Doa Musa

"Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana." (Mazmur 90:12)

Ajarlah Kami Menghitung Hari-Hari Kami

Manusia umumnya pintar menghitung hal-hal ini: pertama, manusia pintar menghitung uang (kekayaan). Setiap orang umumnya akan mengingat berapa besar hutang orang lain kepadanya. Binatang tidak bisa menghitung dan menilai uang, sekalipun ada kera yang setelah dilatih bisa melakukan pekerjaan menghitung seperti manusia. Kedua, manusia pintar menghitung kebaikan diri sendiri. Setiap orang biasanya ingat berapa besar jasa dan pengorbanan yang ia berikan kepada orang lain. Ketiga, manusia umumnya pandai menghitung kesalahan dan kejelekan orang lain; semua kesalahan orang lain dicatat atau diingat di otaknya. Di dalam fabel [Sastra cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang (berisi pendidikan moral dan budi pekerti),Red] yang ditulis oleh Aesop, seorang budak yang bijaksana, dikatakan bahwa manusia memunyai dua kantong, satu di depan dan satu di belakang. Kantong di depan untuk mengisi kebaikan diri sendiri dan kesalahan orang lain, sedangkan yang di belakang untuk mengisi kebaikan orang lain dan kesalahan diri sendiri. Maksudnya, setiap orang suka melihat kebaikan diri sendiri dan kesalahan orang lain dan menaruh semua itu di depan matanya. Tetapi, kesalahan dirinya sendiri ditaruh di belakang sambil menghibur diri, "Tidak apa-apa, semua manusia bisa salah." Kebaikan orang lain juga ditaruh di belakang sambil berkata, "Memang sudah seharusnya dia melakukan hal itu." Inilah sifat umum manusia yang egois, mengingat kebaikan diri sendiri dan kesalahan orang lain, serta melupakan kesalahan diri sendiri dan kebaikan orang lain.

Tetapi, Musa memohon kepada Tuhan, "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami." Bagaimanakah kita menghitung hari-hari kita? Cara perhitungan manusia berbeda sekali dengan cara hitung Alkitab. Manusia menghitung mulai dari terang menuju kepada gelap, tetapi Alkitab menghitung mulai dari gelap menuju terang. "Jadilah petang dan jadilah pagi,..." (Kejadian 1:5,8,13,19,23,31). Manusia ingin mulai dengan hal yang manis, lalu yang pahit; mengerjakan segala sesuatu yang enak dahulu. Padahal jika demikian, tidak mungkin kita akan mencapai hasil yang baik. Kita harus belajar mulai dari hal yang pahit dan sulit dahulu serta beriman kepada Tuhan. Orang yang belum pernah mengalami kesulitan, kemiskinan, dan kepicikan adalah orang yang belum memunyai kesempatan melatih diri untuk hidup di dalam iman.

Kalau kita mau menghitung hari-hari kita, kita harus memunyai perhitungan tentang hari-hari kita yang gelap dan susah, hari-hari di mana kita berani berjuang menghadapi kesulitan, baru kita berhak menuju kepada hari-hari terang. Musa mengetahui cara perhitungan menurut Tuhan ini, sehingga pada waktu menuliskan Kejadian 1, dia mencatat, "Ada malam ada siang, ada gelap ada terang." Betapa banyak orang hanya mau hidup enak tanpa mengetahui bagaimana harus menempuh dan melalui segala kesulitan hidup.

Bagaimana Menghitung Hari-Hari Kita?

Ada empat cara menghitung waktu sesuai dengan matematika. Pertama, cara tambah. Ini adalah cara menghitung waktu dari orang-orang yang tidak suka berpikir, yang tidak berpengetahuan, dan yang tidak bijaksana. Anak-anak kecil biasanya memunyai cara ini. Misalnya, waktu tahun baru atau hari ulang tahunnya, seorang anak kecil merasa senang karena umurnya bertambah, karena merasa sudah lebih besar. Tetapi orang tua biasanya tidak senang melewati tahun baru atau ulang tahunnya, karena mereka tidak suka memikirkan kapan mereka akan mati, malah banyak yang merasa takut, karena mengetahui sudah lebih dekat kepada hari kematiannya. Celakalah kita jikalau setiap hari umur kita bertambah, tetapi tanpa isi atau makna yang ditambahkan ke dalam hidup kita. Hari-hari hidup kita akan terus bertambah, tetapi biarlah juga kebijaksanaan, moral, dan iman kita pun bertambah, menjadi arti atau makna di dalam hidup kita. Ada orang yang umurnya panjang sekali, tetapi hidupnya kosong. Di antara pemimpin-pemimpin agama seperti Musa, Abraham, Buddha, Yesus Kristus, Muhammad; dan di antara filsuf-filsuf besar seperti Plato, Sokrates, dan Aristoteles, yang paling berumur pendek adalah Yesus Kristus; Dia mati pada umur kira-kira 33 setengah tahun. Tetapi hidup manusia tidak bergantung pada panjang pendeknya umur, yang penting adalah bobotnya.

Kedua, cara menghitung kurang. Orang bijaksana bukan saja memikirkan hidupnya bertambah, tetapi lebih memikirkan setiap tahun hidupnya sudah berkurang satu tahun. Ibu saya pada malam hari sering menyanyikan sebuah lagu, "Hidup sudah berkurang satu hari, kewajibanku sudah berkurang satu hari." Hidupnya setiap hari dianggap sebagai kesempatan menjalankan kewajiban, membimbing anak-anaknya di dalam jalan Tuhan. Pada waktu berjumpa dengan Tuhan dia pun merasa lega, karena dia sudah menjalankan kewajibannya dengan bertanggung jawab kepada Tuhan. Setiap tahun kita mengganti kalender berarti kita sudah lebih dekat ke kubur satu tahun. Setiap hari kita merobek penanggalan kita, berarti hidup kita sudah berkurang satu hari. Dengan pikiran demikian, kurang lebih kita akan menjadi orang yang bijaksana.

Ketiga, cara menghitung kali. Bagaimana kita menghitung atau menggunakan waktu dengan cara kali? Dengan melakukan lebih dari satu pekerjaan dalam waktu yang bersamaan. Dr. Lie Sen Chang, seorang profesor teologi dari sebuah sekolah teologi di Boston memberi kesaksian, bahwa setiap pagi sambil berolahraga selama kira-kira setengah jam dia mendoakan kira-kira 70 orang. Inilah cara menggunakan waktu dengan sistem kali. Orang bijaksana yang sudah terlatih dapat melakukan hal seperti ini. Kita dapat melatih diri bagaimana dalam waktu yang terbatas bisa mengerjakan pekerjaan yang lebih banyak. Mary Slassor, seorang wanita utusan misi yang dikirim ke Afrika, setelah meninggal dunia harus digantikan tiga orang laki-laki untuk meneruskan pekerjaannya. Ia tahu bagaimana menggunakan waktu; dia bisa menggunakan hidupnya yang singkat, beberapa puluh tahun, untuk melakukan banyak hal. Banyak bankir juga pintar di dalam memikirkan hal ini, bagaimana dalam waktu singkat uangnya bisa berlipat ganda. Tetapi, kita perlu memikirkan hal lain di samping uang; bagaimana kita meningkatkan hidup, menegakkan karakter dan kepribadian, serta menumbuhkan kerohanian dan iman kita dengan cara mengalikan waktu kita. Kita bisa melipatgandakan penggunaan waktu kita yang terbatas; bagaimana memakai waktu yang sedikit untuk mencapai hasil yang terbesar, yang bernilai kekal. Jangan kita membuang waktu, kesempatan, dan segala sesuatu yang sudah Tuhan berikan kepada kita! Kita harus bertanggung jawab melipatgandakan segala kemampuan, sehingga tidak menyia-nyiakan waktu dan anugerah Tuhan.

Keempat, membagi-bagikan waktu. Ini berarti kita harus secepatnya memberikan atau membagi-bagikan kepada lebih banyak orang segala sesuatu yang kita miliki. Jikalau kita memiliki sesuatu dan kita memonopoli hanya untuk diri kita pribadi, maka kita akan mati dan apa yang kita miliki itu akan dikuburkan bersama diri kita. Tetapi kalau kita rela membagi-bagikannya kepada orang lain, sehingga orang lain juga mendapatkannya, maka lebih banyak orang di dunia ini mendapatkan manfaatnya atau berkat dari Tuhan.

Beroleh Hari yang Bijaksana

Kerinduan hati Musa yang terdalam adalah memiliki hati yang bijaksana. Dia tahu, hal ini hanya dapat dicapai jikalau manusia mengerti bagaimana menggunakan waktu sebaik-baiknya. Keduanya memunyai kaitan yang sangat erat. Itulah sebabnya Musa berdoa. "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana."

Otak yang berilmu berlainan dengan hati yang bijaksana. Otak yang berpengetahuan hanya perlu penggarapan di dalam satu bidang saja, yakni rasio. Tetapi, hati yang bijaksana memerlukan unsur-unsur lain yang bersifat rohani, yang memiliki pengenalan akan kekekalan, dan relasi pribadi dengan Tuhan Allah. Hati yang bijaksana menguasai pikiran yang sudah diisi pengetahuan. Otak yang berpengetahuan bisa diperoleh melalui banyak belajar, membaca buku-buku, bergaul untuk menerima pengalaman orang lain. Ada orang yang berpengetahuan banyak sekali, tetapi banyak hal yang dikerjakan dalam hidupnya tidak beres; pengetahuan mereka tidak pernah memberikan dasar yang teguh dan arah yang benar untuk hidup. Sebaliknya, ada orang yang tidak memunyai pengetahuan dan pengalaman belajar terlalu banyak, tetapi mereka memunyai suatu dasar yang penting dalam hati mereka, yakni kebijaksanaan. Mengapa ada tokoh-tokoh pendidikan yang tidak bisa mendidik anak-anaknya dengan baik? Mengapa, sebaliknya, ada ibu-ibu dan para janda yang tidak berpendidikan tinggi bisa membimbing anak-anaknya hingga mencapai sukses? Banyak hal yang tidak kita mengerti, karena di dalam arus manusia, dalil-dalil masyarakat dan hukum-hukum yang kita terima di dalam kebudayaan kita, kita melihat banyak hal yang belum pernah bisa dirumuskan secara mekanisme. Pada masa tuanya, David Hume pernah berkata, "Alam terlalu kuat dan melampaui akan prinsip-prinsip." Manusia mau merumuskan segala sesuatu melalui pengalamannya ke dalam prinsip-prinsip tertentu; ini tidak mungkin. Memang prinsip penting sekali, tetapi jangan lupa di dalam kita menjalankan prinsip-prinsip tanpa kompromi, tidak boleh secara mutlak kita terima dan merumuskan dari pengalaman di dunia saja. Mengapa ada orang-orang yang tidak memunyai pengetahuan seperti yang lain, tetapi mereka melihat lebih jelas, mengerti lebih tuntas, serta merasakan lebih peka akan hal-hal yang penting, sehingga hidup mereka sukses sesuai dengan kehendak Tuhan? Karena mereka bukan saja memunyai pengetahuan, tetapi juga hati yang bijaksana.

Kita perlu memiliki dua hal yang penting ini, otak yang pintar dan hati yang bijaksana. Sayangnya, lebih banyak orang yang menuntut otak yang lebih pintar daripada mencari hati yang bijak. Padahal, kita tahu, kepintaran dan pengetahuan di dalam otak dengan kebijaksanaan di dalam hati berbeda sekali. Yang diutamakan Musa di dalam Mazmur ini adalah hati yang bijaksana. Tetapi, ini selalu tidak diperhatikan oleh kebanyakan orang, karena kebanyakan mereka yang menentang hal ini adalah orang yang otaknya kosong. Kalau seseorang otaknya kosong (tidak memunyai banyak pengetahuan), lalu berbicara tentang hati yang bijak, tidak akan didengarkan. Tetapi, yang menuliskan Mazmur ini adalah Musa, seorang yang sudah memunyai kepintaran dan pengetahuan yang banyak di dalam otaknya, dan sekarang ia menuntut hal yang lain, yakni hati yang bijaksana; sehingga menjadi seimbang. Khotbah dan kuliah atau ceramah teologi tidak boleh hanya untuk mengisi otak para pendengar saja, melainkan harus juga mengisi hati para pendengarnya, sehingga mereka lebih dekat kepada Tuhan.

Diambil dan di sunting dari:

Judul buku : Waktu dan Hikmat
Judul bab : Doa Musa
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia, Surabaya 1994
Halaman : 15 -- 21
Umum: 
Kategori: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA