Masa Remaja

Masa remaja kami garis bawahi sebagai masa yang istimewa dan penuh salah paham. Banyak orang tua anggap bahwa anak remajanya menghadapi puncak dari serangan dan godaan lingkungan. Padahal masa remaja hanya merupakan salah satu babak dalam belajar berdiri atas dasar yang benar di tengah lingkungan yang penuh kedurjanaan. Jangan kita percaya bahwa masa remaja merupakan ancaman terhadap ketenteraman keluarga, melainkan sebagai masa ujian dari bobot pendidikan yang diberikan orang tua selama anaknya kecil. Masa remaja ialah masa penerapan praktis dari segala sesuatu yang dipelajari sebelumnya. Orang tua yang mendidik anaknya dengan baik tidak perlu mengkhawatirkan masa depan anaknya kalau sudah menginjak remaja.

Apakah sebenarnya yang kita maksudkan dengan istilah "remaja"? Yang dimaksudkan ialah masa transisi jasmaniah yang penuh komplikasi sampingan. Pada wanita masa ini ditandai terutama dengan permulaan siklus haid. Pada lelaki ditandai antara lain dengan perubahan suara. Gejala umum yang lain lagi ialah kegugupan. Dengan badan yang tiba-tiba memanjang, kaki dan tangan tidak berada pada jarak yang terbiasakan. Bisa saja cangkir teh tertumpah tersenggol tangan atau meja terbalik kena kaki, karena si remaja salah menerka jarak. Bagi kedua kelamin masa ini penuh frustrasi atas perubahan zat kimia di tubuh yang menimbulkan pertambahan bulu, jerawat, dan perubahan bau badan, di samping bagi wanita, perubahan berat dan bentuk kubuh, yang sering membuatnya merasa malu.

Transisi ini tidak terjadi pada usia tertentu. Bisa terjadi pada kelas tiga di sekolah dasar, bisa juga tertunda sampai memasuki SMP. Banyak faktor mempengaruhi usia remaja. Misalnya di negara Swedia, pada awal abad kedua puluh wanita mengalami haid pertama pada usia kurang lebih enam belas tahun. Kini banyak wanita sudah berpenyakit bulan pada usia sembilan tahun. Indonesia tidak ketinggalan. Percepatan irama hidup sangat berpengaruh. Transisi menuju masa remaja tentu merupakan akibat perubahan hormonal.

1. Kelonggaran Hubungan dengan Orang Tua

Untuk dapat mengerti dan membimbing kaum remaja, memerlukan pengertian yang peka terhadap sikon mereka yang khas. Pada dasarnya mereka tidak mau meneladani orang tua atau wakilnya lagi. Setelah hidup sekian tahun bersama dengan orang tuanya, mereka mengalami banyak kekecewaan. Janji ayah sering tidak ditepati. Misalnya, ayah berjanji nanti hari Sabtu pergi bersama ke kebun binatang, tetapi kalau hari Sabtu sudah tiba, dia duduk menonton sepak bola dan tidak mau diganggu. Tentu saja anak yang sudah mengalami hal itu sekian banyak kali akan menyimpulkan bahwa orang tuanya "munafik". Rasanya, tidaklah wajar kalau mengikuti teladan orang munafik lagi.

Kita tidak boleh terlalu menyalahkan sikap ini, karena demikianlah rencana Allah. Sebaiknya kita memandang sikap negatif para remaja kepada orang tuanya sebagai sesuatu yang mengandung faedah. Kalau anak kita tidak berubah demikian, dia kurang terdorong belajar untuk hidup mandiri kalau sudah dewasa. Tanpa belajar mandiri mereka akan bergantung pada orang tuanya seumur hidupnya. Allah sudah memprogram manusia untuk pada suatu waktu meninggalkan rumah induknya.

2. Apakah Remaja Memang Ada Sebagai Golongan Kodrati?

Kepekaan kita dalam membimbing remaja dapat ditingkatkan kalau kita menyimak sebuah pendapat yang baru saja dilontarkan ke arena pemikiran psikologis. Seorang profesor psikologi bernama, Ronald Kotesky mendalami masalah keremajaan. Dia terdorong keinginan untuk tetap berkawan dengan anak-anak remajanya sendiri. Dia menyimak Alkitab dan sejarah, dan menyimpulkan sesuatu yang pasti mengejutkan bagi kebanyakan orang. Kesimpulan dia, "tidak ada masa remaja sebagai tahap antar yang hakiki dalam pertumbuhan anak menuju dewasa".

Di Alkitab, dia menemui dua golongan saja, anak dan dewasa. Di sepanjang sejarah pra abad sembilan belas, dia tidak temui remaja, yang ditemui ialah anak dan dewasa. Kalau seorang anak sudah mengalami transisi biologis dan mental yang terbiasa pada usia kurang lebih sebelas atau dua belas tahun, anak itu sudah memenuhi syarat biologis dan pola pikir untuk menikah dan mendirikan rumah tangganya sendiri. Pada zaman dahulu, usia menikah ialah belasan tahun.

Kotesky kemukakan bahwa para usahawan hanya mengakui dua golongan (anak dan dewasa), sekalipun mereka memanfaatkan kebutuhan khas golongan budaya yang terjuluki remaja. Kalau naik kereta api, atau kalau makan di restoran, hanya ada dua tarif. Ilmu pendidikan hanya mengenal dua tahap dasar. Orang berpikir secara anak sampai kurang lebih dua belas tahun, kemudian pola berpikirnya berubah secara drastis. Hasil pemeriksaan masal di Amerika Serikat pada Perang Dunia pertama dan kedua cukup mengherankan karena para ahli tidak menemui adanya peralihan pola pikir di atas usia empat belas tahun.

Kalau kesimpulan Kotesky ini dipikirkan sampai matang, sebenarnya tidak bertentangan dengan kesimpulan seorang peneliti anak bernama Jean Piaget. Sekalipun Piaget merumuskan rincian tahap-tahap perkembangan intelek anak menjadi enam tahap pokok, kita lihat hanya satu transisi global, yaitu daripada berpikir berdasarkan pahala dan hukuman, ia mulai berpikir berdasarkan kesepakatan. Hanya sedikit orang mengembangkan pemikiran etisnya kepada tahap yang lebih tinggi lagi, yaitu prinsip-prinsip am (umum - universal). Seandainya kita temui perbedaan antara usia transisi menurut Kotesky dengan usia yang disimpulkan Piaget, hal itu tidak terlalu penting. Perubahan pola berpikir belum berarti bahwa lingkup pemikiran itu meluas ataupun bahwa pola berpikir yang baru mulai dimanfaatkan.

Apakah sebenarnya yang dimaksudkan Kotesky dengan mengatakan bahwa golongan remaja tidak merupakan suatu kenyataan hakiki? Dia menemui bahwa golongan remaja baru dikenal sejak tahun 1890. Pada waktu itu beberapa tokoh menyadari adanya unsur ketidakadilan kalau memaksakan anak mengerjakan pekerjaan yang sama berat dengan orang yang lebih tua. Pada waktu yang sama, para sesepuh melihat bahwa paksaan bekerja itu menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan yang lebih memadai dengan zamannya. Pada periode itu hukum kerja diubah. Boleh disimpulkan bahwa golongan remaja yang kita akui sekarang terbentuk oleh budaya dan hukum, dan bukanlah suatu tahap pertumbuhan yang kodrati.

Tidak salah kalau masyarakat menyediakan kesempatan belajar yang lebih lama untuk anak, apalagi menimbang bahwa kini para karyawan memerlukan keterampilan yang serba kompleks. Tidak salah pula kalau mempertimbangkan bahwa, mayoritas masyarakat dahulunya petani, tetapi kini berpindah ke kota. Dalam kehidupan desa anak-anak sempat mengembangkan keterampilan bekerja selama mendampingi ayah. Sebaliknya masyarakat kota tidak menyediakan sarana untuk mengembangkan keterampilan yang perlu untuk mencari nafkah.

3. Masalah Budaya-anti

Namun satu aspek manusia yang serba penting terabaikan dalam keputusan yuridis budayawi di atas, yaitu kedewasaan mental dan biologis anak remaja. Kalau bukan anak, seharusnya boleh kawin. Kalau bukan anak, sudah seharusnya mandiri dengan lapangan kerja yang dapat dijangkau. Sebagaimana Allah telah memprogram kita, dorongan seksual mencapai puncak pada usia kurang lebih tujuh belas tahun. Kalau terlambat menikah, terlalu menambah godaan seksual pada pihak pria.

Kalau sudah siap mandiri, tetapi tidak boleh mandiri, menimbulkan frustrasi karena ketegangan antara semangat hakiki dengan larangan untuk hidup sesuai dengan kodrat itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan lagi kalau sikap dan kelakuan kaum remaja membingungkan kaum tua. Budaya sudah menyediakan kesempatan belajar, tetapi tidak menyediakan kesempatan mengembangkan harga diri kaum remaja sesuai dengan tahap perkembangannya.

Masalah ini penting untuk direnungkan oleh para psikolog, teristimewa di bidang psikologi konseling. Ketegangan di atas sering menimbulkan kesulitan dalam interaksi orang tua dengan anak. Akhirnya orang tua membawa anak untuk dibimbing karena pada sangkanya ada sesuatu yang tidak normal pada pihak anaknya. Bukanlah tugas psikolog untuk menegur anak bersangkutan, melainkan untuk memberikan pengertian kepada kedua pihak tentang apa yang sedang dialami oleh anak remaja. Hanya kepekaan yang berdasarkan pengertian memungkinkan seorang konselor dapat menolong dalam kasus-kasus semacam ini.

Kalau masyarakat tidak menyediakan dasar penghargaan, maka anak-anak mengusahakan tolok ukur itu sendiri. Cara biasa bagi mereka adalah budaya anti (counter-culture). Dalam segala keterbatasan sikon mereka, mereka menetapkan ukuran penghargaan yang baru; pakaian dan bahasa yang berbeda pola, kegiatan yang berbeda dengan kegiatan orang tua. Adakalanya, kekesalan mereka yang dibahas di atas (orang tua dianggap munafik) menyebabkan perubahan tata hidup, yang sengaja dipilih untuk menjengkelkan orang tua. Bahkan kadang-kadang anak wanita berusaha supaya dihamili di luar nikah sebagai pukulan kepada orang tua yang sudah berulang kali menjengkelkannya.

Kalau kita mengerti, kalau kita turut merasakan apa yang mereka sedang alami, kepekaan itu akan membuka jalur komunikasi antara sesepuh dan kaum muda sehingga mereka rela menerima pengarahan dari orang yang lebih berpengalaman. Karena mereka miskin pengalaman, mereka sangat membutuhan nasihat orang yang lebih tua. Namun, orang tua harus memperoleh kepercayaan mereka terlebih dahulu, yang hanya mungkin bila mereka bersikap positif dan mengerti frustrasi anak remaja.

Diambil dari:
Judul buku : Psikologi Yang Sebenarnya
Judul artikel : Masa Remaja
Penulis : W. Stanley Heath
Penerbit : Yayasan ANDI, Yogyakarta, 1995
Halaman : 116 - 123
Kategori: 
Taxonomy upgrade extras: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA