Memperkenalkan Perjanjian Lama

Perjanjian Lama adalah salah satu dari karya-karya klasik yang agung dari dunia sastra. Hanya ada sedikit buku lain yang begitu tua, tetapi masih dibaca oleh banyak orang. Walaupun kisah-kisahnya terjadi pada masa lampau dan pada tempat-tempat yang asing, kita masih dibuat kagum sampai hari ini. Pada halaman-halamannya kita mendapatkan harta kesusastraan yang kaya dari suatu bangsa secara keseluruhan: bangsa Israel purba. Kisahnya dimulai pada zaman batu dan berakhir pada zaman Kristen mula-mula. Bagian-bagian yang paling muda berumur lebih dari 2.000 tahun sedang asal-usul karya yang paling awal sudah hilang selamanya ditelan kabut zaman purba. Namun, kombinasi unik dari kisah kepahlawanan, sejarah, refleksi filosofis, puisi, dan komentar politik ini disatukan dengan unsur-unsur petualangan, semangat, dan ketegangan seperti yang kita harapkan ada pada kisah-kisah detektif modern. Perjanjian Lama telah melewati keganasan waktu untuk menjadi bahan baku bagi film-film Hollywood berskala besar pada zaman kita, juga sebagai buku yang memberikan inspirasi pribadi bagi banyak orang.

Namun, Alkitab lebih dari hanya sebuah buku. Alkitab adalah suatu perpustakaan buku-buku; di sinilah letak daya tariknya. Dari kisah agung kepahlawanan Abraham, Musa, Yosua, atau Daud sampai ke buku-buku yang lebih reflektif seperti Ayub dan Pengkhotbah, terdapat sesuatu di dalamnya untuk setiap orang. Kisah-kisah menakjubkan dari rekayasa dan nafsu manusia berdiri berdampingan dengan pencarian filosofis tentang arti hidup manusia.

Kelihatannya bahan-bahan tersebut tidak dapat membentuk suatu koleksi karya sastra yang koheren. Namun, bahan-bahan tersebut secara sempurna disatukan oleh fakta bahwa mereka adalah bagian dari cerita yang sama. Ini disebabkan karena para penulis PL yakin bahwa baik buku-buku mereka maupun bangsa mereka lahir bukan semata karena tekanan sosial, ekonomi, dan politik, tetapi karena Allah dan aktivitas-Nya. Melampaui semua daya tarik masing-masing kisah di dalamnya, PL adalah sebuah buku agamawi yang mendalam. Perjanjian Lama menegaskan bahwa dunia ini dan segala tingkahnya bukan hanya serangkaian peristiwa yang kebetulan belaka, tetapi yang dikontrol oleh Allah yang mahatinggi. Allah bukanlah Allah yang jauh, kuasa Ilahi yang tidak dikenal, tetapi Dia yang dengan-Nya manusia dapat - dan memang memiliki hubungan yang personal. Berita ini dinyatakan pada lembaran-lembaran pertama kitab Kejadian dan diterangkan serta ditekankan berulang kali pada bagian selanjutnya.

Kisahnya

Kerangka PL sebagaimana kita mengenalnya menyatakan dengan jelas bahwa Allah tersebut adalah Allah seluruh dunia (Kejadian 1:1-2:4). Namun, sejalan dengan kisah yang dinyatakan, PL juga menyempitkan diri untuk memberitahukan kita bagaimana Allah menjadi realitas yang hidup dalam kehidupan sekelompok masyarakat tertentu (Yesaya 44:1-50:11). Apa yang Allah telah lakukan kepada mereka dimengerti dalam skala luas dan internasional. Bagian pendahuluannya merupakan suatu kisah yang meliputi hampir seluruh dunia purba, mulai dari sepasang suami istri tanpa anak - Abraham dan Sara - di kota Ur, (Kejadian 11:31-12:5), sampai ke satu bangsa di "tanah yang berlimpah susu dan madu" (Ulangan 6:3).

Di antara kedua kisah itu kita mendapatkan kisah abadi tentang Ishak, putra Abraham, dan Sara (Kejadian 21-27), tentang Yakub (Kejadian 25-35), dan tentang bagaimana keluarga itu secara tidak disengaja akhirnya menjadi budak di Mesir (Kejadian 37-50). Ini adalah salah satu titik yang sangat rendah dari sejarah awal Israel. Namun, di bawah Musa, seorang pemimpin dinamis yang dilatih di istana raja Mesir, peristiwa tersebut akan menjadi fokus utama kesadaran nasional Israel. Generasi-generasi penulis PL yang kemudian tidak meragukan bahwa bahkan kisah ini adalah bagian dari rencana Allah bagi umat-Nya. Dengan pengertian dan kepekaan yang tinggi, Nabi Hosea melukiskan Allah sebagai Bapa yang penuh kasih, dan Israel sebagai anak-Nya, "Ketika Israel masih muda, Kukasihi dia, dan dari Mesir Kupanggil anak-Ku itu .... Akulah yang mengajar (Efraim) berjalan dan mengangkat mereka di tangan-Ku .... Aku menurik mereka dengan tali kesetiaan, dengan ikatan kasih .... Aku mengangkat kuk dari tulang rahang mereka; Aku membungkuk kepada mereka untuk memberi mereka makan." (Hosea 11:1-4) Hampir dua ratus tahun kemudian, setelah melewati banyak malapetaka, keyakinan ini masih sangat penting, "Pada hari Aku memilih Israel, Aku bersumpah kepada keturunan kaum Yakub dan menyatakan diri kepada mereka di tanah Mesir; Aku bersumpah kepada mereka: Akulah TUHAN Allahmu! Pada hari itu Aku bersumpah kepada mereka untuk membawa mereka dari tanah Mesir ke tanah yang Kupilih baginya, negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya, tanah yang permai" (Yehezkiel 20:5-6).

1. Lepas dari Mesir

Dengan kisah dramatis kelepasan dari perbudakan Mesir - kisah yang kita sebut 'keluaran", arah hidup Israel mulai terbentuk. Namun, di antara keluaran dan masuknya mereka ke tanah Kanaan, kita mendapatkan kisah pemberian Hukum Taurat Allah kepada Musa di Gunung Sinai. Ketika penulis PL merenungkan arti dari pengalaman bangsa mereka dengan Allah, mereka selalu mengutamakan Hukum Taurat-Nya. Saat pemberian Hukum Taurat itu adalah saat yang serius dan menakutkan, "Gunung Sinai ditutupi seluruhnya dengan asap karena TUHAN turun ke atasnya; asapnya membubung seperti asap dari dapur, dan seluruh gunung itu gemetar sangat .... Berbicaralah Musa, lalu Allah menjawabnya dalam guruh."(Keluaran 19:18-19)

Kalau sekarang kita membaca Hukum Taurat (terutama termuat pada kitab Keluaran, Imamat, dan Ulangan), dengan mudah kita ikut merasakan ketakutan bangsa Israel purba. Yang lebih sulit dimengerti adalah bahwa sukacita besar juga hadir bersama dengan perasaan takut tersebut. Ketika kita membaca Hukum Taurat dari perspektif modern, tampaknya hukum tersebut berat dan tidak masuk akal. Namun, umat PL tidak pernah berpikir demikian. Mereka tidak pernah menganggap Hukum Taurat itu sebagai beban berat karena mereka melihat ke belakang, ke peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya, melampaui fenomena asap dan api di Sinai, dan mereka mengetahui bahwa Hukum Taurat Allah secara teguh didasarkan atas kasih-Nya. Ketaatan mereka adalah ketaatan yang bebas dan penuh kasih karena rasa syukur atas segala berkat yang tidak layak mereka terima. Bukanlah suatu kebetulan kalau 10 perintah Allah diawali bukan dengan petunjuk, tetapi dengan suatu peringatan akan kasih dan kebaikan Allah, Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan"(Keluaran 20:2).

Pada waktunya, cara hidup berkelana yang dimulai oleh Abraham diganti dengan kehidupan bercocok tanam di tanah yang baru. Di sini, Israel mulai mengajukan pertanyaan baru tentang iman mereka kepada Allah. Sejauh ini, mereka sudah mengenal Allah, TUHAN yang dilayani Musa sebagai Allah padang gurun. Namun, pertanyaan-pertanyaan baru mulai mengganggu mereka. Apakah Dia mengetahui bagaimana menumbuhkan tanaman? Apa pengalaman-Nya dalam beternak domba? Kelihatannya pertanyaan-pertanyaan ini agak naif, tetapi bagi mereka ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang paling penting. Kehidupan itu sendiri bergantung pada jawaban-jawaban-Nya, dan pergumulan untuk menemukan jawaban-jawaban itu mendominasi kisah PL selanjutnya. Ketika Israel menetap di tanahnya yang baru, di tempat itu sudah ada penyembahan kepada dewa dan dewi yang lain; para dewa-dewi itu dianggap telah memiliki pengalaman panjang dan sukses dalam masalah pertanian. Di situlah dimulai perang panjang antara kesetiaan kepada TUHAN, Allah padang gurun, dan kesetiaan kepada dewa-dewi baru dari tanah Kanaan: Baal, Asyera, Anat, dan teman-temannya. Israel digoda untuk meninggalkan Allahnya demi dewa-dewi tersebut. Sejak masa paling awal, sudah ada pahlawan-pahlawan lokal yang disebut "hakim-hakim yang dipersiapkan untuk melawan pengkhianatan rohani itu. Namun, sementara waktu berjalan, keadaan semakin memburuk, dan nabi-nabi besar PL melancarkan protes berulang kali bahwa umat Israel telah meninggalkan Allah mereka yang sejati untuk menyembah dewa-dewa palsu.

2. Kemunduran Bangsa Israel

Keberhasilan bangsa Israel mencapai puncaknya pada masa Daud dan Salomo (sekitar 1010-930 SM) dan kemudian mulai pudar. Kerajaan besar itu terpecah. Bagian Utara hancur lebih dahulu, disusul pada waktunya oleh bagian Selatan. Para nabi, mulai dari si pemberani Elia sampai kepada Yeremia yang wawas diri, berbicara di Utara dan di Selatan menentang penyimpangan sosial dan politik yang menandakan merosotnya seluruh bangsa. Walau mereka berbicara pada situasi yang berbeda, kepada umat pada zaman mereka, mereka disatukan dalam keyakinan bahwa umat Israel telah tiba pada keruntuhan karena mereka semakin melalaikan Hukum Taurat dan semakin mencintai para dewa-dewi palsu Palestina.

Kehancuran Israel menjadi total pada tahun 586 SM, ketika ibu kotanya Yerusalem dengan bangunan-bangunan megahnya, dikuasai dan sebagian dihancurkan oleh raja Babel, Nebukadnezar II. Ini merupakan malapetaka yang sangat besar. Namun, sekali lagi, dari puing-puing kekalahan itu bangkitlah hidup baru. Pemimpin-pemimpin baru Israel memiliki visi yang bahkan lebih besar daripada para pendahulu mereka. Mereka percaya bahwa bahkan malapetaka baru ini adalah bagian dari rencana Allah bagi umat-Nya. Mereka bermaksud menilai kembali pelajaran-pelajaran dari masa lampau dan mereka sangat yakin bahwa Allah tidak akan melupakan janji-Nya yang semula. Akan ada penciptaan dan keluaran baru dalam skala yang lebih luas daripada sebelumnya karena seluruh dunia sekarang akan menjadi arena aktivitas pembaruan Allah. Israel akan menjadi, "terang bagi bangsa-bangsa sehingga keselamatan sampai ke ujung bumi" (Yesaya 49:6).

Dengan peristiwa tersebut, kisahnya sudah lengkap. Kisah itu dimulai dengan Abraham dan janji bahwa melalui dia Allah akan memberkati banyak bangsa; suatu janji yang mendapatkan tantangan dari banyak arah. Secara politis dan ekonomis, janji tersebut selalu berada di bawah ancaman baik dari bangsa Mesir, Kanaan, Asyur, maupun Babel. Secara agamawi, dia dilemahkan secara bertahap dari dalam ketika umat Israel digoda untuk melupakan Allah nenek moyang mereka dan berpaling ke penyembahan agama-agama lain yang lebih mudah, agama-agama yang memperbolehkan tanggung jawab moral dan rohani ditinggalkan di tempat sembahyang dan tidak usah dipakai untuk mendasari kehidupan sehari-hari di rumah dan di pasar. Namun, rencana Allah untuk dunia-Nya tidak pernah gagal.

Diambil dari:
Judul buku : Memahami Perjanjian Lama 1 (Dari Bapa Leluhur Sampai Kerajaan Bersatu)
Judul artikel : Memperkenalkan Perjanjian Lama
Penulis : John Drane
Penerbit : Yayasan Persekutuan Pembaca Alkitab, Jakarta, 2002
Halaman : 2 - 5
Kategori: 
Taxonomy upgrade extras: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA