PENTINGNYA KUALITAS DALAM PENDIDIKAN TEOLOGI
PENDAHULUAN
Secara umum pendidikan teologi tampak berbeda dari pendidikan tinggi lainnya. Namun, dalam teori dan praktik pendidikan, sebenarnya perbedaan utama terletak pada komitmen terhadap kebenaran, iman, serta wahyu. Di mana pendidikan teologia menjadikannya sebagai yang utama, di samping prinsip-prinsip lain seperti pelayanan, pokok ajaran, dll. yang lebih spesifik. Oleh sebab itu, sangat penting untuk diingat bahwa pada dasarnya pendidikan teologi tidak memiliki perbedaan mendasar dibanding pendidikan tinggi lain secara umum. Tulisan ini ditujukan untuk membahas masalah kualitas pendidikan teologi dalam tugasnya menilai mutu pendidikan teologia, dengan harapan memperoleh wacana ilmiah lanjutan demi kebaikan institusi teologi secara khusus, dan gereja secara umum.
KLARIFIKASI DASAR
Orang awam umumnya sering keliru dalam membedakan pendidikan teologi dengan pelatihan pastoral (pastoral training). Harus diakui sudah cukup lama gereja menganggap sekolah-sekolah teologi sebagai sebuah institusi yang melatih para calon pendeta untuk memenuhi keperluannya. Seperti yang terjadi pada sekolah nabi dalam masa Perjanjian Lama, atau sekolah rabinik pada masa kini. Namun, bila kita mempelajari sejarah perkembangan pendidikan teologi, khususnya pada zaman pergerakan pelayanan misi, kita akan menemukan bahwa ke mana saja sang misionaris merintis gereja, mereka akan berhadapan dengan kesulitan. Karena keterbatasan sumber daya manusia. Dari sana dimulailah pelatihan dan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat.
Pada mulanya, pendidikan semacam itu berkonsentrasi pada kelas pelajaran pastoral. Dalam praktiknya, kelas tersebut dimulai dengan tiga sampai lima peserta. Saat gereja beranjak lebih besar, maka Sekolah Alkitab Malam menjadi pilihan. Jika dianggap masih kurang, maka institusi itu diformalkan ke tingkat yang lebih formal yakni menjadi Sekolah Tinggi Alkitab (Bible College). Dalam menghadapi tantangan budaya dan perkembangan sosial, sekolah tinggi Alkitab ditingkatkan lagi menjadi seminari teologi atau sekolah tinggi teologi.
Perkembangan seperti ini mengikuti lajur perkembangan alamiah praktik pendidikan umum. Namun, lebih berfokus kepada keahlian-keahlian praktis untuk memenuhi tuntutan gereja. Pada tingkatan terakhir perkembangan itu, pendidikan seminari kembali pada penegasan pada literatur pewahyuan dan usaha-usaha pengalian teologis secara akademis.
Secara etimologis, kata "seminari" berasal dari kata semen, yang berarti benih atau semaian. (Diambil dari model monasteri pendidikan teologi abad pertengahan). Dalam hal ini institusi teologi dilihat sebagai tempat penyemaian Kerajaan Allah, dengan harapan agar kelak alumnus seminari dapat menjadi pohon raksasa yang tersemai di seluruh pojok dunia. Oleh sebab itu, pendidikan teologi tradisional menempatkan Alkitab, praktik "lectio divina", penelusuran pemikiran Bapa Gereja dan seni serta ilmu-ilmu sosial (humaniora) sebagai subyek utama pelajaran. Melalui konsep semacam ini, seminari dari waktu ke waktu memusatkan dirinya pada kebenaran dan iman, kesalehan hidup, semangat akademik, dan mandat budaya dalam rangka memberi yang terbaik bagi gereja dan kerajaan Allah. Tidak mengherankan, jika seorang lulusan seminari saat itu dapat memiliki mutu yang baik dan mengagumkan. Saat sang alumnus menerima tugas dan jabatan, ia dapat langsung membuktikan dirinya sebagai seorang terpelajar serta teladan bagi gereja, masyarakat dan peradaban. Tentunya kerinduan yang sama berlaku bagi pendidikan teologi di zaman sekarang.
Dalam konteks pendidikan kontemporer, gagasan ideal seperti di atas tampak tidak mungkin dicapai, karena kemajuan zaman yang semakin kompleks dimana kesempatan untuk menguasai pengetahuan secara mendalam dan lengkap dalam semua bidang tampak tidak mungkin lagi. Akibatnya sebagian besar seminari memilih meninggalkan kemahiran menguasai pengetahuan umum demi konsentrasinya pada bidang khusus yang tetap akademis. Dengan kata lain seminari tersebut memilih berkonsentrasi pada mandat inti daripada mandat sekunder. Pilihan ini mengakibatkan berkembangnya anggapan bahwa institusi dan pelajaran teologi mengajarkan hal yang tidak praktis, lebih banyak teori daripada kegunaan praktisnya bagi gereja. Dalam konteks semacam ini, gereja kemudian memandang para teolog sebagai ilmuwan tanpa keterampilan pastoral karena terpisah dari gereja. Mereka cenderung melihat para teolog dan mahasiswa teologi seperti pertapa dalam menara gading atau sebuah pulau terpencil di tengah lautan. Teologi akhirnya tidak berakar ataupun berurat nadi. Teolog-teolog akhirnya menjadi pengembara iman dan anak yang hilang dari gereja. Kebenaran ini sekaligus menjelaskan mengapa sering ditemukan kondisi dimana mahasiswa atau dosen teologi dapat sama sekali tidak mengenal Injil dan keselamatan di dalam Kristus Yesus. Padahal, subyek utama dan dasar pelajaran teologi terletak pada wahyu Allah bukan pada yang lain. Wahyu Allah secara konkrit diberikan dalam Alkitab, dan inti keselamatan dijelaskan hanya ada dalam pribadi Yesus Kristus. Semua hal ini menjadi nyata dan bahkan termaterialisasi dalam sejarah gereja dalam proses budaya dan peradaban manusia.
Dalam kerangka pengertian ini, kita akan menegaskan hakikat dasar teologi dan pendidikan teologi. Wahyu khusus yang telah diberikan Allah kepada kita ada dalam tiga bentuk: pertama, di dalam diri Kristus Yesus, kedua, perwujudan wahyu ini di dalam Firman Allah yang tertulis (Alkitab), serta ketiga, kesaksian Roh Kudus di dalam sejarah gereja dan tradisinya. Dengan wahyu umum sebagai dasar dan landasan teoritikal, pendidikan teologi memilih yang hal terbaik bagi gereja dengan keseimbangan pada mandat budaya lewat keterlibatan sosial. Dengan demikian, seminari mengharapkan, gereja kelak mempercayakan kepada para alumni untuk memimpin dan mengatur gereja, dengan satu niat agar umat Allah dapat melayani Kristus bagi kemuliaan Allah dan Kerajaan-Nya. Demikianlah jelas bahwa seminari bukan institusi untuk melatih para pendeta saja, sekalipun, seminari tidak akan menolaknya mentah-mentah. Harus diakui tidak semua lulusan seminari langsung menjadi pendeta. Tetapi tidak seorang pun akan diluluskan tanpa memiliki hati yang berwatak kependetaan. Di sisi lain, seminari juga bukan institusi pendidikan tinggi yang sekedar bergerak dalam bidang akademis dalam rangka menguasai ilmu, akan tetapi, di pihak lain ia tetap tidak dapat hidup tanpa memperhatikan hal-hal akademis. Ini sebabnya mengapa seminari harus terlibat dalam penguasaan ilmu pengetahuan untuk memperlengkapi mahasiswa dengan kemampuan akademis, metode-metode, dan alat-alat penelitian.
Hal lain yang perlu diketahui adalah bahwa tujuan dari seminari dan pendidikan teologi tidak boleh terlalu umum sehingga meninggalkan perhatiannya pada hal-hal khusus. Semua tujuan haruslah mengarah pada apa yang pernah dikatakan oleh Rasul Paulus, "Jangan memikirkan hal- hal yang tinggi daripada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir sedemikian rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman ..." (Roma 12:3). Tugas seminari adalah menyeimbangkan yang umum dan yang khusus, dengan mengambil pengetahuan umum sebagai dasar dan yang khusus sebagai aksi operasional. Menyeimbangkan teori dan praktik, mengikuti pola inkarnasi di mana Kristus sebagai Tuhan yang menyatakan dirinya sebagai hamba sekaligus tuan; guru sekaligus murid.
Tulisan ini dibuat untuk mendorong semua seminari dan pendidikan teologi agar lebih berkonsentrasi pada kualitas dan mutu pendidikan. Berikut ini beberapa refleksi dan evaluasi pribadi, akan disajikan bagi mereka vang berkepentingan dalam mengembangkan pendidikan teologi.
REFLEKSI DAN EVALUASI
Institusi teologi tidak dapat membebaskan diri dari evaluasi secara umum dan uji kualitas hanya karena memiliki tujuan dan sifat spesifik dari pendidikannya yang khusus. Dalam konteks ini, tulisan berikut akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan kualitas pendidikan teologi dalam dimensi kualitas dasar, ketahanan, estetika, fleksibilitas dan adaptasi, dan pelayanan dari produk yang dihasilkan oleh institusi teologi.
- Keprihatinan Terhadap Kualitas Dasar dalam Pendidikan Teologi
Ukuran utama suatu pendidikan teologi adalah penguasaan serta keahlian seseorang dalam menjalankan pendidikannya. Dengan kata lain, seseorang yang telah dididik dalam bidang teologi harus dianggap bisa memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk menguasai Firman Tuhan, kebenaran Alkitabiah, serta doktrin-doktrin dasar dan pengetahuan teologis untuk mempraktikkan teologi dengan baik. Selain itu ia juga harus memiliki keahlian dasar untuk menguasai pengetahuan umum dalam pendidikan umum dan humaniora. Tidak perlu diragukan bahwa setiap institusi teologi memiliki kekhususan tersendiri. Sekalipun demikian, seseorang yang lulus dari seminari harus dipercaya memiliki keahlian yang cukup dalam menggali Kitab Suci dan melakukan refleksi teologis. Penguasaan seseorang terhadap pengetahuan dan penggunaannya mengindikasikan tingkat kualitas pendidikan yang dimiliki. Oleh sebab itu, seseorang yang memiliki pengetahuan dan keahlian dasar teologi, sekalipun belum dapat disebut teolog, harus tetap dipandang sebagai orang yang mengetahui teologi dan memiliki kerinduan untuk mencapai iman dan kebenaran yang teologis. Dia harus menampilkan dirinya sebagai seseorang yang terpelajar dan berbudaya dengan penampilan yang sewajarnya di depan umum, serta mampu menunjukkan kemampuan hermeunetik, eksposi dalam berkhotbah dan berpikir secara teologis. Setidak-tidaknya hal itulah yang dituntut oleh masyarakat umum terhadap seorang lulusan sekolah teologi. Seperti sebuah mobil yang menjadi alat transportasi, demikianlah seorang lulusan seminari harus menyatakan diri kepada gereja sebagai seorang pelayan dengan kompetensinya di bidang pelayanan pastoral dan kepemimpinan.
- Keprihatinan Terhadap Kualitas Ketahanan dan Keandalan Produk
Kualitas ketahanan dan keandalan produk pendidikan teologi mirip dengan hasil produksi suatu perusahaan. Keandalan (realibility) berkaitan erat dengan strategi operasional yang dirumuskan sebagai waktu rata-rata kegagalan suatu produk. Dengan kata lain, kualitas keandalan produk adalah tingkat kepercayaan pemakai produk. Dengan kata lain keandalan berarti bahwa pemilik mobil dapat memercayakan hidup, rencana, dan pekerjaannya kepada mobil tersebut dalam pengertian bahwa mobil tersebut tidak akan menimbulkan masalah atau kesulitan. Jika ukuran ini diterapkan dalam pendidikan teologi berarti, apakah gereja dapat memercayakan pelayanannya kepada lulusan seminari; apakah gereja percaya bahwa lulusan-lulusan seminari dapat bertindak sebagai kapten sebuah kapal yang mampu memimpin pelayaran selamat ke pelabuhan selama di samudra luas.
Hal ini sudah pasti berimplikasi pada keterampilan, praktik, aplikasi, dan proses penggembalaan dalam konteks pendidikan teologi. Keberhasilan sebuah institusi menerapkan kurikulumnya, dapat diukur dari kinerja para lulusannya di bidang administrasi gereja, penggembalaan dan pelayanan pastoral. Banyak alumni baru mendapati diri mereka bingung dan tersesat saat dipercaya untuk memimpin sebuah gereja. Bila demikian gereja akan mempertanyakan keandalan pendidikan mereka.
Sebagian besar institusi teologi mewajibkan sejumlah waktu untuk praktik pelayanan sebelum murid mereka mendapatkan gelar teologi. Hal ini mengarah kepada prinsip bahwa sebuah seminari tidak boleh tidak memperhatikan kurikulum praktik bagi mahasiswanya.
- Keprihatinan Estetika dalam Pendidikan Teologi
Kata estetika memiliki banyak arti, lebih dari sekedar cantik dan suka. Hal estetika berhubungan dengan kecantikan dan kebaikan. Dari prespektif ontologis, estetika berkaitan dengan otentisitas dan ontologika kebajikan dan keindahan. Menghadapi tantangan estetika, seseorang tidak dapat bertahan sebaliknya dia harus menyetujui dan mengizinkan kecantikan otentik itu mengatur intelektual dan emosinya, mengendalikan kehendaknya sehingga dia dapat memiliki sebuah kehidupan yang lebih baik dan lebih tinggi. Hal ini akan membentuk temperamen dan etos orang tersebut. Dengan kata lain, estetika merupakan sebuah pola, perwujudan keindahan dan kebaikan yang murni. Estetika akan mendorong dan mendesak seseorang untuk menempuh kehidupan yang lebih baik dan ideal sesuai dengan apa yang diciptakan oleh Allah.
Dilihat dari sudut pendidikan teologi, hal ini melibatkan pembangunan kepribadian, karakter, kesalehan, moralitas, dan spiritualitas seorang pendeta. Dalam pendidikan teologi, hal ini seharusnya menjadi konsentrasi utama, yakni pengembangan karakter dan formasi spiritual atau perwujudan rohani seseorang. Seorang pendeta yang baik pasti tidak akan membiarkan gerejanya menjadi buruk, atau yang menyebabkan pembusukan dalam gereja.
Perlu disadari bahwa, kepribadian dan karakter bersifat relatif karena tergantung pada konteks budaya dan peradaban. Namun, dalam hakikatnya ada sifat mutlak yang tidak dapat menyimpang dari esensi kebajikan dasar. Dalam setiap budaya, buah Roh yang dikatakan oleh Rasul Paulus, seperti, kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri merupakan nilai-nilai yang didambakan setiap orang (bdk. Galatia 5:22-23). Ingatlah kata-kata Paulus kepada jemaat di Filipi, bahwa mereka harus memikirkan apa yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar (Fil. 4:8). Dia juga menasehati Timotius, pendeta muda, untuk menjadi teladan bagi orang percaya dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan dan kesucian. (1Timotius 4:12). Semua ini memberikan indikasi akan pentingnya kesalehan dan kearifan dalam hidup seorang pendeta.
Pengembangan karakter dan formasi spiritual dalam pendidikan teologi dapat disamakan dengan pendidikan moral dalam pendidikan umum. Ini harusnya menjadi perhatian utama pendidikan. Secara khusus, formasi spiritual berhubungan erat dengan formasi kehidupan iman kepada Allah Yang Esa dan yang benar. Oleh karena itu, selain menekankan pada kesalehan karakter, pendidikan teologi juga harus berfokus pada kehidupan kerohanian di samping hidup fisik. Tanpa karakter yang baik, pertengkaran, pelarian diri tidak dapat dihindari dan setiap persoalan akan selalu menghadapi jalan buntu.
Karakter adalah sifat internal yang merupakan ekspresi kesalehan yang terwujud dalam sesuatu yang kita sebut etika dan adat istiadat. Hal ini menjelaskan mengapa banyak institusi-institusi pendidikan tinggi tradisional memasukkan pelajaran etika dan etiket sebagai mata kuliah pilihan dalam pendidikannya. Tujuan untuk melatih para mahasiswa teologi berbicara dengan penuh tata krama. Sekolah teologi di Eropa bahkan menetapkan mata kuliah wajib, yang disebut dengan "Kelas Pemulusan". Ini dilakukan sebelum mengirim lulusan mereka keluar dari almamater. Hal ini dapat diibaratkan seperti sentuhan akhir seorang pengrajin pada produknya sebelum dikirim ke pasar, membuatnya tampak lebih indah dan disukai oleh semua yang melihatnya.
Memang, Allah tidak memperhatikan penampilan lahiriah. Paulus sendiri sering disebut orang yang tidak tampan (2Kor. 10:10). Akan tetapi, hamba-hamba Tuhan tidak perlu berbuat hal-hal yang bertentangan dengan apa yang wajar di depan umum hingga menyinggung rasa kesusilaan masyarakat. Akhir-akhir ini, ada penatua gereja yeng mengeluh dan menyatakan ketidakpuasannya atas para pendeta yang bertindak kurang sopan. Mereka mengusulkan agar sang pendeta dikirim ke sekolah pendidikan tata krama (School of Manners). Pernyataan ini mengingatkan para pendidik di sekolah teologi untuk meluangkan waktu lebih banyak dalam pengembangan tingkah laku, karakter dan formasi hidup spiritual para mahasiswanya.
Seperti telah kita bahas di atas, keprihatinan dalam estetika selalu meliputi masalah spiritualitas. Dalam formasi spiritualitas, selain menekankan pembacaan dan dedikasi dalam perenungan Firman, penting juga membebaskan pikiran untuk mengembara ke devosional klasik, guna mengikuti dan meneladani hidup mereka. Seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus, "Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan Firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka". (Ibrani 13:7). Memang, kenyataannya sebagian besar kuliah dan pelajaran pembentukan rohani disusun demikian, karena hal ini berkaitan dengan kehidupan spiritual yang melampaui tuntutan akademis. Ini berkenaan dengan praktik kontemplasi akan kehadiran Allah dan kehadiran semua umat Tuhan sepanjang zaman. Hal ini berguna agar dalam praktik pembentukan rohani kita mengalami apa yang disebut dengan covenantal life (hidup yang diikat oleh perjanjian). Tujuannya adalah agar kita dapat meresapkan keindahan hidup berkomunitas dengan orang percaya dan menikmati kekayaan tradisinya. Dengan melakukannya secara benar, kita hanyut dalam sungai spiritualitas dari tubuh sakramental, untuk dipersatukan dengan gereja, dan yang paling utama, dengan Allah dan Juru Selamat. Ini merupakan puncak dari formasi spiritualitas, standar fundamental dari estetika dalam pendidikan teologi.
- Keprihatinan atas Kualitas fleksibilitas dan Adaptabilitas
Fleksibilitas dan adaptabilitas adalah kriteria khusus lain dalam menentukan kualitas sebuah produk. Hal ini juga menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat menghargai seorang lulusan perguruan tinggi atau universitas umum lebih dari pada perguruan tinggi profesi atau politeknik. Lembaga pendidikan politeknik dan sekolah profesi biasanya berkonsentrasi pada keahlian khusus di luar pengetahuan umum, sehingga kurikulumnya lebih berorientasi pada pengetahuan praktis dan kurang memperhatikan pendidikan umum. Dalam hal ini fleksibilitas menjadi terbatas.
Dahulu, pendidikan teologi dianggap sebagai puncak dari semua pendidikan. Pendidikan teologi menjadi prasyarat utama bagi setiap mahasiswa yang hendak menyelesaikan studi di bidang ilmu-ilmu kemanusiaan, sejarah, filsafat dan lain-lain. Beberapa tahun lalu, dalam sistem pendidikan British, seorang yang bergelar Sarjana Theologi (Bachelor of Divinity) dapat dianggap sejajar dengan Doktor Filsafat, karena dalam studi mencapai sarjana itu ada tuntutan mengadakan penelitian dalam hal teologi minimal selama tiga tahun setelah studi formal selesai. Studi dalam program Master Divinitas (M.Div) mengikuti praktik yang hampir sama. Sayangnya, lulusan M.Div masa kini mengacu pada hal praktis, mereka terjebak dalam profesionalisme dan kehilangan sifat umumnya.
Penulis pernah mendengar seorang lulusan seminari yang begitu bangga pada dirinya dan hanya ingin berkonsentrasi pada bidang yang dikuasai yakni khotbah. Ia menolak jika diajak pelawatan. Harus diakui lulusan itu bagus dalam memimpin khotbah kebaktian Minggu, namun ia menolak mengajar di Sekolah Minggu dan penginjilan. Alasannya sederhana karena ia tidak tahu bagaimana melakukannya. Sepantasnyalah seorang alumnus pendidikan teologi dapat, mau dan siap untuk melakukan apa pun juga. Pendidikan teologi pada hakekatnya adalah fleksibel dan mudah beradaptasi. Seseorang yang secara total telah menyerahkan dirinya kepada Allah dan dilatih dalam seminari, harus siap dan terbiasa menjadi seperti Paulus, "diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus." (2Kor. 4:5).
Alangkah baiknya diingatkan kembali tentang kebaikan pendidikan seminari dalam tradisi tua monasteri Katolik. Para mahasiswa dulu dididik dan dilatih untuk siap melakukan segala sesuatu yangberhubungan dengan kebutuhan praktis gereja. Mereka dengan rela hati melakukan segala sesuatu, setiap saat, di mana saja, dengan penuh tanggung jawab karena mereka melakukannya bagi Tuhan. Para mahasiswa zaman itu juga terdidik dalam segala pengetahuan, baik umum maupun khusus. Setelah mereka menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya, dengan rendah hati selalu berujar, "Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan." (Lukas 17:10). Betapa berkualitasnya pendidikan teologi apabila dapat menghasilkan seorang lulusan seperti itu, lulusan yang memiliki kualitas fleksibel dan kemampuan beradaptasi yang tinggi.
- Keprihatinan Terhadap Kualitas Ketahanan Uji
Dalam hal ini, ketahanan dekat dengan kepercayaan. Dalam pengertian umum, ketahanan mengacu pada ujian waktu. Mahasiswa seminari biasanya menghabiskan tiga sampai lima tahun untuk belajar. Meskipun demikian setelah lulus, mereka memiliki jangka waktu pelayanan yang lama. Tuhan Allah adalah Tuhan yang menghendaki hamba-Nya menjadi setia sampai akhir hidup. Dalam praktiknya, tidak ada satu pun seminari yang dapat menjamin dan memaksa lulusannya mengabdikan diri selama hidup. Ini adalah tanggung jawab pribadi. Pengetahuan seorang mahasiswa seminari tentang kebenaran Firman Allah dan pengalaman pribadinya dengan Tuhan selama masa studi akan menjadi ukuran kekuatan bagi masa kehidupan pelayanannya kelak. Dan hal ini merupakan salah satu alasan mengapa seminari tradisional menuntut para mahasiswa mempraktikkan iman dan kepercayaan pada kuasa Allah dalam doa. Mereka diminta untuk hidup seperti Elia saat berada di pinggir sungai Kerit dan di rumah janda di Sarfat. Seperti Yesus saat hidup di dunia tanpa rumah atau kebun. Seperti Paulus yang telah melihat pemeliharaan Allah setiap hari dalam perjalanan misinya, yang tidak memiliki emas atau perak selain nama Yesus Kristus. Begitulah seharusnya menjadi itulah keberadaan para mahasiswa seminari.
Praktik iman dan kepercayaan merupakan fondasi dari pelayanan. Dengan fondasi itu suatu ketika ia dapat mengatakan: "Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:11- 13).
Di samping ketergantungannya pada anugerah dan belas kasihan Allah, kualitas ketahanan uji dari seorang rohaniwan terletak pada ketaatan, kesetiaan, ketekunan, kesabaran, kepatuhan, dan loyalitasnya. Semua kualitas ini dibentuk dari sebuah sistem pendidikan teologi yang baik dalam pengalaman seorang rohaniwan sewaktu berada dalam seminari. Hal ini merupakan hal yang tidak dapat diingkari oleh setiap pendidik teologi.
- Keprihatinan Kualitas Pelayanan
Kualitas pelayanan (serverbility) mengacu kepada respons sang pengusaha terhadap produknya, terutama bagaimana ia tetap dapat memelihara citra produk tersebut saat kegagalan muncul. Sebagai contoh perusahaan mobil.
Kualitas pelayanannya dapat dipertanyakan melalui ketersediaan jasa pelayanan reparasi yang baik. Dalam masalah sepele misalnya, dapatkah sang penyedia layanan mendeteksi masalah dengan cepat dan segera memperbaikinya dengan teknisi yang handal? Jika tidak maka sang pemilik mobil akan merasa tidak tenang dan nyaman. Mobil Rolls Royce terkenal karena penyediaan status formal bagi konsumennya, pernah digoyang oleh perusahan mobil Toyota yang selangkah lebih unggul dalam pelayanan purna jual mereka. Kedua perusahaan tersebut sama-sama terkenal karena cara mereka memberi pelayanan.
Implikasi dari konsep pelayanan di atas bagi pendidikan teologi, dapat diuji melalui pertanyaan ini: Apakah seminari menyediakan pendidikan lanjut bagi para alumni mereka? Apakah seminari menyediakan fasilitas untuk alumninya memperbarui keahlian yang dibutuhkan? Butir-butir ini dapat menjadi kriteria kualitas pendidikan dalam evaluasi bagi sebuah seminari.
Praktisnya, saat sebuah seminari tidak lagi menjamin pelayanan alumninya sepanjang hidup, maka kualitas seorang alumni dapat diukur misalnya dalam hal seberapa mampu sang alumni memperbaiki masalah tepat pada waktunya selama pelayanan di gereja. Dalam pendidikan, kita menyebutnya sebagai kemampuan dibentuk atau kemampuan tingkat lanjut.
Kegagalan utama dari pendidikan tinggi teologia sekarang ini adalah lahirnya produk lulusan yang angkuh, keras kepala, tidak rendah hati, merasa benar sendiri, dan tidak mau diajar. Tuhan ingin agar kita semua tidak menjadi seperti kuda atau bagal, yang tidak berakal, yang kegarangannya harus dikendalikan dengan tali les dan kekang (Maz. 32:9). Seseorang yang kaku lehernya segera akan mendapati lehernya patah, tidak baik untuk apa pun juga. Tuhan kita telah memberi sebuah model yang baik yaitu model menjadi baik dan lembut. Hamba Tuhan harus selalu menjaga temperamennya. Ia harus selalu memeriksa apakah ia cukup rendah hati dan mudah diajar atau tidak. Dengan cara ini seseorang tidak akan alami banyak kesulitan dalam pelayanan di hari kelak.
Memang tidak mungkin bagi sebuah seminari untuk menghasilkan para rohaniwan yang sempurna, akan tetapi selama kualitas menjadi keperhatinan kita, selama lulusannya dapat tetap rendah hati dan mudah diajar, bersedia belajar dari orang lain, kemampuan pelayanan (serverbility) dari produk pendidikan teologi kita boleh dikatakan telah terjangkau dan dapat dijamin.
KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan izinkan penulis membagi pengalaman pribadi. Segera setelah penulis terpanggil masuk mengabdikan diri dalam pelayanan, penulis era menyadari pentingnya pendidikan teologi. Dan tidak lama setelah penahbisannya, penulis diberi tanggung jawab mengemban sebuah institusi pendidikan teologi. Hampir empat puluh tahun telah berlalu sejak saat itu. Selama ini, penulis telah mengobservasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, melibatkan diri dalam studi dan evaluasi pendidikan teologi sebanyak empat puluh sampai lima puluh sekolah teologi. Akhir-akhir ini, setelah berkontemplasi dan merefleksi dalam keprihatinan mendalam terhadap kualitas pendidikan teologi di seminari yang dilayaninya (International Teological Seminary, Los Angles dan Sekolah Tinggi Teologia Bandung Indonesia), maka tulisan ini dibuat sebagai kriteria untuk studi pribadi dan evaluasi terhadap kualitas pendidikan teologi di dua seminari tersebut. Hal ini sekaligus merupakan harapan dan doa dari penulis agar generasi yang akan datang memiliki perhatian yang lebih tinggi terhadap kualitas pendidikan teologi yang disediakan bagi gereja demi perluasan kerajaan Allah.
Sumber diambil dari:
Judul Buku | : | Jurnal Teologi Stulos, Volume 2 Nomor 2, 2003 |
Judul Artikel | : | Pentingnya Kualitas dalam Pendidikan Teologi |
Penerbit | : | Sekolah Tinggi Teologia Bandung |
Penulis | : | Joseph Tong, Ph.D. |
Halaman | : | 65 -- 75 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA