OTK 2025 - Pelajaran 01

Nama Kursus : Orang Tua dan Keluarga
Nama Pelajaran : Pengertian Keluarga, Orang Tua, dan Anak
Kode Pelajaran : OTK-P01

Pelajaran 01 -- Pengertian Keluarga, Orang Tua, dan Anak

Daftar Isi

  1. Konsep Keluarga dalam Alkitab
    1. Keluarga dalam Perjanjian Lama (PL)
    2. Keluarga dalam Perjanjian Baru (PB)
  2. Konsep Orang Tua dalam Alkitab
    1. Orang Tua dalam Perjanjian Lama (PL)
    2. Orang Tua dalam Perjanjian Baru (PB)
  3. Konsep Anak dalam Alkitab
    1. Anak dalam Perjanjian Lama (PL)
    2. Anak dalam Perjanjian Baru (PB)

Doa

Pelajaran 01 -- Pengertian Keluarga, Orang Tua, dan Anak

Pengertian tentang keluarga dan orang tua dari pandangan dunia/sekuler tentu berbeda dengan pandangan Kristen atau Alkitab. Pandangan dunia bisa saja berubah tergantung pada perkembangan nilai-nilai yang dianut oleh generasi zamannya, apalagi dengan perkembangan teknologi digital/AI saat ini, nilai-nilai keluarga dan orang tua mengalami pergeseran yang sangat besar. Namun, puji syukur, nilai-nilai Alkitab tidak pernah berubah sekalipun zaman berubah, termasuk nilai-nilai tentang keluarga dan orang tua. Allah telah merancang keluarga sejak awal manusia diciptakan, dan kebenaran-Nya akan terus berlaku hingga selamanya.

  1. Konsep Keluarga dalam Alkitab
  2. Apa yang Alkitab ceritakan tentang keluarga, bagaimana struktur dalam keluarga, dan bagaimana keluarga mendidik anak-anaknya? Mari kita pelajari bersama-sama.

    1. Keluarga dalam Perjanjian Lama (PL)
    2. Dalam PL, istilah yang dipakai untuk keluarga adalah "bayit" (bahasa Ibrani). Dalam budaya Israel pada masa itu, "bayit" (keluarga) secara luas diartikan sebagai seluruh keturunan dari bapa leluhur hingga keturunan termuda. Karena itu, tingkatan keluarga dalam budaya Israel digambarkan seperti kerucut, yang ujung bagian atas adalah bapa leluhur dan bagian yang paling dasar adalah keturunan-keturunan termuda. Salah satu contoh yang akan menolong kita memahami konsep keluarga dalam PL adalah kisah dalam kitab Yosua 7:16-18.

      Sehubungan dengan keluarga, ada beberapa istilah lain yang juga sering digunakan dalam bahasa Ibrani, seperti kata "syebet" yang memiliki arti 'tongkat'. Istilah ‘tongkat’ dipakai untuk menggambarkan bapa leluhur, yang adalah tongkat pendiri suatu bangsa (keluarga). Kemudian, kata "misypakha" yang berarti 'bagian lebih kecil dari kerucut' tersebut. Khusus untuk kata "bayit", selain memiliki arti sebagai 'keluarga dalam konteks suatu suku bangsa’, kata ini juga berarti 'keluarga inti yang hanya beranggotakan ayah, ibu, dan anak'.

      Dalam PL, keluarga inti terbentuk dari perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks perjodohan, pihak laki-laki dan perempuan terlibat dalam perencanaan pernikahan, dan ditetapkan bahwa pihak laki-laki membayar uang kepada pihak perempuan (Kej. 34:12; Kel. 22:16; 1Sam. 18:25), atau jika tidak mampu membayar, ia harus bekerja kepada pihak perempuan (Ul. 21:10–14; Hak. 21; Kel. 22:16). Menurut tradisi Israel pada masa itu, setelah menikah, seorang istri harus meninggalkan rumahnya dan mengikuti suaminya. Namun, kadang terjadi juga prinsip sebaliknya, yaitu suami yang meninggalkan rumah. Praktik poligami juga berlaku pada zaman itu, meskipun dalam penciptaan, Allah hanya menghendaki pernikahan monogami (Kej. 16:1–2; 25:1; Ul. 21:15). Dalam kehidupan berkeluarga, berdasarkan tradisi Israel, kedudukan suami secara legal lebih tinggi daripada istri.

    3. Keluarga dalam Perjanjian Baru (PB)
    4. Dalam PB, istilah keluarga dalam bahasa Yunani adalah "patria", sedangkan istilah "oikos" dan "oikia" berarti 'rumah tangga'. Kata "patria" lebih merujuk kepada 'para leluhur', bisa mencakup satu suku tertentu atau satu bangsa (Kis. 3:25). Sementara itu, kata "oikos", dengan makna sama, banyak dipakai oleh masyarakat Yunani dan Romawi serta Yahudi pada abad pertama. Adapun istilah yang dipakai untuk kepala keluarga adalah "kurios" atau "despotes".

      Pada masa PB, yang dikatakan sebagai anggota keluarga adalah ayah, ibu, anak, hamba, pelayan, budak, dan teman yang rela menjadi tanggungan keluarga tersebut, dengan keuntungan timbal balik. Pada masa itu, rumah tangga juga menjadi inti dalam upacara keagamaan, seperti perayaan Paskah, perjamuan suci, doa, dan pengajaran Taurat (Kis. 2:46). Pada masa PB, keluarga memiliki peranan penting dalam perintisan Gereja mula-mula karena pertobatan dimulai dari kepala keluarga yang diikuti oleh anggota keluarga lain. Keluarga juga menjadi tempat persekutuan Gereja mula-mula, dan para kepala keluarga akan ditunjuk sebagai penilik jemaat jika telah memenuhi persyaratan.

  3. Konsep Orang Tua dalam Alkitab
  4. Dalam pengertian umum, yang dimaksud sebagai orang tua adalah ayah atau ibu dari seorang anak, baik anak dari hubungan biologis maupun sosial. Dalam pengertian lain, orang tua juga dapat dikatakan sebagai orang-orang yang dihormati atau disegani, orang-orang yang dianggap tua (cerdik, pandai, ahli, dsb.), penanggung, pengampu, wali, sesepuh, dan tokoh dalam suatu kelompok masyarakat.

    Dalam konteks keluarga inti, orang tua adalah ayah atau ibu bagi anak-anak dalam keluarga tsb.. Orang tua bisa berarti secara biologis, yang biasa disebut sebagai orang tua kandung, ataupun orang tua yang menikah dengan orang tua kandung anak (orang tua tiri) atau bukan orang tua kandung sepenuhnya (orang tua angkat). Namun, pada dasarnya, sifat dan peranan orang tua dalam keluarga inti tetaplah sama, yaitu sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kehidupan anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari dan dalam segala aspek.

    1. Orang Tua dalam Perjanjian Lama (PL)
    2. Orang tua yang akan kita bahas pertama kali adalah ayah/bapak. Dalam bahasa Ibrani, kata 'ayah' atau 'bapak' ditulis "ab" (alef-gimel-bet). Kata ab dalam bahasa Aram ditulis "abba". Kata "ab" memiliki beberapa arti, yaitu: ‘ayah/bapak’, 'kakek', 'nenek moyang suku bangsa', 'pemula', 'pendiri suatu kelompok', dsb.. Kata "ab" pada awalnya terdiri dari dua huruf konsonan, yaitu "alef" dan "bet". Bagi bangsa Ibrani kuno, ayah dianggap sebagai kekuatan keluarga. Dengan demikian, jika ayah rapuh, keluarganya pun akan rapuh. Ayah memiliki peranan yang begitu menonjol dalam berbagai aspek. Ayah berperan sebagai pemimpin keluarga, penyedia keturunan, pengajar firman Tuhan, dan imam bagi seluruh anggota keluarga. Ketika anak sudah mencapai usia dewasa, ayah juga harus mengajari anak laki-lakinya untuk dapat bekerja dan menjadi seorang lelaki yang baik.

      Berikutnya adalah ibu. Dalam PL, istilah untuk ibu adalah "em" (bahasa Ibrani). Pada masa itu, ibu memiliki peranan yang cukup besar. Dalam Amsal 31 dijelaskan bahwa seorang ibu (istri) tidak hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan anak-anak, tetapi juga harus menguasai berbagai bidang lain yang berhubungan dengan hal-hal di luar rumah.

      Dalam budaya Israel, seperti yang tertulis dalam kitab Kejadian 2:18, seorang istri harus tunduk kepada suami dan mengambil peranan sebagai seorang penolong. Bagi seorang ibu Yahudi, setelah melahirkan, dia harus menyusui anaknya hingga anaknya mencapai usia tiga tahun. Sesudah itu, sang ibu harus memberikan pendidikan kepada anaknya hingga usia lima tahun. Adapun pendidikan paling utama yang diberikan adalah pendidikan kitab Taurat. Setelah mencapai usia lima tahun, sang ibu kemudian menyerahkan anak kepada ayah untuk mendapatkan pendidikan selanjutnya, biasanya ini terjadi pada anak laki-laki. Sementara itu, bagi anak perempuan, sang ibu akan mengajarkan tentang bagaimana menjadi seorang istri dan ibu yang baik dan berhasil dalam berumah tangga.

    3. Orang Tua dalam Perjanjian Baru (PB)
    4. Peran dan tanggung jawab orang tua Israel pada masa PB tidak jauh berbeda dengan masa PL. Dalam PB, orang tua memiliki tanggung jawab untuk memberikan pendidikan agama kepada anak-anaknya, bahkan ketika anak-anaknya sudah menikah, karena orang tua tetap bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan agama bagi cucu-cucunya (Ul. 4:9; 11:19; 32:46). Seorang ayah juga bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan keluarga, penyedia keturunan, pendidik firman Tuhan, dan menjadi imam bagi keluarga. Sementara itu, sang ibu bertanggung jawab untuk melahirkan dan menyusui anak, mendidik anak dengan firman Tuhan hingga anak berusia lima tahun, serta mengajari anak perempuan untuk menjadi wanita dan istri yang baik. Ketika anak sudah bertumbuh besar, ayah mengajari anak laki-laki untuk mencari nafkah dan menjadi laki-laki yang baik, sedangkan ibu mengajari anak perempuan untuk menjadi wanita dan istri yang baik melalui keterampilan-keterampilan dalam hubungannya dengan kehidupan rumah tangga. Sementara itu, anak-anak Israel yang sudah besar akan dititipkan ke sinagoge untuk mendapatkan pendidikan lebih lanjut dari guru Taurat.

      Para orang tua mengajari anak-anaknya kebenaran bahwa bangsa Israel telah mengikat suatu perjanjian dengan Allah dan tidak dapat melakukan segala sesuatu atas keinginan mereka sendiri. Mereka harus bertanggung jawab kepada Allah atas segala sesuatu yang mereka lakukan karena Allahlah yang telah menebus mereka. Dengan tekun, orang tua mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang pedoman-pedoman yang telah diberikan Allah kepada mereka.

      Sebagian besar pendidikan pada masa itu diajarkan oleh orang tua lewat kehidupan sehari-hari, mulai dari pagi hingga malam di tengah-tengah aktivitas mereka. Bagi orang tua Israel, memberikan pendidikan kepada anak-anak adalah tugas seumur hidup karena membutuhkan waktu seumur hidup untuk menyelesaikan tugas pendidikan tersebut.

  5. Konsep Anak dalam Alkitab
  6. Selain keluarga dan orang tua, konsep anak dalam Alkitab juga dituliskan secara terbuka.

    1. Anak dalam Perjanjian Lama (PL)
    2. Dalam PL, istilah yang dipakai dalam bahasa Ibrani untuk anak adalah "ben" (anak laki-laki) dan "bat" (anak perempuan). Kata ini memiliki beberapa istilah serumpun dalam bahasa Semit. Karenanya, kata ini sering dipakai dengan tidak mengikuti aturan perubahan bentuk kata dan bahasa. Bagi orang Israel pada masa itu, anak merupakan pribadi yang sangat diharapkan dan dihargai (Mzm. 127:3-5), terutama anak laki-laki. Karena itu, tidak heran jika kemandulan bagi seorang istri dianggap sebagai kutukan. Pada masa itu, anak sulung dalam keluarga dianggap istimewa karena akan mendapat warisan dua kali lipat dan menggantikan ayahnya sebagai kepala keluarga, jika sang ayah meninggal. Sementara itu, anak perempuan tidak berhak mendapatkan harta dari ayahnya, kecuali dalam keluarga itu tidak ada anak laki-laki (Bil. 27:1-11). Namun, kasus khusus terjadi pada anak-anak perempuan Ayub. Meski Ayub mempunyai anak laki-laki, dia tetap memberikan milik pusaka (warisan) kepada anak-anak perempuannya di antara saudara laki-lakinya (Ay. 42:13-15).

      Dalam kasus Abraham yang menikahi hamba istrinya, kita melihat ada alternatif lain yang dipakai orang Israel pada masa itu untuk memiliki anak jika istrinya mandul. Cara ini disebut sebagai adopsi anak, meskipun secara umum tidak ada undang-undang yang mengatur hal tersebut. Pada masa itu, anak laki-laki maupun perempuan diasuh oleh ibunya. Ketika besar, anak laki-laki harus membantu ayahnya bekerja dan anak perempuan membantu ibunya mengurus rumah tangga. Perintah untuk menghormati orang tua ditegaskan dalam hukum Taurat, dengan menyamakan penghormatan terhadap ayah dan ibu (Kel. 20:12), menunjukkan pentingnya relasi dan penghormatan dalam keluarga.

    3. Anak dalam Perjanjian Baru (PB)
    4. Konsep anak dalam PB sebenarnya tidak jauh berbeda dengan PL. Mulai dari perlakuan, kehidupan, sampai hukum-hukumnya hampir sama. Namun, perlu dicatat bahwa pada masa PB, kehidupan masyarakat sudah mulai dipengaruhi oleh budaya Romawi dan Yunani, yang memengaruhi sistem pendidikan dan cara pandang terhadap anak.

      Sampai usia lima tahun, anak dididik oleh ibu. Setelah itu, anak-anak dikirim ke pendidikan formal, yaitu di rumah guru, sinagoge, dan Bait Allah. Pada masa itu, anak laki-laki akan masuk dalam pendidikan formal pada usia enam hingga delapan tahun. Mereka belajar membaca Taurat dan menerima pengajaran di rumah guru (rabbi), sinagoge, atau bahkan di pelataran Bait Allah. Setelah usia enam belas tahun, anak laki-laki belajar olahraga. Sementara itu, anak perempuan dididik oleh ibunya, dan pendidikan yang diberikan adalah membaca, menulis, dan menari. Kala itu, sangat jarang anak perempuan mengikuti pendidikan formal.

      Meskipun demikian, Yesus memberikan perhatian yang besar terhadap anak-anak dan menempatkan mereka sebagai teladan dalam Kerajaan Allah (Mat. 18:2-5; Mrk. 10:13-16). Anak-anak bukan dipandang sebagai anggota pasif dalam masyarakat, melainkan sebagai pribadi yang layak dihormati, diberkati, dan dijadikan contoh dalam hal iman dan kerendahan hati.

Demikianlah kita melihat bagaimana Alkitab menceritakan bagaimana bangsa Israel dididik oleh Allah untuk membangun keluarga dan bagaimana nilai-nilai keluarga terus dilanjutkan oleh keturunan-keturunannya. Kiranya kita pun rindu untuk membangun keluarga yang berkenan di hadapan Tuhan dan meneruskan iman yang hidup kepada generasi kita berikutnya.

Akhir Pelajaran (OTK-P01)

Doa

"Tuhan, aku bersyukur karena hari ini aku bisa belajar untuk mengenal keluarga dalam Alkitab. Kiranya aku dapat semakin menghargai keluargaku dan mengasihi mereka, sama seperti Yesus sudah mengasihi aku. Terima kasih Tuhan Yesus. Amin."

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA