MITSUO FUCHIDA : DARI PEARL HARBOUR KE KALVARI

Mitsuo Fuchida (3 Desember 1902 - 30 Mei 1976) adalah seorang kapten Jepang penerbang pesawat pembom di Angkatan Laut Kekaisaran Jepang sebelum dan selama Perang Dunia II. Ia terkenal karena karena memimpin serangan udara gelombang pertama pada Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Dibawah komandan utama, Laksamana Madya Chūichi Nagumo, Fuchida bertanggung jawab atas koordinasi seluruh serangan udara.

Setelah perang berakhir, Fuchida menjadi penginjil Kristen dan melakukan perjalanan di seluruh Amerika Serikat dan Eropa untuk menceritakan kesaksian hidupnya. Dia menetap di Amerika Serikat, tetapi tidak pernah menjadi warga negara AS.

AWAL KEHIDUPAN

Mitsuo Fuchida lahir di daerah Katsuragi, Nara Prefecture, Jepang. Ia masuk Akademi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Etajima, Hiroshima, pada tahun 1921, di mana ia berteman dengan teman sekelas Minoru Genda dan berminat dalam penerbangan. Dia lulus sebagai kadet pada 24 Juli 1924, dipromosikan menjadi pembantu letnan pada 1 Desember 1927 dan dipromosikan menjadi letnan pada tanggal 1 Desember 1930. Fuchida memiliki spesialisasi dalam pemboman horisontal dan diangkat menjadi instruktur teknik pada tahun 1936. Dia memperoleh pengalaman tempur di dalam dua Perang Sino-Jepang, ketika dia ditugaskan di kapal induk Kaga pada tahun 1929 dan kemudian ke grup udara Sasebo. Pada tanggal Tanggal 1 Desember 1936 dia dipromosikan menjadi mayor dan diterima di Pendidikan Staf Angkatan Laut. Fuchida bergabung dengan kapal induk Akagi pada tahun 1939 sebagai komandan skuadron udara pada bulan Oktober 1941.

“Karena ayah saya adalah seorang kepala Sekolah Dasar dan seorang nasionalis yang sangat patriotik, saya bisa mendaftarkan diri di Akademi Angkatan Laut ketika berusia delapan belas tahun. Setelah lulus tiga tahun kemudian, saya bergabung dengan Penerbang Angkatan Laut Jepang, dan bertugas sebagai pilot kapal induk selama lima belas tahun. Jadi, ketika tiba saatnya untuk terpilih sebagai komandan untuk misi Pearl Harbor, saya telah mempunyai jam terbang lebih dari 10.000 jam, membuat saya menjadi pilot tempur paling berpengalaman di Angkatan Laut Jepang.”

PERANG DUNIA II

PEARL HARBOUR

Pada hari Minggu tanggal 7 Desember, 1941, kekuatan Angkatan Laut Jepang di bawah komando Laksamana Madya Chūichi Nagumo yang terdiri dari enam kapal induk dengan 423 pesawat siap untuk menyerang pangkalan Angakatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii. Pada jam 06:00 pagi, gelombang pertama 183 pesawat pengebom tukik, pembom torpedo, bom level dan pesawat penyerang, lepas landas dari geladak kapal-kapal induk 370 km sebelah utara Oahu menuju Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor.

“Saya harus mengakui bahwa saat ini lebih bersemangat dari biasanya karena saya terbangun pagi itu pada pukul 3:00 pagi, waktu Hawaii, empat hari setelah hari ulang tahun saya ketiga puluh sembilan. Enam kapal induk kami di posisi 230 km sebelah utara dari Pulau Oahu. Sebagai komandan umum skuadron udara, saya melakukan check akhir pada laporan informasi intelijen di ruang operasi sebelum pemanasan pesawat tempur saya yang bermesin tunggal, tiga tempat duduk tipe-97, pesawat tempur yang digunakan untuk pemboman bertingkat dan meluncurkan terpedo.”

“Matahari terbit di timur dengan megah di atas awan putih ketika saya memimpin 360 pesawat tempur menuju Hawaii pada ketinggian 3.000 meter. Saya tahu persis tujuan saat itu yakni untuk mengejutkan dan melumpuhkan kekuatan angkatan laut Amerika di Pasifik. Tapi saya cemas memikirkan beberapa kapal perang Amerika tidak berada di sana. Tapi saya tidak boleh berlarut-larut tentang hal itu. Saya hanya khawatir tentang keberhasilan militer yang akan saya buat.”

Pada jam 07:20, Fuchida, yang saat itu telah menjadi komandan, memimpin perjalanan di sisi timur pulau itu, kemudian membelok ke barat dan terbang di sepanjang pantai selatan melewati kota Honolulu.

Dia memerintahkan "Tenkai!" ("Ambil posisi menyerang!"), dan kemudian pada jam 07:40 waktu Hawaii, setelah melihat tidak ada aktivitas AS di Pearl Harbor, Fuchida menutup kaca kanopi pesawat Nakajima-nya, bomber terpedo B5N2 Tipe 97 Model 3 "Kate", menembakkan suar hijau memberikan sinyal untuk menyerang.

Pada jam 07:49, Fuchida menginstruksikan operator radionya, Norinobu Mizuki, untuk mengirim sinyal kode "To, To, To" ("Totsugeki seyo!" - "Serang!") ke semua pesawat. Pilot Fuchida, Letnan Mitsuo Matsuzaki, memandu bomber dalam menyapu daerah sekitar Barber Point, Oahu.

“Begitu kami mendekati Kepulauan Hawaii di hari Minggu pagi yang cerah, saya melakukan pemeriksaan awal dari pelabuhan, dekat Hickam Field dan instalasi lain sekitar Honolulu. Melihat seluruh Armada Pasifik Amerika melabuhkan jangkar dengan damai di bawah kami, saya tersenyum saat meraih mikrofon dan memerintahkan, ‘Semua skuadron, terjun ke menyerang!’ Waktu adalah jam 07:49 pagi.”

Pada jam 07:53, Fuchida memerintahkan Mizuki untuk mengirim kata-kata kode "Tora Tora! Tora!" ke kapal induk Akagi, kapal komando dari Armada Udara ke-1. Pesan yang berarti bahwa kejutan lengkap telah tercapai. Karena kondisi atmosfer yang menguntungkan, transmisi kata kode "Tora Tora! Tora!" terdengar di seluruh radio kapal perang Jepang, di mana komandannya, Laksamana Isoroku Yamamoto dan seluruh stafnya, duduk sepanjang malam menunggu kata-kata serangan itu.

Setelah gelombang pertama penyerang kembali ke kapal-kapal induk, Fuchida tetap berada di atas Pearl Harbour untuk memeriksa kehancuran yang dicapai dan mengamati serangan gelombang kedua. Dia kembali ke kapal induknya setelah serangan gelombang kedua menyelesaikan misinya. Dengan bangga, dia mengumumkan bahwa armada kapal perang AS telah dihancurkan. Fuchida memeriksa pesawatnya dan mendapati badan pesawatnya penuh dengan 21 lubang besar akibat tembakan peluru anti serangan udara, di mana hanya kabel-kabel kontrol utama yang masih mengikat membuat pesawat tempurnya tetap utuh. Kesuksesan serangan Pearl Harbour itu membuat Fuchida menjadi pahlawan nasional di mana Kaisar Hirohito sendiri memberikan medali penghargaan.

“Seperti badai dahsyat, pesawat-pesawat skuadron saya, pesawat terpedo, pengebom tukik dan pesawat penyerang, menggempur secara tiba-tiba dengan keganasan yang tak terlukiskan. Ketika asap mulai mengepul dan kapal-kapal perang yang hebat, satu per satu mulai miring, hati saya menyala-nyala dengan sukacita. Selama tiga jam berikutnya, saya langsung memerintahkan lima puluh pembom yang ada untuk tidak hanya menyerang Pearl Harbor, tetapi juga lapangan udara, barak militer dan dermaga kering di dekatnya. Lalu saya berputar-putar di level yang lebih tinggi untuk menilai secara akurat kehancuran yang dicapai dan melaporkannya kepada atasan saya.”

“Delapan kapal perang yang ada di pelabuhan, lima rusak parah. Kapal Arizona rusak sama sekali; kapal Oklahoma, California dan West Virginia tenggelam. Kapal Nevada dalam kondisi tenggelam; hanya kapal Pennsylvania, Maryland dan Tennessee bisa diperbaiki. Dari delapan kapal, California, West Virginia dan Nevada bisa diperbaiki setelah waktu yang lama, namun kapal Oklahoma, setelah diangkat kemudian ditengglamkan lagi sebagai monumen. Kapal-kapal kecil lainnya rusak, tetapi 3.077 personel Angkatan Laut AS terbunuh atau hilang, 876 luka-luka, 226 tentara darat tewas dan 396 terluka, adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa diperbaiki.”

“Itu adalah peristiwa yang paling menggetarkan dalam karir saya. Dari sejak saya mendengar cerita mengenai kemenangan Jepang melawan Rusia tahun 1905, saya bermimpi menjadi seorang laksamana seperti Laksamana Togo, pemimpin armada Jepang dalam perang laut tersebut.”

OPERASI TEMPUR LAINNYA

Pada tanggal 19 Februari 1942, Fuchida memimpin gelombang pertama dari dua gelombang serangan 188 pesawat tempur yang menghancurkan Darwin, Australia. Pada 5 April, dia memimpin serial serangan udara lainnya melalui kapal induk terhadap pangkalan Angkatan Laut di Ceylon yang merupakan markas besar Armada Timur Inggris, di mana digambarkan Winston Churchill sebagai "saat yang paling berbahaya" dalam Perang Dunia II.

Pada bulan Juni, sementara atas kapal induk Akagi, Fuchida terluka pada Pertempuran Midway. Waktu itu dia tidak dapat terbang karena sedang menjalani pemulihan dari operasi usus buntu di kapal beberapa hari sebelum pertempuran. Dia berada di anjungan kapal ketika menghadapi serangan oleh pesawat tempur AS di pagi hari. Kapal induk Akagi terkena serangan di mana reaksi berantai kebakaran bahan bakar dan bom mulai menghancuran kapal. Ketika api menutup jalan keluar dari anjungan, para perwira dievakuasi turun dengan tali, dan sementara Fuchida meluncur turun, ledakan melemparkannya ke geladak dan membuat pergelangan kakinya patah.

“Selama empat tahun berikutnya, saya bertekad untuk memperbaiki prestasi saya lebih dari saat penyerangan Pearl Harbor. Saya terlibat dalam pertempuran di Kepulauan Solomon, Jawa, Samudera Hindia; sebelum akhirnya pertempuran Midway pada tanggal 4 Juni 1942. Kemudian saya kerena serangan usus buntu saya tidak bisa terbang. Saya berbaring di tempat tidur dan meringis mendengar suara tembakan pesawat-pesawat Amerika yang menyerang kapal. Pada hari akhir pertempuran Midway, kami menderita kekalahan besar pertama dengan kehilangan sepuluh kapal perang.”

PERWIRA STAF

Setelah penyembuhan, Fuchida menghabiskan sisa perang sebagai perwira staf. Pada bulan Oktober 1944 ia dipromosikan menjadi kapten. Sehari sebelum bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima, dia berada di kota itu untuk menghadiri konferensi militer selama seminggu dengan para perwira tentara Jepang. Kemdian Fuchida menerima panggilan dari Markas Besar Angkatan Laut memintanya segera kembali ke Tokyo. Hari berikutnya, Amerika menjatuhkan bom atom ke atas kota itu. Sehari setelahnya Fuchida kembali ke Hiroshima memimpin sebuah tim untuk memeriksa kehancuran. Semua anggota tim Fuchida yang pergi ke Hiroshima meninggal karena keracunan radiasi, tapi ajaibnya Fuchida tidak menunjukkan gejala paparan radiasi apa pun. Dia satu-satunya tim militer pemeriksa kehancuran Hroshima yang masih hidup bertahun-tahu kemudian. Karir militer Fuchida berakhir pada saat demobilisasi militer Jepang pada bulan November 1945.

“Saya ketika itu berada di Hiroshima, hanya sehari sebelum bom atom dijatuhkan untuk menghadiri konferensi militer di sepanjang minggu dengan Angkatan Darat. Untungnya, saya menerima panggilan dari Markas Besar Angkatan Laut yang meminta untuk segera kembali ke Tokyo.”

“Sejak saat itu, keadaan menjadi lebih buruk. Saya tidak ingin menyerah. Saya lebih memilih mati dalam peperangan. Namun, ketika Kaisar mengumumkan bahwa kami akan menyerah dalam peperangan, saya setuju saja.”

KEHIDUPAN SETELAH PERANG

Setelah perang, Fuchida dipanggil untuk bersaksi di persidangan atas kejahatan militer Jepang. Hal ini membuatnya marah karena ia melihat pengadilan ini tidak lebih dari "pengadilan oleh pemenang perang".

“Dengan berakhirnya perang, karier militer saya juga berakhir karena semua pasukan Jepang dibubarkan. Saya kembali ke kampung halaman saya di dekat Osaka dan mulai pertanian, tapi itu hidup mengecewakan. Saya menjadi semakin tidak bahagia, terutama ketika persidangan kejahatan perang dibuka di Tokyo. Meskipun saya tidak pernah dihakimi, Jenderal Douglas MacArthur memanggil saya untuk bersaksi pada beberapa kesempatan di depan pengadilan.”

Pada musim semi tahun 1947, dengan keyakinan bahwa Amerika telah memperlakukan tawanan Jepang dengan cara yang sama, Fuchida bertekad untuk membawa bukti untuk sidang berikutnya, dan pergi ke Pelabuhan Uraga dekat Yokosuka untuk bertemu dengan kelompok tawanan perang Jepang yang baru saja pulang. Dia terkejut ketika bertemu dengan perwira teknik pesawatnya, Kazuo Kanegasaki, yang diyakininya telah meninggal di Pertempuran Midway. Ketika ditanya, Kanegasaki bercerita kepada Fuchida bahwa mereka tidak disiksa atau dilecehkan. Kenyataan itu sangat mengejutkan Fuchida.

Kanegasaki kemudian melanjutkan kisahnya mengenai seorang wanita muda yang bernama Peggy Covell, yang melayani mereka selama dalam tawanan perang dengan penuh kasih dan rasa hormat, sekalipun kedua orangtuanya, misionaris, telah dibunuh oleh tentara Jepang di pulau Panay di Filipina.

Cerita Kanegasaki tidak bisa diterima dengan akalnya, karena dalam semangat Bushido, balas dendam bukan hanya diizinkan tetapi juga menjadi sebuah "tanggung jawab" utama bagi pihak pemenang untuk dilakukan guna memulihkan kehormatan. Pembunuh orang tua akan menjadi musuh bebuyutan seumur hidup. Ia kemudian terobsesi untuk mencoba memahami mengapa ada orang yang memperlakukan musuh mereka dengan kasih dan pengampunan.

Pada musim gugur tahun 1948, Fuchida sedang berjalan melewati patung perunggu Hachiko (anjing yang setia) di Stasiun Shibuya, ketika menerima setu pamflet tentang kehidupan Jacob DeShazer, anggota dari Penyerangan Doolittle atas Tokyo yang ditangkap oleh Jepang setelah pesawat pembom B-25 nya kehabisan bahan bakar di Cina yang diduduki Jepang. Dalam pamfletnya "Aku Adalah Tawanan Perang Jepang," DeShazer seorang mantan sersan Staf Angkatan Udara Amerka dan awak pesawat pembom, menceritakan kisahnya di penjara, penyiksaan dan peristiwa "kebangkitan untuk Tuhan" yang mengubah hidupnya. Pengalaman ini membangkitkan keingintahuan Fuchida tentang iman Kristen. Pada bulan September 1949, setelah membaca sendiri Alkitab, ia menjadi seorang Kristen. Pada bulan Mei 1950, Fuchida dan DeShazer bertemu untuk pertama kalinya.

MITSUO FUCHIDA DAN JAKE DESHAZER

”Satu hari, ketika saya turun dari stasiun kereta di Shibuya Tokyo, saya melihat seorang Amerika membagikan-bagikan pamflet. Ketika saya melewatinya, dia memberikan sebuah pamflet berjudul “Aku Adalah Tawanan Perang Jepang” (diterbitkan oleh Bible Literature International, yang kemudian dikenal sebagai Bible Meditation League). Saya kemudian masih terlibat dalam sidang-sidang pengadilan penjahat perang.”

“Apa yang saya baca adalah episode menarik yang akhirnya mengubah hidup saya.”

“Pada hari Minggu sementara saya berada di udara untuk mennyerang Pearl Harbor, seorang tentara Amerika bernama Jake DeShazer sedang bertugas di sebuah kamp tentara di California. Ketika radio mengumumkan bahwa Jepang menghancurkan Pearl Harbor, ia melemparkan kentang yang sedang dikupas ke dinding dan berteriak, "Jepang, tunggu dan lihat apa yang akan kita lakukan untuk kalian!"

“Satu bulan kemudian dia menjadi relawan untuk sebuah misi rahasia bergabung dengan skuadron Jimmy Doolittle untuk melakukan serangan mendadak di Tokyo dari kapal induk Hornet. Pada tanggal 18 April 1942, DeShazer adalah salah satu awak pesawat pembom yang dipenuhi dengan kegembiraan untuk melakukan kesempatan membalas dendam secara langsung ke ibukota Jepang. Setelah menjatuhkan serangan bom mereka terbang pada arah China, tapi kehabisan bahan bakar dan terpaksa meloncat dengan parasut ke wilayah pendudukan Jepang. Keesokan paginya, DeShazer segera menjadi tawanan Jepang. (Kisah Penyerangan Skuadron Doolitte ini ada di bagian akhir film bioskop ‘Pearl Horbour’).”

“Kemudian selama empat puluh dua bulan dalam kurungan, DeShazer mengalami perlakuan yang sangat kejam. Dia selalu teringat dan sangat membenci penyiksaan sadis para penjaga tentara Jepang yang hampir membuatnya gila. Tapi setelah dua puluh lima bulan tahanan di Nanking, China, dia diberi Alkitab untuk dibaca. DeShazer yang bukan seorang perwira diberi kesempatan untuk membaca pertama kali. Dia diberi kesempatan membaca Alkitab selama tiga minggu. Ketika di kamp tahanan Jepang itu, dia terus membaca dan membaca, sehingga akhirnya memahami bahwa buku itu lebih daripada cerita sejarah. Pesannya yang ada di dalamnya sangat sesuai dengan apa yang dihadapi di dalam selnya.”

“Kekuatan kasih Kristus yang diterima Jake DeShazer dalam hidupnya telah mengubah seluruh sikapnya terhadap para penjaga. Kebenciannya berubah menjadi cinta dan perhatian, dan dia memutuskan bahwa jika negaranya memenangkan perang dan dia dibebaskan, suatu hari nanti dia akan kembali ke Jepang untuk memperkenalkan buku yang mengubah hidupnya kepada semua orang.”

“Dan DeShazer kemudian melaksanakan janjinya. Ketika perang berakhir dan dibebaskan, dia mengikuti beberapa pelatihan di Seattle Pacific College dan kembali ke Jepang sebagai seorang misionaris. Dan kisah hidupnya dicetak dalam bentuk pamflet, yang merupakan sebuah kemustahilan yang tidak bisa saya pahami.”

“Saya tidak bisa melupakannya. Kekuatan kasih yang saya baca adalah sama persis dengan yang sedang saya cari. Karena orang Amerika itu telah menemukannya dalam Alkitab, saya memutuskan untuk membelinya satu buku untuk diri sendiri, meskipun saya berasal dari keturunan keluarga Budha.”

“Dalam minggu-minggu berikutnya saya membaca buku ini dengan penuh semangat. Saya sampai pada kisah puncak, yaitu kisah Penyaliban. Di Injil Lukas 23:34, saya membaca doa Yesus Kristus pada saat kematian-Nya: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." Saya sangat terkesan karena saya pasti salah satu dari yang didoakanNya. Banyak orang yang telah saya bunuh, dibantai atas nama patriotisme, karena saya tidak mengerti kasih Kristus yang ingin ditanamkan dalam setiap hati.”

“Tepat pada saat itu, saya sepertinya bertemu Yesus untuk pertama kalinya. Saya memahami makna kematian-Nya sebagai pengganti kejahatan saya, dan berdoa meminta Dia mengampuni dosa-dosa saya dan mengubah saya dari kepahitan, kekecewaan seorang mantan pilot pesawat tempur menjadi seorang Kristen dengan tujuan hidup yang pasti.”

“Tanggal itu, 14 April 1950 - menjadi yang ‘hari bersejarah’ kedua hidup saya. Pada hari itu saya menjadi manusia baru. Pandangan lengkap kehidupan saya telah diubah oleh campur tangan Kristus yang selalu saya benci dan abaikan sebelumnya. Segera teman-teman di luar keluarga dekat saya belajar dari keputusan saya untuk menjadi seorang pengikut Kristus, dan mereka hampir tidak bisa memahaminya.”

“Headline besar muncul di koran: "Pahlawan Pearl Harbor Menjadi Orang Kristen." Teman-teman masa perang datang menemui saya, mencoba membujuk saya untuk membuang "ide gila ini." Yang lain menuduh saya sebagai seorang oportunis, memeluk agama Kristen hanya untuk membuat terkesan orang Amerika sebagai negara pemenang perang atas kami.”

“Tapi waktu telah membuktikan bahwa mereka salah. Sebagai seorang penginjil, saya telah melakukan perjalanan di seluruh Jepang dan China untuk memperkenalkan kepada semua orang tentang satu Pribadi yang telah mengubah hidup saya. Saya percaya dengan segenap hati bahwa orang-orang yang memimpin Jepang dan semua negara lainnya dalam beberapa dekade ke depan, tidak boleh mengabaikan pesan Yesus Kristus. Para pemuda harus menyadari bahwa Dialah satu-satunya harapan untuk dunia yang bermasalah ini.”

“Meskipun negara saya memiliki angka melek huruf tertinggi di dunia, pendidikan tidak membawa kepada keselamatan. Perdamaian dan kebebasan, baik nasional maupun pribadi, hanya datang melalui perjumpaan dengan Yesus Kristus.”

“Saya akan memberikan apa saja untuk mencabut kembali tindakan saya dua puluh sembilan tahun yang lalu di Pearl Harbor, tetapi itu tidak mungkin. Sebaliknya, sekarang saya bekerja untuk mengalahkan kebencian dalam hati manusia menyebabkan tragedi tersebut. Dan kebencian yang tidak dapat dicabut tanpa bantuan dari Yesus Kristus.”

“DIA adalah satu-satunya pribadi yang sangat kuat untuk mengubah hidup saya dan menginspirasi dengan pikiran-Nya. Dia adalah satu-satunya jawaban bagi Jake DeShazer dalam siksaan hidup. Dia adalah satu-satunya jawaban bagi orang-orang muda saat ini.”

Menurut anak laki-laki Fuchida, ayahnya memiliki green card yang memungkinkan tinggal secara permanen di AS, tapi dia tidak pernah mau menjadi warga negara Amerika.

Fuchida meninggal karena sakit komplikasi diabetes di Kashiwara, dekat Osaka pada tanggal 30 Mei 1976 di usia 73.

---

Tetap semangat di dalam Firman Tuhan dan Langkah Iman.

GBU
(Indriatmo/PD Yoel)

(Sumber:/- Mitsuo Fuchida, From Pearl Harbour To Calvary/- Mitsuo Fuchida, Wikipedia)

* * * * *

“Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang! Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang! Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan. Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya. Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!” (Roma 12:17-21)

“Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa.” (1 Petrus 4:8)

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA