Kebangkitan Kaum Awam

Gereja terus-menerus berubah secara konstan. Sebelumnya tidak nampak perubahan yang lebih nyata daripada yang nampak di dalam sikap Gereja-gereja masa sekarang terhadap kaum awam. Pada setiap komisi atau bagian dari gereja Kristen, orang-orang awam mulai mendapatkan tempat mereka yang selayaknya.

Sebelumnya memang sudah tercatat adanya gerakan-gerakan kaum awam, misalnya, pada abad-abad pertengahan dan selama zaman Reformasi. Selain itu ada juga catatan tentang inisiatif kaum awam yang mengarahkan timbulnya gerakan yang luar biasa dari kaum muda dan misionari secara internasional pada abad ke-19, meskipun belum memancarkan kekuatannya. Tetapi semuanya ini terjadi secara spontan; gerakan kaum awam dimulai dari bawah dan sering kali dibiarkan oleh para pemimpin gereja -- karena mereka tidak memunyai pilihan lain. Tetapi sekarang sikap acuh tak acuh itu sudah diganti dengan dorongan,dan keengganan diganti dengan rasa antusias. Sekarang ini kaum awam dipertimbangkan secara serius [oleh gereja]. Hal ini disebabkan karena tumbuhnya kesadaran akan posisi mereka yang sebenarnya di dalam gereja.

Sikap ini sangat kontras dengan apa yang dikemukakan di dalam surat Ensiklik Paus Pius X pada tahun 1906 yang berjudul "Vehementer Nos", "Sebab bagi jemaat biasa, mereka tidak memunyai hak selain membiarkan diri mereka sendiri untuk dipimpin, serta menuruti gembala-gembala (pemimpin-pemimpin gereja) mereka sebagai kawanan domba yang patuh."

Hanya dalam selang waktu beberapa tahun yang lalu Sir Kenneth Grubb memberikan penilaian mengenai kedudukan gereja Anglikan dengan mengatakan, "Gereja di Inggris tidak memberikan kesan yang mendalam bahkan mereka tidak tertarik pada kaum awamnya; nampaknya mereka hanya merendahkan dan menakut-nakuti kaum awam."[1]

Namun, sikap yang merendahkan seperti itu sekarang ini jarang diungkapkan. Sebaliknya, suatu pernyataan dari konferensi Lambeth pada tahun 1958 mengatakan, "Sekarang ini sedang tumbuh suatu kesadaran bahwa kita telah membuat suatu perbedaan yang sangat tajam antara pendeta dan jemaat awam,"[2] dan "kita perlu memikirkan suatu pandangan teologi yang lebih baik mengenai kaum awam."[3]

Hal-hal apakah yang meningkatkan peranan kaum awam di dalam gereja saat ini? Beberapa alasan yang mendorong mereka dikemukakan di bawah ini.

Pertama, faktor sosiologis. Di Inggris antara tahun 1851 dan 1966 diperkirakan terjadi kemunduran yang hebat dalam perbandingan jumlah pendeta dan jemaat; dari 1 berbanding 1.000 menjadi 1 berbanding 2.500. Keadaan jemaat yang semakin bertambah dan pendeta yang semakin berkurang merupakan suatu faktor yang memengaruhi timbulnya penyimpangan arus di gereja-gereja. Banyak pendeta yang terlalu sibuk bekerja, yang sebelumnya memegang semua tampuk kepemimpinan gereja (di tangan mereka sendiri), sekarang terpaksa harus mencari bantuan dari jemaat awam. Tom Allan menjuluki jemaat awam itu sebagai "tunakarya/penganggur di dalam gereja",[4] tetapi sekarang banyak di antara penganggur itu "sudah mendapatkan pekerjaan". Seperti yang juga diungkapkan oleh Hendrik Kraemer, jemaat awam yang sebelumnya hanya "hadir sebagai bantuan kredit beku"; sekarang mereka dicairkan dan disirkulasikan. Walaupun demikian, kita tidak dapat berhenti di sana, sebab, meminjam gambaran Kraemer lainnya, kaum awam "bukanlah suatu reservoir atau tempat penyimpanan tenaga manusia yang sumbatnya tidak dibuka cukup besar."[5]

Kedua, alasan pragmatis, meskipun ini bukanlah suatu alasan yang kuat. Jika kita tidak memberikan tugas atau tanggung jawab kepada jemaat awam sesuai dengan apa yang dapat mereka kerjakan, maka kita akan kehilangan mereka, setidak-tidaknya waktu senggang mereka. Mereka akan melibatkan diri ke dalam persekutuan atau kegiatan pelayanan-pelayanan sukarela lainnya yang bersifat sekuler, mungkin juga pelayanan di [gereja] tempat lain, yang lebih baik dalam memberikan kedudukan dan tanggung jawab kepada jemaat/anggotanya dibandingkan yang dapat dilakukan oleh gereja asalnya.[6] Hal ini tidak berarti bahwa orang Kristen tidak harus terlibat di dalam pelayanan masyarakat. Kita harus melibatkan diri dalam masyarakat. Jika keterlibatan seperti itu disadari sebagai bagian dari panggilan Kristen dan mendapatkan dukungan serta dorongan dari gereja setempat, maka hal itu baik sekali dan benar. Akan tetapi jika hal itu terjadi hanya sebagai "faute demieux" [karena tidak adanya alternatif yang lebih baik, Red.], dari suatu perasaan frustrasi karena menganggap diri tidak berguna di dalam gereja, maka hal itu keliru dan sangat menyedihkan.

Canon Max Warren menjelaskan hal ini dengan baik.[7] Dia membandingkan gerakan kebangunan di Afrika Timur yang telah terjadi di dalam gereja, dengan kelompok-kelompok yang memisahkan diri (separatis) di Afrika Selatan, yang pada saat itu telah memunyai anggota lebih dari 1.300. Semuanya ini telah dipaparkan oleh Dr. B.G.M. Sundkler (kemudian menjadi Penatua), di dalam bukunya yang berjudul "Bantu Prophets in South Africa" ("Nabi-Nabi Bantu di Afrika Selatan"), dan dari penyelidikan ini Canon Warren menarik beberapa kesimpulan penting. Pertama-tama, "Mustahil kita mempersalahkan orang Afrika karena bersifat mengucilkan atau memisahkan diri, kalau [pada kenyataannya] mereka sendiri diperlakukan sebagai orang yang dikucilkan." Dia melanjutkan, "Fakta lain bahwa mereka dikucilkan di dalam gereja ialah kenyataan bahwa mereka ditempatkan pada posisi yang lebih rendah, dan dengan demikian tidak dapat mengungkapkan inisiatif atau kekuasaan, sehingga mendorong mereka untuk memisahkan diri secara resmi." Maka, "masalah bagaimana menyediakan ruang lingkup yang memadai bagi inisiatif dan kepemimpinan bagi 'kaum awam', masih tetap menjadi salah satu dari tugas gereja di Afrika yang belum terselesaikan." Hal yang sama terjadi juga di seluruh dunia.

Alasan yang ketiga adalah semangat zaman. Gereja belum luput dari akibat-akibat yang dihasilkan oleh revolusi sosial dan politik yang melanda dunia di abad ini [abad ke-20], dan yang telah membawa kematangan serta rasa tanggung jawab bagi sejumlah besar rakyat biasa. Kebijakan wajib belajar dan tersedianya kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, tersebarnya kebebasan atau demokrasi yang disertai hak menentukan pilihan bagi kaum muda secara universal, emansipasi "pekerja-pekerja" baik di negara-negara komunis maupun kapitalis, gerakan perserikatan dagang, pemberontakan di seluruh dunia melawan hak-hak monopoli, otoritarianisme dan setiap bentuk penguasaan, serta desakan akan persamaan hak, semuanya menunjukkan adanya perkembangan-perkembangan di masa yang akan datang. Terhadap pandangan-pandangan modern ini gereja sering kali hanya nampak sebagai suatu benteng yang kokoh dengan aturan- aturannya yang kuno, melawan, dan menentang perubahan, sementara strukturnya yang sangat bersifat hierarkis itu bagi banyak orang nampak seperti suatu peninggalan antik feodalisme yang sebenarnya sudah dibuang pada abad pertengahan. Tetapi sekarang ada tuntutan akan kebebasan untuk ikut berpartisipasi, baik dalam bidang industri maupun pemerintahan daerah dan nasional, dan gereja yang ingin mencontoh kemajuan ini mau tidak mau harus mengikutinya.

Inilah tiga alasan praktis yang menumbuhkan partisipasi yang lebih besar dari kaum awam di dalam kehidupan dan pelayanan gereja: kebutuhan, kekhawatiran, dan semangat zaman. Semua alasan itu logis, sepanjang yang dipaparkan, tetapi tidak memadai. Alasan yang benar bagi kita dalam mengharapkan agar kaum awam menjadi anggota gereja yang bertanggung jawab, aktif, dan bersifat membangun seharusnya alasan-alasan yang berdasarkan Alkitab, bukan alasan-alasan pragmatis; alasan-alasan yang didasarkan atas prinsip teologis, bukan hanya karena mereka dibutuhkan. [Alasan yang benar] juga bukan karena gembala/pendeta membutuhkan pertolongan orang awam, atau karena orang awam itu sendiri ingin dirinya berguna, ataupun karena dunia zaman ini memikirkan cara ini, melainkan karena Allah sendiri telah menyatakan panggilan itu sebagai kehendak-Nya. Lagipula, satu- satunya cara bagi orang awam untuk dapat mengerti dan menerima hak- hak mereka (yang tidak dapat dicabut lagi) serta pelayanan di dalam gereja ialah kalau mereka memahaminya di dalam terang firman Tuhan sebagai kehendak Allah bagi umat-Nya.

Maka alasan yang keempat, yang paling penting, ialah alasan berdasarkan Alkitab. Kita telah melihat bahwa mustahil kita berbicara mengenai kaum awam tanpa membicarakan pendeta. Sekarang kita pun harus menyadari, bahwa mustahil berbicara mengenai keduanya tanpa membicarakan gereja yang menaungi mereka. Yves menulis, "Pada dasarnya, hanya ada satu teologia yang sah mengenai kaum awam, yakni Ekklesiologi lengkap."[8] Boleh dikatakan, ketimpangan yang terjadi pada pemimpin gereja ataupun kaum awam berarti juga ketimpangan di dalam gereja.

Lebih jelas lagi dikatakan, terlalu rendahnya pandangan mengenai kedudukan kaum awam sejajar dengan terlalu tingginya pandangan mengenai kedudukan pendeta/pemimpin gereja; dan terlalu tingginva pandangan mengenai kedudukan pendeta sejajar dengan terlalu rendahnya pandangan mengenai gereja.

Catatan kaki:

[1] Sir Kenneth Grubb, A Layman Looks at the Church, hal. 161.

[2] The Lambeth Conference, 1958, hal. 126

[3] ibid., hal. 299

[4] Tom Allan, The Face of My Parish, hal. 54

[5] Hendrik Kraemer, A Theology of the Laity, hal. 34,37.

[6] Leslie Paul memberikan komentar, "Kenyataan yang ada ialah bahwa kaum awam sudah jarang dilibatkan di waktu yang lampau, dan jarang dilibatkan oleh gereja sekarang ini, dalam acara-acara gereja menurut tingkat kesanggupan mereka di dunia sekuler" (Layman's Church, hal.43)

[7] M.A.C. Warren, Revival -- An Enquiry, hal. 28.

[8] Yves M.J. Congar, Lay People in the Church (Terjemahan Bahasa Inggris, 1957, hal.13).

(Oleh: John Stott)

Pernah dipublikasikan dalam Publikasi e-Reformed 120/2010

Alamat URL: http://www.sabda.org/publikasi/e-reformed/120/

Diambil dan disunting dari:

Judul buku : Satu Umat
Penulis : John Stott
Penerbit : SAAT, Malang 1992
Halaman : 1 -- 7
Kategori: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA