Allah Menjumpai Kita dalam Kesedihan: Menemukan Pengharapan dalam Yehezkiel

Saat itu di pertengahan minggu ketika saya mengetahui bahwa Renee meninggal. Saya ingat perasaan saya ketika meletakkan gagang telepon; dada saya sesak, paru-paru saya berjuang untuk menarik oksigen. Saya ingat, saat itu saya berpikir bahwa hal ini pasti serupa dengan apa yang Renee rasakan saat berjuang melawan pneumonia di hari-hari terakhirnya. Saya mengingat semua hal kecil sekaligus; ketika kami berbicara tentang proyek baru yang sedang dikerjakannya, saat kami tertawa terbahak-bahak sambil menyantap BBQ Mongolia di sebuah restoran lokal, ketika dia membawa boneka jerapah berwarna biru dan oranye yang amat besar untuk putri saya yang masih balita sehingga hampir memenuhi seluruh tempat tidurnya. Saat saya menerima telepon itu, saya sangat terkejut, kehilangan, dan berduka. Saya berseru kepada Tuhan dan bertanya mengapa Dia harus mengizinkan Renee meninggal.

Sudah lebih dari satu dekade berlalu sejak kematian Renee, tetapi hati saya masih pedih saat mengingatnya, seakan-akan merasakan luka lama yang tidak pernah sembuh sepenuhnya. Kematiannya masih datang kepada saya secara tak terduga, dan saya kembali dalam kesedihan, meratapi kehilangannya. Kematian Renee dan kematian orang lain yang saya kenal meluncurkan saya dalam sebuah perjalanan untuk memahami bagaimana Tuhan menemui kita dalam dukacita, kehilangan, dan penderitaan kita, serta apa yang Alkitab katakan kepada kita tentang hal ini. Dalam perjalanan inilah saya "bertemu" dengan nabi Yehezkiel dalam Alkitab dan menemukan seorang teman untuk berjalan bersama saya di jalan yang sulit ini.

Nabi Yehezkiel: Seorang Teman dalam Perjalanan yang Menyakitkan>

Yehezkiel adalah seorang nabi pada salah satu periode paling gelap dalam sejarah Israel, yaitu masa pembuangan ke Babel. Setelah pemerintahan Raja Salomo, putranya yang bernama Rehabeam menyebabkan kerajaan yang dulunya bersatu itu terpecah menjadi kerajaan Israel Utara dan kerajaan Yehuda Selatan. Meskipun kedua kerajaan tersebut bertahan untuk sementara waktu, kerajaan tetangga yang besar, Asyur, menyerbu dan menghancurkan kerajaan Israel Utara pada tahun 700-an SM. Hal ini membuat kerajaan Yehuda yang kecil di bagian selatan menjadi rentan. Pada tahun 500-an SM, kerajaan besar yang baru, Babel, menyerbu dan menghancurkan Bait Allah di Yerusalem, membunuh banyak orang dalam peperangan yang brutal, dan membawa para pemimpin daerah itu ke dalam pembuangan.

Pembuangan para pemimpin Yehuda ke Babel ini kita sebut sebagai "Pembuangan ke Babel" atau dengan kata lain "Pengasingan". Mazmur 137 menggambarkan kepedihan pembuangan di Babel ketika orang-orang Israel duduk di tepi sungai Babel dan menangis ketika mereka mengingat rumah mereka yang begitu jauh, ditinggalkan sebagai reruntuhan.

Yehezkiel menjadi saksi atas trauma ini. Terkadang orang kesulitan membaca Kitab Yehezkiel, terutama pasal-pasal awalnya. Tidak seperti kitab Yesaya, yang bergantian antara penghakiman dan pengharapan, 33 pasal pertama Kitab Yehezkiel sebagian besar terasa seperti penyelaman yang mendalam ke dalam kehilangan dan kekerasan. Tindakan Yehezkiel, seperti memotong rambutnya, berbaring miring selama berbulan-bulan, dan makan makanan yang dimasak di atas kotoran, mungkin terlihat keterlaluan dan tidak masuk akal. Namun, hal ini memang disengaja. Untuk membantu umat menemukan Tuhan di tengah kekacauan masa pembuangan, Tuhan meminta Yehezkiel untuk memerankan adegan-adegan penting dari kehancuran Yerusalem. Tanda-tanda di tubuh Yehezkiel, hal-hal aneh yang dia lakukan, dan makanan yang dia makan, semuanya menceritakan kisah trauma dan kehilangan bangsa Israel.1 Dengan menceritakan kisah ini, bangsa Israel dapat mengatasi trauma mereka. Mereka dapat menghadapi kengerian dan keterkejutan mereka dan, dengan cara ini, memulai proses penyembuhan.

Setelah hampir 33 pasal yang menunjukkan dan menceritakan pengalaman-pengalaman traumatik ini, Yehezkiel 34 menandai sebuah titik balik. Yehezkiel 34 dimulai dengan penghakiman, tetapi kemudian berubah menjadi pengharapan. Yehezkiel 34 dimulai dengan peringatan Tuhan tentang penghakiman yang akan menimpa para gembala palsu, para pemimpin Israel yang jahat, yang tidak memerhatikan umat Israel dengan baik dan menyebabkan pembuangan. Namun kemudian di dalam Yehezkiel 34, sosok pengharapan muncul: seorang gembala sejati yang akan memerhatikan umat Allah. Gembala ini adalah Allah sendiri. Allah berjanji bahwa dunia yang terbalik, yang telah dialami oleh bangsa Israel pada masa pembuangan, akan dipulikan menjadi benar kembali. Yehezkiel menggambarkan janji ini dengan dua cara: melalui metafora Allah sebagai gembala Israel, dan melalui struktur Yehezkiel 34 itu sendiri.

Allah sebagai Gembala sebagai Metafora Pengharapan di Dunia yang Terbalik

Sementara metafora Yehezkiel dalam Yehezkiel 1-33 cenderung menggambarkan kekerasan dan kehilangan yang dialami dalam pembuangan, Yehezkiel 34 bergeser ke gambaran pemulihan, pengharapan, dan perdamaian melalui metafora Allah sebagai Gembala. Dalam dunia kuno, istilah "gembala" sering kali digunakan bukan hanya untuk gembala secara harfiah yang menjaga domba, tetapi juga untuk para pemimpin dan raja. Sebagai contoh, ada gambar dan patung firaun Mesir kuno dengan tongkat gembala di tangan mereka, yang disebut sebagai "gembala" bagi rakyatnya.

Dalam ayat 10, kita melihat pilihan Allah untuk menyingkirkan domba-domba-Nya (umat-Nya) dari para gembala/pemimpin yang jahat. Setelah menyingkirkan mereka, Allah mengambil alih peran sebagai gembala mereka dalam ayat 11 ketika Dia mencari domba-domba-Nya yang hilang. Allah secara resmi menyatakan diri-Nya sebagai gembala mereka dalam ayat 12. Sebagai gembala mereka, Allah menawarkan kepada umat-Nya harapan bahwa mereka akan dipulihkan, dan mereka yang paling rentan dan terluka di antara mereka akan diperhatikan. Allah tahu apa yang telah terjadi pada mereka. Allah peduli kepada mereka. Allah akan menyembuhkan mereka.

Namun, pengharapan ini juga datang ketika Allah menghakimi bukan hanya para pemimpin yang menyakiti hati rakyat dan membiarkan pembuangan itu terjadi, tetapi Allah juga menghakimi orang-orang kuat dan berkuasa di antara umat-Nya yang telah melakukan ketidakadilan terhadap umat-Nya sendiri -- digambarkan sebagai "domba-domba yang gemuk" yang menginjak-injak domba-dombanya yang lain (ay. 17-22). Pengharapan muncul bukan hanya karena Allah berjanji untuk memulihkan dan menyembuhkan, tetapi juga karena Allah berjanji untuk membawa keadilan dalam situasi ketidakadilan di dalam komunitas itu sendiri. Untuk memulihkan ketertiban umat-Nya, Allah tidak hanya perlu membasmi kekuatan-kekuatan dari luar yang telah melukai mereka, tetapi juga kekuatan-kekuatan dari dalam yang telah melukai mereka.

Bagian ini diakhiri dengan gambaran pengharapan terakhir tentang seorang gembala seperti Daud yang akan menggembalakan domba-domba di bawah bimbingan Allah (ay. 23-24) dan ciptaan Allah berupa "perjanjian damai" yang memberikan keamanan dan kesejahteraan bagi negeri dan umat-Nya (ay. 25-30).

Selain melihat nilai Yehezkiel 34 pada masanya, kita juga dapat mendengar gema Yehezkiel 34 dalam deskripsi Yesus tentang diri-Nya sebagai "Gembala yang Baik" dalam Yohanes 10. Yohanes 10 merujuk Yehezkiel 34 secara langsung di beberapa tempat untuk menghubungkan peran Yesus sebagai "Gembala yang baik" bagi domba-domba-Nya dengan peran Allah sebagai Gembala yang penuh perhatian dan pemulihan bagi umat-Nya dalam Yehezkiel 34. Seperti gambaran Allah sebagai gembala dalam Yehezkiel 34, Yesus sebagai gembala yang baik dalam Yohanes 10 menawarkan pengharapan bagi orang-orang pada zaman-Nya.2

Struktur Yehezkiel 34: Membalikkan Dunia ke Atas

Metafora Allah sebagai Gembala ini tidak hanya memberikan gambaran pengharapan bagi umat Allah, tetapi struktur Yehezkiel 34 itu sendiri juga menggemakan pengharapan ini. Yehezkiel 34 memiliki struktur yang terkadang kita sebut sebagai "kiasma". Sebuah kiasma bekerja dengan struktur ABCCBA. Ayat 2-3 berbicara tentang para gembala yang tidak memerhatikan domba-domba mereka. Mereka tidak menguatkan yang lemah atau mengikat yang terluka. Mereka tidak membawa kembali yang tersesat atau yang hilang. Ayat-ayat ini dipasangkan dengan kebalikannya yang diberikan dalam urutan terbalik dalam ayat 16, ketika Allah mencari yang hilang dan membawa kembali yang tersesat. Allah membalut yang terluka dan menguatkan yang lemah (dan juga menghancurkan yang congkak dan kuat). Allah memelihara domba-domba-Nya dengan menggembalakan mereka dengan adil. Kita dapat memetakan kiasma ini dari ayat 2-6 dan ayat 12-16.

Ketika bangsa Babel masuk, mereka menjungkirbalikkan dunia Israel sementara para pemimpin Israel (para gembala mereka) membiarkan hal ini terjadi. Yehezkiel 34 menggunakan struktur yang terbalik ini untuk menunjukkan bagaimana Tuhan sebagai Gembala Israel akan memulihkan dunia mereka menjadi benar kembali. Tuhan akan mengubah dunia yang kacau dengan trauma dan kekerasan menjadi tatanan yang benar, yaitu damai sejahtera (Yeh. 34:25).

Yehezkiel 34 untuk Hari Ini

Yehezkiel terus menawarkan jalan keluar dari trauma dan jalan menuju pengharapan bagi kita saat ini. Dalam 33 pasal pertama kitab Yehezkiel, Yehezkiel menawarkan sebuah visi tentang penderitaan, kehilangan, dan kekerasan yang nyata, yang dirasakan juga oleh banyak orang dengan pengalaman yang sama. Meskipun sebagian besar dari kita belum pernah mengalami kehancuran akibat perang dan diasingkan seperti yang dialami Yehezkiel, kita semua pernah mengalami kehilangan, kesedihan, dan penderitaan dalam berbagai bentuk. Seperti Yehezkiel, kita bertanya: Di manakah Tuhan dalam kekacauan dan kegelapan hidup ini?

Yehezkiel 34, dan padanannya dalam Perjanjian Baru di Yohanes 10, memberikan gambaran tentang bagaimana Tuhan akan muncul di tengah kekacauan kita dan "menggembalakan" kita kembali, membalut luka-luka kita, menguatkan kita di tengah kelemahan kita, serta memulihkan keadilan.

Meskipun pesan Yehezkiel tidak sepenuhnya menghilangkan rasa sakit yang saya alami karena kehilangan Renee -- dan pasti tidak akan menghilangkan rasa kehilangan kita secara pribadi -- Yehezkiel memberikan jalan bagi kita untuk memahami betapa Tuhan rindu untuk bertemu dengan kita dalam rasa sakit dan kesedihan kita untuk memulihkan kita. Tuhan ingin memulihkan dunia ini kembali.

Catatan Akhir
1. Refael Furman, -Trauma and Post-Trauma in the Book of Ezekiel -- Old Testament Essays, 33(1) (2020), 32-59.
2. Brian Neil Peterson, John’s Use of Ezekiel: Understanding the Unique Perspective of the Fourth Gospel (Minneapolis: Fortress Press, 2015) 129-164.

(t/Jing-jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Center for Hebraic Thought
Alamat situs : https://hebraicthought.org/ezekiel-hope-amid-grief/
Judul asli artikel : God Meets Us in Grief: Finding Hope in Ezekiel
Penulis artikel : Dr. Beth Stovell
Kategori: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA