percaya juga tidak memberikan tempat yang sewajarnya pada wahyu khusus Allah. Tuhan Yesus menggambarkan bagaimana Israel menolak kebergantungannya pada wahyu khusus Allah dalam perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur (lihat Mar. 21:33-34). Penggarap-penggarap kebun anggur memperoleh mata pencaharian mereka dari kemurahan hati yang mempunyai tanah tetapi mereka menolak untuk menghormati dia. Sebagai akibatnya si pemilik tanah mengutus utusan- utusan khusus kepada si petani. Bahkan, Ia telah mengutus Anak-Nya. Namun si petani membenci mereka dan membunuh mereka semua. Sama halnya dengan semua manusia yang seharusnya tunduk kepada wahyu khusus Allah melalui Firman Tuhan, sebaliknya mereka telah menolaknya. Dosa telah mencengkeram manusia sedemikian rupa sehingga manusia tidak mampu lagi untuk menundukkan dirinya kepada Firman Allah.

Sebab keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin baginya (Rm. 8:7).

Oleh karena itu manusia dalam keberadaannya sebagai manusia yang berdosa tidak mampu lagi untuk memahami wahyu Allah.

ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani (1 Kor. 2:14).

Manusia tidak menundukkan diri mereka kepada Wahyu Allah. Manusia telah mengikuti teladan dari Adam dan Hawa yang mengira bahwa segala sesuatu harus diukur oleh "garis pengukur dari kebodohan kedagingan mereka".

Kegagalan manusia untuk mengakui wahyu Allah dalam alam semesta dan untuk menerima Tuhan sebagai alat untuk mengenal Allah dan mengethui kehendak-Nya telah membuat manusia dalam posisi yang sulit. Yeremia menyerukan pada jamannya sebagai berikut:

Sesungguhnya, mereka telah menolak Firman Tuhan, maka kebijaksanaan apakah yang masih ada pada mereka? (Yer. 8:9)

Apa yang dapat kita lihat apabila mata kita tertutup? Apa yang dapat memuaskan kedahagaan kita apabila sumur kita kering? Tidak ada! Sama
Halnya dengan hikmat dan pengetahuan Allah sendiri "mengajar manusia akan pengetahuan" (Maz. 97:4) melalui Wahyu-Nya. Apabila kita menolak Firman-Nya, itu berarti kita menolak semua kebenaran dan secara prinsipil kita tidak mengetahui apa-apa selain ketidakbenaran.

Takut akan Tuhan adalah permulaanpengetahuan (Ams. 1:7).

Mereka yang percaya akan hati nuraninya sendiri (Ams. 28:26) dan tidak mempunyai kerinduan untuk pengertian yang benar (Ams. 18:2) adalah bodoh. Dia membenci pengetahuan (Ams. 1:29) dan perkataan yang berpengetahuan tidak akan dapat ditemukan pada bibirnya (Ams. 10:18; 14:7; 19:1). Oleh karena penolakan mereka akan wahyu Allah, maka manusia:

hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka (Ef. 4:17-18).

Atas dasar ini dikatakan bahwa:

Tuhan mengetahui rancangan-rancangan orang berhikmat; sesungguhnya semuanya sia-sia belaka (1 Kor. 3:20).

Selama manusia terus menerus berpaling daripada wahyu Allah akan diriNya dan kehendakNya, manusia tidak akan mampu untuk tiba pada pengetahuan yang benar akan diri mereka sendiri, dunia dan Allah.

Taxonomy upgrade extras: 

OKB-Referensi 03c

GSM-Referensi 03b

Pelajaran 03 | Pertanyaan 03 | Referensi 03a |

Nama Kursus:Training Guru Sekolah Minggu (GSM)
Nama Pelajaran: Mengenal Anak-anak
Kode Pelajaran: GSM-R03b

Referensi GSM-R03b diambil dari:

Judul:Pedoman Pelayan Anak
Judul Artikel:Perkembangan Alam Pikir Anak
Pengarang:Ruth Lautfer
Penerbit:Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, Malang, 1993.
Halaman: 43-44 ; 51-53 ; 61-63 ; 71-72

REFERENSI PELAJARAN 03b - PERKEMBANGAN ALAM PIKIR ANAK

Sebagai guru SM kita harus mengerti secara mendalam bagaimana sebenarnya perkembangan alam pikir anak SM kita. Setelah kita membicarakan "Cara Berpikir Anak" secara umum dari artikel di atas, berikut ini kami akan sajikan secara lebih spesifik mengenai "Perkembangan Alam Pikir Anak" menurut pembagian kelas dan umur dalam Sekolah Minggu.

PERKEMBANGAN ALAM PIKIR ANAK

ANAK BATITA (Di bawah 3 Tahun)

  1. Daya konsentrasi terbatas
  2. Anak Batita belum sanggup untuk berkosentrasi dalam jangka waktu lama. Perhatian cepat dialihkan kepada kegiatan lain. Tetapi ia dapat mendengarkan sebuah cerita dengan penuh perhatian, asal ceritanya pendek, tidak melebihi lima menit. Anak batita senang bila cerita itu diceritakan ulang berkali-kali dengan kata-kata yang sama.

  3. Arti kata-kata belum pasti dimengerti
  4. Pada waktu seorang anak berumur tiga tahun ia mengenal k.l. 900 kata dan akan bertambah menjadi k.l. 1500 kata menjelang 4 tahun. Kebanyakan kata yang dipakai adalah kata benda; bentuk kalimatnya sederhana, terdiri dari dua, tiga kata saja. Tetapi mereka dapat menyebut hal-hal yang dilihat. Karena kata perbendaharaan katanya terbatas, ia belum pasti mengerti arti kata yang didengar dan dipakai atau dihafal. Karena itu perlu sekali dipakai kata-kata yang sederhana kalau membawa cerita Alkitab. Kata-kata ayat hafalan juga perlu dijelaskan.

  5. Belajar melalui panca indera
  6. Panca indera merupakan gerbang dari otak anak. Melalui melihat, mendengar, mencium, merasa, dan meraba, anak dapat mengenal dunia di sekelilingnya. Ia belajar melalui pengalaman langsung.

  7. Rasa ingin tahu
  8. Anak batita terus bertanya karena didorong rasa ingin tahu. Pertanyaan pertama merupakan: "Apa ini?" "Apa itu?". Melalui bertanya seorang anak menambah kemampuan pikiran dan pengetahuannya. Karena itu pertanyaan-pertanyaan harus dijawab dengan sabar, meskipun sewaktu-waktu membosankan.

  9. Mulai mengerti mengenai waktu
  10. Anak batita mengembangkan pengertian mengenai jarak waktu dan mulai mengerti istilah "kemarin", "hari ini", dan "hari esok". Mereka juga dapat mengingat kejadian-kejadian yang tidak terlalu lama dan berbicara mengenainya.

  11. Kesanggupan menghitung dan mengerti angka
  12. Secara rutin anak batita dapat berhitung sampai sepuluh, tetapi ia hanya dapat menguasai dua atau tiga benda pada permulaan. Kwantitas itu bertambah dengan bertambahnya umur.

ANAK KECIL (4-5 Tahun)

  1. Kuat dalam menghayal.
  2. Mereka kaya dalam hal berkhayal. Lewat kesanggupan mengkhayalnya ia mengisi kekurangan dalam pengertian. Ia sulit membedakan di antara yang benar dan yang dikhayalkan.

  3. Suka meniru
  4. Mereka suka meniru. Melalui meniru ia mencari pengalaman untuk memahami dan memasuki dunia orang dewasa yang makin lama makin menarik. Melalui meniru pula mereka mendidik dirinya sendiri. Sebab itu perlu sekali mereka melihat teladan yang baik. Karena mereka akan meniru segala sesuatu yang menarik perhatiannya, baik atau buruk.

  5. Mengembangkan pengertian akan jangka waktu
  6. Anak berumur 4 dan 5 tahun mulai mengerti mengenai minggu, bulan, dan juga mulai mengerti musim-musim. Tapi mereka tidak mempunyai pegertian luas akan masa lampau atau masa depan yang luas. Kalau bercerita kepada mereka cukup menyebut "dulu" tanpa menyebut abad dan tahunnya.

  7. Menghitung dan pengertian akan angka
  8. Seorang anak kecil sekarang sudah dapat menghitung sampai angka 30. Kemudian mereka dapat mencocokkan angka dengan benda yang sesuai. Mereka senang mempelajari nyanyian yang menyebutkan angka dan permainan jari yang memakai jari-jari dalam hal menghitung. Mereka mulai menulis angka.

  9. Menambah perbendaharaan kata
  10. Anak kecil yang banyak bergaul dengan kakak dan orang dewasa sangat beruntung dalam hal menambah kata-kata dan menjadi lancar dalam memakai bahasa. Anak berumur 4 tahun k.l. mengenal dan memakai 1550 kata, anak berumur 5 tahun 2200 kata. Mereka senang berbicara dan senang mendengar cerita.

ANAK TENGAH (6-8 Tahun)

  1. Hal menulis dan membaca
  2. Mengikuti kelas satu sampai kelas tiga SD mendorong anak mulai belajar menulis dan membaca. Mereka bangga jika dapat membaca kalimat-kalimat pada surat kabar dan majalah. Membaca buku cerita anak juga menjadi kesukaan mereka, meski dengan perlahan-lahan.

  3. Haus akan cerita
  4. Meskipun senang membaca, anak tengah belum bisa membaca dengan cepat. Sehingga mendengar cerita merupakan hal yang sangat menyenangkan. Mereka mulai membedakan antara cerita dongeng dan cerita nyata. Bila pada kelompok ini ditanamkan keyakinan bahwa Tuhan berbicara kepada kita melalui firman-Nya dan bahwa peristiwa yang diceritakan dalam Alkitab sungguh terjadi, mereka akan bersemangat dalam mendengarnya dan akan memegangnya sebagai keyakinan.

  5. Konsentrasi lebih lama
  6. Anak tengah dapat bertahan lebih lama. Hal ini dikarenakan daya konsentrasi mereka yang lebih lama. Mereka tahan mengikuti kebaktian anak yang berlangsung dalam satu jam. Mereka juga dapat mengerti dan mengikuti instruksi guru.

  7. Belum mengerti hal yang abstrak
  8. Anak tengah belum dapat mengerti hal yang abstrak, yaitu sesuatu yang tidak dapat dilihat dan dipegang. Karena itu bila dalam pelajaran yang disampaikan ada kata-kata yang abstrak, guru perlu menjelaskannya, seperti kata iman dan pengampunan. Istilah-istilah semacam itu hendaknya dijelaskan melalui peristiwa dalam cerita. Mereka hanya mengerti kata-kata dalam arti yang sebenarnya.

  9. Cara berpikir "hitam putih"
  10. Pengertian anak tengah masih sederhana dan polos. Cara berpikir mereka adalah "hitam putih". Yang baik sungguh baik dan yang jelek sungguh jelek. Mereka belum mengerti besarnya komplikasi kepribadian seseorang. Bahwa seseorang pada satu saat bisa melakukan hal yang baik dan kemudian hari melakukan hal yang tidak perlu dicontohi, masih terlalu sulit untuk pengertian mereka.

  11. Belum mempunyai pendapat sendiri
  12. Pola pemikiran anak berumur 6-8 tahun masih tergantung pada orangtua atau guru mereka. Itu berarti, pola penilaian positif yang ditanamkan oleh orangtua atau guru mempunyai pengaruh besar dalam hidup mereka. Dalam rangka membangun kepribadian anak, sebaiknya mereka diberi kesempatan untuk belajar mengambil keputusan atas hal-hal yang sederhana, juga diijinkan bertanya atau memberikan pendapat secara spontan.

  13. Hidup dari hari ke hari
  14. Keterbatasan tetapi juga keindahan dari cara hidup anak tengah adalah hidup dari hari ke hari. Mereka tidak terlalu melihat ke belakang dan tidak menguatirkan hari esok. Itu sebabnya mereka belum tertarik pada sejarah, baik sejarah umum maupun sejarah Alkitab.

ANAK BESAR (9-11 Tahun)

  1. Daya konsentrasi baik
  2. Anak besar telah mempunyai daya konsentrasi yang baik. Mereka sanggup duduk untuk mendengar cerita selama 20 - 25 menit. Kesukaan mereka mempelajari sejarah dapat diisi dengan cerita dalam urutan sejarah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Juga dapat diajarkan mengenai peta Alkitab yang berhubungan dengan cerita yang disampaikan. Daya konsentrasi yang baik ini juga memungkinkan anak besar mempelajari ayat hafalan yang lebih panjang kalimatnya.

  3. Mempunyai banyak minat
  4. Pengalaman dan kesanggupan baru menimbulkan banyak cita-cita pada anak besar. Mereka senang berolahraga, mengumpulkan perangko atau gambar pahlawan/tokoh, juga benda-benda dari alam semesta. Banyak hal yang menarik minat anak besar. Melalui ketertarikan ini mereka menyiapkan diri untuk memilih cita-cita yang akan dikembangkan. Bila pengembangan cita-cita dibangun bersama dengan pengenalan akan Allah, masa depan akan sampai dalam takut akan Tuhan.

  5. Suka membaca
  6. Keinginan untuk menemukan banyak hal yang baru mendorong anak besar untuk membaca. Mereka tidak lagi tertarik pada cerita khayal, tetapi kepada hal yang sungguh-sungguh terjadi. Alangkah baiknya jika Sekolah Minggu membuka perpustakaan dan menyediakan buku-buku yang mengisi kebutuhan anak besar itu.

  7. Mulai berpikir logis
  8. Sejalan dengan kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang diperoleh di Sekolah Dasar, anak besar semakin terlatih dalam hal berpikir. Memahami hal ini, dalam interaksi kelas sebaiknya guru menciptakan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang pikiran anak. Searah dengan perkembangan logika mereka, anak besar memperhatikan apakah hidup seseorang sesuai dengan perkataannya atau tidak. Mereka sendiri ingin berbuat hal yang benar dan menuntut orang dewasa melakukan apa yang mereka katakan.

Taxonomy upgrade extras: