HEPENG NI BEGU DIALLANG BEGU

‘Tajir melintir’ adalah istilah ‘jaman now’ untuk menyebut orang yang super kaya. Di jaman yang serba terbuka dan vulgar ini, orang bangga untuk memamerkan harta kekayaannya yang ‘tajir melintir’.

Ada seorang pengacara terkenal dalam sebuah tayangan berkata, “Saya suka mewah. Saya kalau ke luar negeri, sekali pergi itu minimum saya spend 3 miliar, 5 miliar. Sekarang tas Hermes yang harganya 1 miliar juga saya beli." Ini dikatakan untuk menunjukkan bahwa dia tidak kalah kaya dibandingkan dengan pengacara ‘tajir melintir’ lain yang pakaian dan perhiasan yang sedang dipakai harganya 20 miliar rupiah.

Para artis terkenal di tayangan TV dan media sosial berlomba menunjukkan berbagai barang bermerek luar negeri yang harganya miliaran rupiah. Tempat parkir di gedung perwakilan rakyat dipenuhi oleh mobil mewah keluaran terbaru. Semua tayangan TV dan media sosial memperlihatkan betapa hebat dan bahagianya orang-orang yang ‘tajir melintir’.

Pamer kekayaan dan kemewahan yang sebelumnya adalah hal yang tabu di budaya Timur sekarang ini menjadi hal yang jamak, yang mendorong orang-orang awam memiliki pandangan dan cita-cita yang sama. Kalau dulu orang masuk universitas supaya jadi insinyur, tetapi sekarang jurusan hukum lebih bergengsi karena para alumnusnya terbukti menjadi orang-orang yang ‘tajir melintir’ di TV. Bahkan para orang tua akan bangga jika menceritakan anaknya bekerja di tempat yang ‘basah’, ‘banyak obyekan’ dan ‘cepat menjadi kaya’.

MENJAGA INTEGRITAS

Saya teringat ketika masih kecil, di lingkungan kompleks, bapak saya terkenal sebagai orang yang jujur. Tidak ada yang berani memberikan ‘tanda terima kasih’ kepada bapak, karena pasti ditolak dan diberi wejangan tentang kehidupan yang benar.

Satu hari, ada satu perusahaan rekanan yang merasa sangat berterima kasih, sehingga mencari cara lain untuk menyampaikan tanda terima kasihnya, dengan memberikannya kepada ibu di rumah ketika bapak masih bekerja. Ketika bapak pulang, beliau melihat ada ‘segepok’ uang di atas meja, kemudian bertanya kepada ibu, itu uang apa. Ketika dijelaskan bahwa itu adalah ‘tanda terima kasih’, bapak hanya minta kalau ibu sudah menerima maka sekarang ibu juga yang harus mengembalikan kepada yang memberi. Jadilah ibu ‘kalang-kabut’ mencari tahu di mana hotel pimpinan perusahaan yang sudah datang ke rumah dan langsung ke sana untuk mengembalikannya. Tidak ada kompromi !

Akibat dari kejujuran yang ekstrem itu, kita melihat ada perbedaan kehidupan keluarga kita dibandingkan keluarga-keluarga perwira yang lain yang tinggal di kompleks. Kita melihat keluarga dan anak-anak perwira yang lain hidupnya ‘tajir melintir’ sementara kita tetap menjadi ‘orang kebanyakan’.

Sebagai anak-anak yang belum mengerti asam garam kehidupan, kita hanya berpikir mengapa bapak tidak mau menerima ‘bergepok-gepok uang’ tanda terima kasih, padahal khan bapak tidak pernah menjanjikan apa-apa. Itu diberikan mereka sebagai tanda terima kasih setelah semua urusan sudah selesai, bukan seperti yang lainnya sebagai bagian dari awal perjanjian?

Tapi alih-alih tenggelam dalam urusan ‘banding-bandingan’, bapak menekankan kepada kita dan keluarga untuk menjaga integritas dan kejujuran. Saya yang masih kecil tidak paham apa saja yang dikatakan bapak, hanya ‘manggut-manggut’ dan menyebutnya sebagai ‘omong tuwo’ - “bicaranya orang tua yang tidak dipahami anak-anak”.

Karena tempaan pola pendidikan di keluarga, maka kita semua bisa menyelesaikan sekolah, bekerja dan berumah tangga dengan baik, dan mandiri. Ketika bapak sakit sebelum meninggal tahun 1994, saya sampaikan terima kasih karena sudah mendidik kita dengan semangat dan integritas tinggi, bukan dengan harta benda atau kekayaan. Itu adalah rasa syukur dari seorang anak yang mulai melihat ‘rimba kehidupan’ yang sebenarnya.

Pada saat itu bapak bercerita mengenai kehidupan anak-anak keluarga sesama perwira yang dulu tinggal di kompleks. Ternyata ketika dewasa hampir semuanya bermasalah, baik ketika sekolah maupun ketika masuk dalam kehidupan rumah tangga - dan itu membuat dukacita dan penderitaan di hati orang tua di masa tuanya, bahkan menggerus habis harta benda berlimpah yang dulu pernah dimiliki.

Saya dulu berpikir bahwa teman-teman saya dulu salah pola didikan, mereka hanya dimanjakan dengan materi yang berlimpah-limpah – sementara kita dididik dengan integritas orang tua dan keluarga yang tinggi. Memang benar itu penyebabnya, tetapi itu baru salah satu sebab dan ada penyebab yang lain yang saya pahami setelah kita terlibat dalam pelayanan Pelepasan dan Pemulihan anak-anak Tuhan bertahun-tahun sampai sekarang ini.

AKHIR HIDUP MENDERITA

Ada satu pelayanan anak muda yang kecanduan narkoba. Dia sudah berulang kali dimasukkan ke panti rehabilitasi Polisi, tetapi ketika keluar kembali lagi memakai narkoba. Dia berasal dari keluarga yang cukup kaya di Jakarta dan papanya sudah meninggal.

Anak itu terus menerus terbelit masalah narkoba , lambat laun harta benda orang tuanya ludes bahkan mamanya yang sudah tua tinggal di rumah kontrakan sederhana. Kemudian ketika pemulihan melalui Panti Rehabilitasi tidak mempan dan karena sudah tidak ada biaya, akhirnya Tuhan mempertemukan untuk bisa dilayani dalam Doa Pelepasan dan Pemulihan. Setelah itu Tuhan mulai memulihkan kesehatannya dan mulai belajar hidup dari awal.

Selanjutnya ada yang datang ke rumah untuk dilayani, pasangan opa dan oma yang sangat menderita, hidup di rumah kontrakan padahal ketika masih muda dia hidup berkelimpahan di Jakarta, anak-anak semuanya lulus pendidikan yang tinggi dan banyak membantu pendidikan keluarga besarnya.

Di saat hendak ‘memetik’ buah sebagai orang tua setelah anak-anak bisa hidup mandiri, ternyata mereka dibelit dengan berbagai masalah, bahkan ada anaknya yang terlibat kejahatan yang menghabiskan semua harta bendanya dan kemudian harus hidup di rumah kontrakan sederhana.

Saya melihat bahwa di keluarga itu, anak-anaknya tidak ada yang ‘salah dididikan’, tetapi mengapa ketika akan ‘menuai buahnya’ justru mereka ditimpa berbagai masalah dan semuanya menjadi berantakan - yang meninggalkan berbagai penderitaan dan dukacita baik bagi orang tua maupun dirinya sendiri.

HEPENG NI BEGU DIALLANG BEGU

Jawaban yang ‘cukup tepat’ saya peroleh ketika banyak melayani anak-anak Tuhan dari ‘halak kita’ (suku Batak). Ada satu pepatah dalam bahasa Batak yaitu : “Hepeng Ni Begu Diallang Begu” yang artinya : “Duit setan dimakan jin.” ‘Begu’ adalah roh jahat, yang bisa berbentuk apa saja, setan atau jin. Maksudnya yang sederhana adalah jika kita mendapat uang ‘haram’ maka akan diambil lagi oleh ‘setan’ dalam perbuatan ‘haram’ dan berbagai penderitaan. Kita tidak akan bisa menikmatinya untuk kesejahteraan peribadi atau anak cucu seperti yang kita bayangkan, tetapi akan menyebabkan berbagai-bagai dukacita dan penderitaan, baik ketika masih hidup maupun ketika mati. Ketika setan memberikan uang, maka dia akan mengambil kembali beserta dengan ‘bunga’nya baik saat masih hidup maupun sudah mati.

Saya yang adalah orang Jawa, ketika mendengar pepatah itu langsung diingatkan Tuhan mengenai teman-teman sepermainan yang tadinya ‘tajir melintir’, setelah dewasa dan berumah tangga diterpa berbagai-bagai penderitaan dan dukacita, bahkan orang tuanya juga meninggal di dalam penderitaan dan kesedihan yang mendalam. Itu adalah bukti nyata dari pepatah ‘hepeng ni begu diallang begu.’

‘Hepeng ni begu’ (uangnya setan) itu bukan hanya uang yang didapat kegiatan ‘haram’ misalnya bisnis narkoba, prostitusi, perjudian, penyelundupan, dll, tetapi adalah semua uang yang diperoleh dengan tidak jujur dan secara hukum bukan menjadi hak kita. Uang itu bisa berupa uang komisi yang tidak dilaporkan, korupsi langsung, ucapan terima kasih, dst – di mana sekarang ini KPK memberi istilah ‘gratifikasi.’

Saya paham sekali apa yang dimaksud dengan ‘hepeng ni begu’ karena hal itu yang keluarga saya hadapi di masa kecil, termasuk ketika saya mulai bekerja dan setelah puluhan tahun bekerja di perusahaan multinasional sampai sekarang ini.

‘Hepeng ni begu’ ini begitu menggoda dan manis, baik ketika saya mulai mempunyai posisi untuk mengambil keputusan di kantor sampai sekarang ini menjadi pimpinan selama belasan tahun. Saya tidak perlu susah payah mencari ‘gepokan uang’ karena itu semua datang sendiri, disodorkan di depan mata.

Pada saat itu saya langsung teringat pengalaman pada masa kecil ketika ‘gepokan uang’ datang sendiri ke rumah. Ingatan itu begitu membekas, yang membuat saya dan keluarga, sekarang ini sama sekali tidak tergoda untuk menerima. “So naïve?” – Tampaknya sangat naif ? Tapi memang itulah yang terjadi sebenarnya. Pendidikan orang tua di masa kecil akan membentuk karakter yang kuat sampai usia dewasa.

Setiap kali berhadapan dengan ‘gepokan uang’ yang disodorkan, saya menolak dengan sopan dan meminta pimpinan perusahaan rekanan itu untuk bekerja secara profesional. Saya pasti akan membantu proses ‘development’ karena perusahaan kita bisa survive ketika ditopang para perusahaan rekanan yang berkualitas. Setelah tahu siapa yang dihadapi, para perusahaan rekanan mulai bekerja secara professional dan tidak coba-coba ‘main belakang’ untuk mengeruk keuntungan sepihak.

CUKUPKANLAH DIRIMU DENGAN GAJIMU

Tuhan sebenarnya juga memberikan banyak Firman yang sama dengan pepatah itu, diantaranya adalah :
-- (Lukas 3:14b) "Cukupkanlah dirimu dengan gajimu."
-- (Ibrani 13:5) "Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau."
-- (1 Timotius 6:6) "Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar."

Dari mulai bekerja, Roh Kudus selalu mengingatkan saya untuk menerima gaji dengan penuh ucapan syukur dan menahan diri untuk tidak mengambil yang bukan haknya, karena masa sekolah dan masa bekerja itu sangat berbeda. Yang satu adalah dunia idealisme sedangkan yang kedua adalah kehidupan nyata yang sangat pragmatis.

Sementara saya dan keluarga bertekun di dalam Firman Tuhan dan integritas sesuai iman Kristen, saya melihat hampir semua orang mengambil kesempatan untuk mengumpulkan keuntungan pribadi, baik non Kristen maupun Kristen. Justru orang yang terkenal cukup parah dalam mengambil keuntungan pribadi adalah orang Kristen sendiri. Menyedihkan. Bukan hanya di kantor mereka rakus dengan uang komisi, 'mark up' harga, di rumah mereka menjalankan usaha yang tidak benar, yaitu menjadi pembunga uang atau rentenir.

(Imamat 25:36) "Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup di antaramu."

Semuanya itu mempunyai satu tujuan yaitu untuk mengumpulkan ‘gepokan uang’ sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Dan memang, kenyataannya dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka bisa berpindah dari golongan sederhana menjadi golongan mampu bahkan mulai masuk ke golongan ‘tajir melintir’.

Umumnya orang berprinsip, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, membuat usaha sendiri, setelah itu berhenti bekerja dan menikmati hidup yang nyaman. Atau mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk menjamin kehidupan anak, cucu dan keturunan. Apakah itu bisa terjadi, jika cara yang ditempuh tidak benar?

DUIT SETAN DIMAKAN KUNTILANAK

Saya melihat banyak teman-teman kerja maupun para staff yang kencang dalam mengumpulkan ‘gepokan-gepokan’ uang setiap ada kesempatan dengan cara apa pun. Dalam waktu singkat kekayaan yang terkumpul membuat gaya hidup berubah. Bersamaan dengan itu, pepatah ‘hepeng ni begu diallang begu’ juga terjadi dengan arti yang hampir sama yaitu ‘duit setan dimakan kuntilanak.’ Ternyata ‘hepeng ni begu’ yang dikumpulkan diambil ‘kuntilanak’.

Saya melihat sendiri banyak orang di kantor memiliki WIL (Wanita Idalam Lain) dan bahkan isteri kedua, ketiga dan seterusnya. Mereka bukan hanya orang non Kristen, tetapi juga orang-orang Kristen. Itu terjadi karena mereka banyak mengumpulkan uangnya ‘begu’ (setan) dan larinya juga ke ‘begu’ yang lain (kuntilanak).

Bahkan ketika mereka tidak tergoda pada di ‘kuntilanak’ dan terus menjaga keutuhan rumah tangga, pada akhirnya uangnya ‘begu’ juga akan diambil ‘begu’ dengan berbagai dukacita dan penderitaan. Dua kesaksian di awal tulisan ini adalah contohnya. Kedua keluarga itu ternyata memiliki pola yang sama yaitu mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan jabatan yang dimiliki untuk menjamin kehidupan anak, cucu keturunannya. Tetapi ketika uang sudah terkumpul banyak, pada saat itu giliran si ‘begu’ datang menagih haknya untuk menghancurkan dan memporak porandakan rumah tangga dan anak-anak yang sudah dibangun dengan susah payah.

TEMPAT BASAH

Dalam budaya masyarakat Indonesia, para orang tua dan keluarga besar SANGAT BANGGA jika anak-anaknya bekerja di tempat yang ‘basah’. Dulu saya juga berpikir yang sama kalau ada yang bercerita bahwa ada satu keluarga hidup tajir melintir karena bekerja di tempat yang ‘basah’. Ternyata ‘basah’ itu bukan menjadi pengusaha kolam renang atau kolam ikan, tetapi tempat di mana bisa dapat ‘gepokan uang’ dengan cepat -- itu artinya tempat di mana gampang melakukan korupsi besar-besaran. Dan celakanya para orang tua BANGGA sekali !

Ada tetangga yang saya kenal, tinggal di perumahan yang sama sebagai keluarga muda. Sama-sama merintis karir, saya bekerja di perusahaan swasta dan dia bekerja di sebuah kantor keuangan pemerintah. Ada satu hal menarik waktu itu adalah setiap pulang ke rumah, dia membawa ‘gepokan-gepokan’ uang. Setelah itu dibagi-bagi dan dimasukkan ke dalam sejumlah amplop, dan hari berikutnya dibawa ke kantor untuk dibagi-bagi kepada semua orang sesuai posisinya. Karena pada saat itu masih yunior, maka dia kebagian tugas untuk mengumpulkan dan membagi-bagi ‘gepokan’ uang yang diterima oleh semua orang di kantor itu. Dia membaginya menurut besaran tertentu sesuai dengan posisi jabatan yang ada. Waktu itu saya berpikir, itu adalah tempat kerja yang ‘sangat basah kuyup sekali’ !

Tentu saja dalam waktu singkat dia menjadi golongan keluarga ekonomi mampu dan mulai masuk di kelas yang tajir. Dia membeli rumah dan pindah di Kawasan elit dan masuk dalam kehidupan para elit, dengan berbagai cerita liburan di luar negri dan mengumpulkan barang-barang bermerek dari luar negeri.

Gepokan uang yang setiap kali dibawa pulang itu bukanlah gajinya, tetapi menurut istilah ‘jaman now’ itu adalah ‘korupsi berjamaah’. Siapapun yang menerima gepokan uang di kantor akan dikumpulkan dan dibagi ke semua orang dengan besaran yang berbeda menurut pangkatnya dari yang tertinggi sampai yang terendah. Jika demikian, maka di kantor itu mau tidak mau setiap orang akan menerima bagian gepokan uang setiap hari! Kemudian bagaimana kalau ada orang yang mau menjaga integritas dan imannya, dan menolak gepokan uang itu?

Ada seorang teman yang lulus kuliah keuangan kemudian bekerja di sebuah kantor keuangan pemerintah. Ketika mulai bekerja, mulai pula ada gepokan uang parkir di mejanya sekalipun dalam bekerja dia sama sekali tidak berhubungan dengan pihak luar. Ketika tahu asal usulnya, dia berusaha menolak dan mengembalikan kepada atasannya. Sekali, dua kali hal itu bisa dilakukan. Tetapi ketika terus menerus itu terjadi, akhirnya dia diperhadapkan pada pilihan HARUS menerima atau dipandang sebagai orang yang membahayakan lingkungan kantor itu, dipindah ke tempat yang jauh di ujung pulau terpencil atau mengundurkan diri. Dengan berat hati akhirnya dia mengambil pilihan ketiga untuk menjaga hidup dan hatinya tetap bersih di hadapan Tuhan. Tapi karena integritas yang dipegang teguh, maka Tuhan memberikan ganti kerja di tempat yang lebih baik dan ‘bersih’.

Ketika mendengar cerita itu, saya diingatkan hal yang sama dialami bapak waktu masih bekerja, ketika saya masih kecil. Di kantornya juga biasa membagi gepokan-gepokan uang di antara para perwira, tetapi bapak tidak pernah mau menerima. Sehingga berikutnya mereka akan membagi gepokan-gepokan itu di antara mereka sendiri, tidak mengikut sertakan bapak. Dulu kita berpikir, “Sayang sekali. Mengapa tidak diambil? Khan bisa untuk anak-anaknya beli ini dan itu seperti teman-teman yang lain?” Ternyata itu adalah bentuk PENJAGAAN TANGAN TUHAN yang kuat dan perkasa, yang “meluputkan kita sekeluarga dari yang jahat” di masa depan yang jauh, seperti dalam doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, “Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.” (Matius 6:13)

Kemudian, bagaimana cerita selanjutnya dari tetangga yang dalam sekejap waktu menjadi tajir melintir? Rupanya hukum ‘hepeng ni begu dialling begu’ mulai terjadi. Yang pertama anaknya lahir menderita sakit autis sehingga harus menjalani terapi bertahun-tahun. Suaminya mulai aktif di dunia malam dan punya WIL, sedangkan isterinya aktif di sosialita dan punya PIL di tempat fitnessnya. Lengkap sudah dari bapak, ibu dan anak berada di bawah cengkerangan si ‘begu’.

MEMBEBASKAN CENGKERAMAN

Ada satu keluarga Kristen yang bekerja di kantor pemerintahan bagian ‘pembelian’ yang termasuk keluarga tajir. Dia aktif pelayanan dan menopang banyak hamba Tuhan. Karena ada masalah dengan anak dan cucunya, suatu kali mereka mengundang kita untuk berdoa di rumahnya, dan dilayani Pelepasan dan Pemulihan. Setelah dilayani dan didoakan mereka digerakkan oleh Roh Kudus untuk bertekun untuk menjadi pelaku Firman dengan taat dan setia.

Setelah beberapa waktu, kita mendengar bahwa suaminya dipindah ke bagian yang ‘kering’ dan semua bisnis yang berkaitan dengan kantornya ditutup. Ekonominya langsung turun drastis dari golongan tajir menjadi golongan ‘kebanyakan’. Akan tetapi pada saat itu mereka tetap bertekun di dalam kebenaran Firman Tuhan, dan mulai memahami bahwa Tuhan Yesus sedang memurnikan kehidupannya dan melepaskan semua hak ‘begu’ atas kehidupan keluarganya melalui gepokan-gepokan uang yang selama ini mereka nikmati.

Dari situ saya memahami perkataan Tuhan Yesus bahwa sukar sekali, bahkan MUSTAHIL orang kaya masuk surga. Begitu mustahilnya sehingga lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.

(Matius 19:23,24) Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah."

Orang yang kaya hati dan pikirannya terikat erat dengan kekayaannya, karena “di mana harta kekayaan berada di situ hati dan pikiran terikat”. Di dalam Roh Tuhan Yesus memperlihatkan ada rantai besar yang mengikat hati dan terhubung kepada kekayaannya. Dan yang lebih parah adalah kekayaan itu diperoleh dengan menghalalkan segala macam cara baik di kantor maupun dalam bisnis. Gepokan-gepokan uang yang dikumpulkan ternyata adalah uangnya si ‘begu’ (setan) sehingga setan punya hal legal atas hidup orang itu baik ketika masih hidup maupun ketika mati akan menyeret mereka ke neraka. Itu adalah rahasia Roh yang dinyatakan Tuhan Yesus dalam Matius 19:21. Harta benda yang berasal dari si ‘begu’ akan menyeret pemiliknya masuk ke rumah asal si ‘begu’ di kerajaan maut, dan bukan masuk ke surga.

Matius 6:21. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.

PERSEMBAHAN YANG KEJI

Di jaman now ini ada istilah ‘money laundry’ atau mengubah ‘uang haram’ menjadi uang legal dalam bisnis atau barang yang legal. Money laundry ini sekarang juga merupakan tindakan ilegal yang akan dituntut di pengadilan, baik di luar negri maupun di Indonesia.

Di gereja pun ada banyak orang Kristen yang berpikir bisa melakukan ‘money laundry’. Caranya adalah mereka mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dengan cara apa pun, kemudian ‘menyucikan’ harta kekayaannya dengan memberikan persembahan dan berbagai bantuan ke gereja. Bahkan ada perkataan, “Kalau sudah kaya, nanti saya akan melayani di gereja.” Apakah bisa seperti itu?

Tuhan Yesus menyatakan persembahan janda miskin sangat dihargai oleh Tuhan dibandingkan dengan persembahan yang banyak dari orang kaya. Tuhan tidak melihat seberapa banyak uragnya, tetapi Tuhan yang adalah Roh melihat semua tindakan ibadah yang kita lakukan juga di dalam Roh.

Orang yang mempersembahan uang yang diperoleh dari perbuatan dosa (‘hepeng ni begu’), di hadapan Tuhan bukanlah persembahan yang harum tetapi kejijikan dan kekejian. Ini sangat berbeda dengan tanggapan para hamba Tuhan pada umumnya yang sangat menghargai jemaat yang memberikan banyak persembahan tanpa peduli dari mana asalnya. Manusia melihat jumlah nominal, tetapi Tuhan melihat kedalaman Roh yang ada.

Ini sama contohnya jika kita diberi kesempatan untuk memberikan hidangan makanan kepada Presiden. Pasti kita akan mempersiapkan makanan yang terbaik dan terenak - paling ‘mak nyus’. Kita tidak akan sekali-kali berpikir menghidangkan bangkai yang busuk dan penuh belatung di atas meja hidangan Presiden. Tidak ada satu orang waraspun di seluruh dunia yang pernah berpikir seperti itu.

Akan tetapi itu yang dilakukan oleh orang-orang Kristen dengan mempersembahkan hasil kejahatannya di rumah Tuhan. Orang-orang Kristen yang hidup dalam ‘korupsi berjamaah’, mengumpulkan suap, membungakan uang/rentenir, judi, penipuan, korupsi tersembunyi atau terang-terangan, dll, dengan bangganya memberikan persembahan yang berlimpah-limpah ke rumah Tuhan. Tuhan yang adalah Roh, melihat semuanya itu sebagai bangkai busuk yang sangat menjijikkan. Bayangkan, persembahan yang sangat menjijikan yang jumlahnya sangat banyak.

(Amsal 15:8) "Korban orang fasik adalah kekejian bagi TUHAN."

(Yesaya 1:13) “Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku”

DIBERKATI DI BUMI DAN DI SURGA

Jika kita ingin diberkati Tuhan di bumi dan di surga, sebetulnya Tuhan sudah memberikan petunjuk sangat lengkap dan detail di Alkitab. Yang pertama adalah kita harus menolak dosa, termasuk dalam hal penghasilan. Jangan sekali-kali membanggakan tempat kerja yang ‘basah’, karena itu adalah tempat orang bebas melakukan korupsi, yang melanggar hukum di dunia maupun di surga. Tempat kerja ‘basah’ adalah tempat dosa dan sumber segala dosa.

(1 Timotius 6:10) “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.”

Kita perlu mendidik anak-anak kita untuk bekerja dengan benar, mendapat penghasilan yang benar sesuai dengan haknya dan menikmati dengan ucapan syukur kepada Tuhan. Kita perlu mendidik anak-anak kita, bahkan diri kita sendiri untuk ‘mencukupkan diri’ dengan penghasilan ‘halal’ yang kita terima.

Tuhan di surga sangat berkenan kepada kita, ketika kita selalu bersyukur atas semua hasil tangan kerja kita sesuai haknya dengan cara-cara yang benar. Dan ketika kita terus bersyukur, Tuhan sendiri akan menambah-nambahkan berkat yang kekal yang tidak akan diambil atau dicuri oleh si ‘begu’.

Berkat halal yang kita terima dan kumpulkan akan menjadi berkat bagi diri kita maupun seluruh keluarga, karena itu adalah jaminan dari Tuhan sendiri – dan Tuhan juga berkenan menerimanya menjadi persembahan yang harum di hadapanNya.

(Amsal 15:6) “Di rumah orang benar ada banyak harta benda, tetapi penghasilan orang fasik membawa kerusakan.”

(Amsal 15:16) “Lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan TUHAN dari pada banyak harta dengan disertai kecemasan.”

Setelah ini, sebaiknya kita mengingat pepatah yang sangat luar biasa dari saudara kita orang Batak, “Hepeng ni begu diallang begu” – “Duit setan dimakan jin”. ‘Dimakan jin’ itu bukan nanti kalau kita mati, tetapi ketika masih hidup pun setan punya hak legal untuk mencuri, membunuh dan membinasakan dengan berbagai dukacita dan penderitaan, baik terhadap diri kita, pasangan maupun anak keturunan kita.

Tetap semangat di dalam Firman Tuhan dan Langkah Iman.

GBU
(Indriatmo)

* * * * *

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA